Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Minggu, 16 Desember 2012

Pemimpin yang Abnormal


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Publik kembali digentarkan dengan ulah pejabat yang kontroversial. Setelah terkuaknya kasus korupsi oleh beberapa oknum pejabat, kali ini digegerkan dengan kabar pernikahan kilat yang dilakukan Bupati Garut, Aceng HM Fikri. Bupati yang tak bermoral itu pun didemo masyarakat Garut untuk mundur dari jabatannya.
Menyaksikan sikap pejabat publik yang demikian, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemimpin. Saat ini jelas sudah bahwa tindakan para pemimpin kita tidak lagi mencerminkan sikap teladan. Sebagai pemimpin seharusnya memberi teladan baik (uswah hasanah) kepada yang dipimpin, bukan malah mempertontonkan sikap yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pemimpin. Dalam hal ini penulis mengatakan pemimpin sudah dalam kondisi abnormal. Yakni kondisi dimana pemimpin sudah jauh menyimpang dari kondisi yang sewajarnya dilakukan oleh seorang pemimpin.
Tentu kita miris dan gusar dengan sikap public figure yang seperti itu. Sepertinya kita memang benar-benar telah mengalami krisis kepemimpinan. Seseorang yang menjabat pemerintahan tentu memiliki tanggung jawab yang besar sebagai penyelenggara negara. Seharusnya mereka harus sadar bahwa rakyatlah yang memilihnya. Suara rakyatlah yang menjadikan mereka menikmati jabatan, maka tidak sepantasnya mereka mencederai jabatan dengan kesewenang-wenangan.
Dalam kasus pernikahan kilat Bupati Garut itu, Rakhmat Hidayat (2012) mencatat ada beberapa alasan mengapa masyarakat begitu geram dengan kasus itu. Pertama, penistaan posisi perempuan dalam relasi sosial kuasa seorang penyelenggara negara. Pernikahan yang hanya berlangsung empat hari disertai dengan talak melalui pesan singkat tentu saja memberikan luka mendalam bagi kaum perempuan. Perempuan berada pada posisi yang termarjinalkan. Tidak heran jika kalangan perempuan mengecam keras perilaku Bupati Garut yang menempatkan perempuan ibarat komoditas yang bisa dimanfaatkan kapan saja, dan dibuang kapan saja.
Kedua, pada posisi yang lebih mendasar adalah ihwal terdegradasikannya etika publik seorang pejabat dalam relasi sosial politik. Etika publik menjadi persoalan krusial dalam posisi Aceng sebagai bupati. Ini bukan lagi soal privasi seorang bupati, tetapi sudah bergeser ke ranah publik karena otoritas politik yang melekat pada seorang Aceng Fikri.
Penulis menilai tindakan yang dilakukan Bupati itu merupakan sifat peremehan terhadap tindakan sepele. Seseorang yang menjadi public figure tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang ceroboh, sekecil apapun itu. Mungkin Aceng bisa mengelak dan beralasan bahwa pernikahan kilat itu adalah masalah pribadinya. Mau bertindak apa saja, terserah dia. Namun jangan dinafikan bahwa ranah pribadi dan ranah publik sangat tipis batasnya. Bahkan, ranah pribadi sering kali hilang dalam otoritas politik seorang pejabat negara. Seandainya pernikahan siri dan perceraian kilat itu dilakukan oleh penjual bakso, atau tukang pijat mungkin akan mudah terselesaikan melalui jalur kekeluargaan. Namun ini beda, pernikahan siri dan perceraian kilat tersebut dilakukan oleh public figure, yang berstatus pemimpin pula, tentu tidak semudah itu.
Wahai Pemimpin, Tirulah Muhammad SAW
Seharusnya para pemimpin meniru corak kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW. Pada prinsipnya, pola kepemimpinan yang dicontohkan Nabi Muhammad mengacu kepada empat sifat yang biasa kita sebut sebagai sifat wajib seorang rasul; yakni jujur (sidiq), dapat dipercaya (amanah), menyampaikan (tabligh), dan cerdas (fatanah). Keempat sikap tersebut diimplementasikan oleh Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai rasul maupun ketika menjadi kepala negara.
Kejujuran sudah pasti menjadi kunci utama kesuksesan seorang pemimpin. Mustahil orang yang selalu berbohong mampu membawa perubahan bagi bangsanya. Jujur di sini adalah keselarasan antara ucapan dan tindakan nyata, serta komitmennya terhadap kepemimpinan yang sedang diembannya. Dalam kata lain, pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi.
Sifat dapat percaya merupakan sifat wajib bagi seorang pemimpin. Orang yang sekali saja melakukan kesalahan (tindakan tercela) sudah barang tentu kepercayaan publik akan hilang. Ia akan dicap sebagai penjahat, meskipun kejahatan itu dilakukan hanya sekali, dan tanpa disengaja sekalipun.
Begitu pun dengan sikap yang ketiga, tabligh (menyampaikan). Jika dalam konteks kenabian makna tabligh terbatas pada penyampaian Nabi Muhammad atas semua ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada umat-Nya. Namun, dalam konteks kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara, tabligh dapat dimaknai sebagai bentuk penyampaian seorang pemimpin atas amanah konstitusi Negara. Penyampaian amanah konstitusi misalnya, menjaga kesejahteraan rakyat, keadilan, dan keamanan Negara. (Masduri:2012).
Sikap tabligh merupakan implementasi dari kedua sikap sebelumnya, yakni sidik dan amanah. Pemimpin yang jujur dan amanah pasti akan tabligh, sebab tabligh merupakan dampak dari kedua sikap tersebut.
Yang terakhir adalah fatanah (cerdas). Seorang pemimpin yang ideal juga harus memiliki kategori ini, cerdas. Sikap cerdas atau bisa dikatakan menjadi modal dasar bagi siasat seseorang dalam memimpin masyarakatnya. Misalnya, kecerdasan dalam menyejahterakan rakyat, kecerdasan dalam menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, kecerdasan dalam menjaga keamanan dan stabilitas negara dari ancaman luar, kecerdasan dalam memberantas tindak korupsi serta kecerdasan dalam menempatkan diri tidak berbuat ceroboh dan tidak senonoh.
Keempat sikap tersebut telah terbukti mampu membawa Nabi Muhammad sukses dalam memimpin¸ baik sejak beliau di Madinah atau pascapembukaan Kota Mekah (fathul Makkah), di mana saat itu kekuasaan Islam terus berkembang. Bahkan, Nabi Muhammad tidak butuh waktu lama. Hanya butuh sebelas tahun beliau mampu menaklukkan seluruh jazirah Arab.
Selain keempat sikap itu tentu masih banyak sikap bijak lainnya sebagai bumbu yang mampu memaniskan kepemimpinan yang pernah dicapai Nabi Muhammad; seperti sikap pemberani, tegas, berpendirian kokoh, respek dan memahami kebutuhan masyarakat.
Mungkin ada yang berdalih: Nabi Muhammad adalah manusia yang dipilih oleh Allah SWT. Nabi Muhammad memiliki sifat ma’shum (terhindar dari dosa). Namun, mari sekarang kita posisikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara atau pemimpin bangsa, beliau adalah manusia biasa. Pada posisi itu beliau juga sama seperti manusia atau pemimpin pada umumnya, kemungkinan untuk melakukan tindakan penyimpangan juga ada. Namun, karena Nabi paham posisi dan tanggung jawabnya, ia bisa menjalankan amanahnya sebagai kepala negara dengan baik.
Terakhir, penulis dan jutaan penduduk Indonesia bahkan semua umat manusia berharap para pemimpin dapat berkaca. Berkaca kepada cara dan corak kepemimpinan yang dicontohkan Nabi Muhammad. Penulis yakin dengan mengimplentasikan ke empat sifat tersebut pemimpin akan sukses memimpin rakyatnya, terutama memimpin Indonesia. Semoga saja bisa. !

*) Guru Pembimbing IMTAQ di SMP Dharma Wanita, Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India