Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Senin, 27 Agustus 2012

Mewaspadai Ancaman Penyakit Metropolitan

Oleh :
Muhammad Ali Murtadlo
Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, sekaligus pemerhati sosial dan Budaya.

Secara normatif, puasa Ramadan yang dilanjutkan dengan perayaan Idul Fitri baru saja berlalu. Disyariatkannya puasa sebagai upacara ritual manusia dalam relasinya dengan Allah pada hakikatnya adalah untuk menjadi pedoman dalam bertindak. Tuiuan disyariatkannya puasa adalah untuk menuntun potensi positif manusia kearah implementasi yang benar, dan mengerem kejelakan dalam titik minimum.
Puasa yang berarti mencegah atau menahan merupakan syariat yang diturunkan kepada manusia agar manusia tidak melakukan keangkara-murkaan. Melalui puasa, manusia mengekang hawa nafsu dan menahan semua yang membatalkan puasa. Di sisi lain, harus mengembangkan potensi kebaikan, seperti sabar, ikhlas, jujur, dan amanah dalam rangka menuju ketaqwaan. Karena target akhir puasa adalah mencapai derajat taqwa.

Saatnya Balik
Terlepas dari hukum dan syariat puasa, ada fenomena menarik yang tidak bisa dilepaskan dari Puasa dan Idul Fitri, yakni mudik dan balik. Mudik berarti pulang menuju kampung halaman untuk merayakan lebaran. Dan balik yakni kembali ke Kota, tempat peraduan dan mengadu nasib.
Setelah tradisi mudik dan lebaran telah usai, pada minggu-minggu ini merupakan waktu bagi pemudik untuk kembali ke Kota. Pasalnya senin (27/08/2012) merupakan awal untuk memasuki dunia kerja. Bagi siswa saatnya untuk masuk sekolah. Dan bagi mahasiswa saatnya untuk masuk kuliah.
Tidak bisa dipungkiri setidaknya tiap tahun jumlah pendatang baru (urban) terus meningkat. Kaum pendatang baru yang bergabung dalam arus balik adalah gelombang angkatan kerja yang terpesona dengan cerita-cerita sukses yang dibawa oleh para pemudik, sehingga mereka memutuskan untuk mengadu nasib di Ibu Kota. Gelombang urbanisasi ini tentunya akan semakin menambah masalah yang sudah kompleks di Ibu Kota, misalnya, kepadatan, kemacetan, pengangguran, kriminalitas, dan permasalahan sosial.

Sebuah Analogi
Ada kisah menarik yang patut kita cermati. Ini adalah dialog Nabi Musa 'Alaihi Salam (AS) dengan ummatnya Bani Israil dalam pengembaraan mereka di gurun pasir selama 40 tahun. Tujuan Allah menyuruh mereka mengembara selama 40 tahun di gurun pasir itu adalah untuk mendapatkan generasi baru yang bermental ulet, tahan uji, tahan derita, berani, berjiwa merdeka, menggantikan generasi tua yang bermental budak dan manja. Dialog yang terjadi ini, adalah belum lama setelah mereka diselamatkan Allah dari kejaran Firaun bersama bala tenteranya.
Dialog ini terjadi antara Nabi Musa AS dengan generasi tua. Seperti telah diketahui oleh, baik ummat Yahudi, maupun ummat Nasrani dan ummat Islam, Bani Israil selamat dari kejaran Firaun karena Allah memberikan mu'jizat kepada Nabi Musa AS. Laut Merah terbelah oleh pukulan tongkat Nabi Musa AS, bani Israil masuk dicelah-celah air laut yang terbelah, disusul oleh Fir'aun dan bala tenteranya. Setelah seluruh Bani Israil keluar dari celah-celah air itu, laut kembali bertaut, lalu tenggelamlah Fir'aun dan seluruh bala tenteranya.
Dalam pengembaraanya itu Allah SWT memberi anugerah khusus kepada mereka. Ada tiga jenis anugerah khusus: pertama, Al Ghama-mu atau awan pelindung dari teriknya matahari. Kedua,  Al Manna, sebangsa lumut rasanya manis yang mengandung zat yang terdiri dari hidrat arang. Ketiga, As-Salwa, sejenis burung yang mengandung protein dan lemak (Q.S Albaqarah (2) 57).
Dialog mulai dibuka oleh generasi tua tersebut: Wahai Musa kami sudah tidak tahan lagi dengan makanan yang dari itu itu saja. Kemudian mereka meminta lagi agar Nabi Musa berdoa kepada Allah SWT untuk minta makanan yang bermacam-macam, seperti yang telah pernah mereka rasakan dahulu. Maka Nabi Musa menjawab: Mengapa kamu inginkan pengganti yang tidak baik atas yang sudah baik?  kemudian Nabi Musa berkata lagi: Turunlah ke kota, di situ kamu akan dapatkan apa yang engkau kehendaki.
Selanjutnya Allah SWT menginformasikan kepada kita dalam Surat Al Baqarah ayat 61 seperti berikut: Dan ditimpakan kepada mereka kehinaan dan kesengsaraan, dan kenalah murka Allah disebabkan mereka itu ingkar akan ayat-ayat Allah, dan membunuh nabi-nabi dengan sewenang-wenang, demikianlah mereka itu kepala batu dan melanggar batas.
Ada dua hal yang dapat kita ambil pelajaran dari Q.S Al Baqarah, ayat 61 tersebut. Pertama, kecenderungan orang desa pergi turun ke kota (down town), berurbanisasi. Mereka itu mempunyai dorongan keinginan akan kehidupan yang lebih baik, makanan yang bermacam-macam, fasilitas yang lebih menyenangkan.
Nabi Musa AS memperingatkan mengapa kehidupan yang baik di gurun (baca: di desa) meminta ganti dengan kehidupan yang tidak baik di kota. Kita semua sudah tahu, betapa sekarang bahayanya makanan yang berjenis-jenis itu. Zat pewarna yang merusak hati, otak dan organ tubuh lainnya. Zat penyedap yang membahayakan kesehatan, makanan kaleng dengan zat pengawet penyebab kanker, belum lagi yang sudah kadaluarsa. Ini dari segi makanan, belum lagi udara sehat yang bersih di desa akan ditukar dengan udara yang sudah penuh dengan zat pencemar di kota.
Kedua, dan ini tidak kurang pentingnya yaitu secara sosiologis. Masyarakat desa merupakan suatu keluarga besar. Kehidupannya intim, namun kontrol sosial ketat, sehingga mudah terhindar dari kemaksiatan. Kontrol sosial yang ketat itu merupakan salah satu sisi mata uang, sedang sisi yang lain yaitu sistem perlindungan dan jaminan sosial yang cukup berkualitas. Lalu apa yang dialami oleh penduduk desa yang sudah berurbanisasi itu?
Kehidupan intim lenyap, bahkan orang bertetangga sudah kurang saling mengenal, dipagari tembok tinggi, masing-masing sibuk sendiri. Orang menjadi kesepian di tengah-tengah orang ramai. Kesepian dicoba dihilangkan dengan kehidupan malam, tetapi penyakit kesepian itu tak kunjung-kunjung hilang. Maka kita yang hidup di kota sekarang ini, haruslah menyadari akan bahaya kedua penyakit itu. Penyakit yang diakibatkan makanan dan penyakit sosiologis, yang sudah ada sejak dahulu kala sekurang-kurangnya sejak zamannya Nabi Musa AS. Dan masih banyak lagi penyakit semacam itu di kota metropolitan. Mudah-mudahan kita mampu memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang bukan. ***

Terbit di Koran "Harian Bhirawa" Edisi Selasa, 28 Agustus 2012 M

http://www.harianbhirawa.co.id/opini/51715-mewaspadai-ancaman-penyakit-metropolitan

Mengadopsi Keunikan Pare

oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Selama sepuluh hari, saya dan kawan-kawan Ambisi (Aliansi Mahasiswa Bidik Misi) IAIN Sunan Ampel Surabaya mengikuti program holiday di Pare, Kediri, Jawa Timur. Program Holiday itu berupa kursus Bahasa Inggris. Kami tiba disana Senin, 16 Juli 2012. dan beranjak pada Rabu, 26 Juli lalu. Meskipun hanya sepuluh hari, kami merasa terkesan dengan suasana disana.
Tentu, ketika kita mendengar nama kampung, fikiran kita akan mengarah pada tempat yang terpencil, tertinggal, dan terbelakang. Namun berbeda dengan kampung yang satu ini, kita akan disuguhi suasana kampung yang berbeda.
Pare yang terkenal dengan sebutan kampung inggris itu telah membuat kami kagum. Saya berada disana terasa berada di eropa. Bukan karena keindahan alamnya yang mirip dengan eropa, akan tetapi budaya dan cara mereka bicara. Di setiap penjuru tempat, di jalan-jalan, di halaman rumah mereka bercakap-cakap dengan bahasa asing, bahasa Inggris.
Ini adalah kali pertama saya belajar disana. Masa liburan seperti ini pare memang menjadi salah asatu tujuan utama bagi sebagian siswa maupun mahasiswa untuk menghabiskan waktu liburan. Sehingga tak hayal, ketika kami berada disana, kampung ini berubah menjadi layaknya sebuah kota. Suasananya, keramaiannya, orang-orangnya, semua penuh semangat untuk belajar bahasa asing.
Di Kampung Inggris Pare menawarkan berbagai suguhan kursus mulai dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Di sana kita akan disuguhi berbagai jenis spesialis kursus. Bagi yang ingin mendalami gramatikal dapat menngikuti program grammar. Bagi yang ingin mahir bicara di muka umum dapat mengambil program public speaking. Selain itu, ada program prounansaction, Writing, dan lain-lain sebagainya. Karena mengingat singkatnya waktu yang hanya sepuluh hari itu kami mengambil program speaking.
Kami, kawan-kawan AMBISI yang beranggotakan mahasiswa penerima Beasiswa Bidikmisi begitu berambisi untuk menambah pundi-pundi ilmu, khususnya kemahiran dalam berkomunikasi menggunakan bahasa inggris. Kami mengambil kursus di The Daffodils yang terletak di jalan pancawarna. Karena mempertimbangkan waktu yang hanya sepuluh hari itu, kami mengambil program Speaking First.
Salah satu tutor mengatakan “memang bahasa itu memerlukan sebuah kebiasaan. Orang Inggris meskipun mereka tidak belajar bahasa Inggris akan mahir berbahasa inggris. Orang Madura, meskipun tidak mempelajari bahasa Madura mereka akan paham dengan sendirinya. Karena kita tidak terbiasa dengan bahasa inggris, mau gak mau kita harus belajar agar mengerti bahasa internasional itu. Untuk itu di kampung Inggris inilah tempat kalian untuk membiasakan bahasa itu”, pungkasnya.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa bahasa inggris itu penting untuk dipelajari. Miss Indah menjelaskan bahwa kita mempelajari bahasa inggris karena beberapa alasan. Diantaranya, karena Modern Tecnology (Tekhnologi Modern), High Prestige (wibawa/gengsi tinggi), Job Application (pengapilkasian pekerjaan), dan terakhir karena scholarship (Beasiswa) yang semuanya menggunakan dan membutuhkan bahasa Inggris. Mungkin karena alasan itulah mengapa orang-orang berbondong untuk mendalami bahasa Inggris, khususnya di kampung Inggris, Pare.

*) Mahasiswa Bidikmisi, Fakultas Syariah,  IAIN Sunan Ampel Surabaya

Waktu Menunggu Pagi


Malam itu Hitam, pekat dan kelam
waktu untuk memperbarui iman
waktu untuk mengusir setan
Setan-setan Keangkuhan


Malam itu istimewa, elok dan mulia
Waktu untuk mengistirahatkan raga
Waktu untuk mencharger Nyawa
Nyawa ''Ketuhanan'' yang hilang entah kemana

Malam itu rahmah, indah, penuh berkah
waktu untuk mencangkok arwah
waktu untuk merazia serakah
membuangnya di tempat sampah

Malam itu gelap, sepi, sunyi
waktu untuk menghisab diri
waktu untuk bersuci
Merengguh kasih Ilahi

Malam itu.................
waktu untuk menunggu pagi.

Surabaya, 17 Agustus 2012 M

Perlunya Pendidikan Iman dan Taqwa


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Science without religion is lame, religion without science is blind”. (Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta). Pernyataan Albert Einstein ini ditulis dalam suratnya kepada filosuf Eric Gutkind, sebagai respon setelah menerima buku “Choose Life: The Biblical Call to Revolt”. Surat itu ditulis pada 3 Januari 1954, di Jerman, dan menjelaskan keyakinan pribadi Einstein tentang agama dan orang-orang Yahudi.
Jika kita renungkan quote yang dituturkan Einstein tersebut sejalan dengan apa yang terjadi sekarang. Dalam konteks zaman sekarang banyak orang pintar, jenius, berpendidikan tinggi, namun tidak diimbangi dengan akal budi yang tinggi. Sehingga banyak kita jumpai mereka yang mendapatkan jabatan tinggi di pekerjaannya tetapi masih melakukan korupsi.
Selain itu, banyak kita temui perbuatan yang dikategorikan sebagai ‘tingkah menyimpang’. Kalau kita mencermati media massa, beraneka ragam model ‘tingkah menyimpang’ terjadi hampir setiap hari. Bukan saja dilakukan oleh anak- anak dan remaja, tetapi juga oleh orang-orang tua yang bergelar akademik tertentu. Ada segerombolan pelajar yang berpesta sex bebas untuk merayakan kelulusan sekolah. Bahkan, berdasarkan penelitian terhadap pelajar SMP dan SMA di beberapa kota besar di Indonesia, ditemukan hampir 85 % telah melakukan hubungan sex di luar nikah. Hingga pesta miras dan narkoba oleh Afriyani Susati dan kawan-kawan, yang berakhir tragis menewaskan sembilan pejalan kaki di Tugu Tani, Jakarta.
Juga terlihat banyak pemuda bermabuk-mabukan dengan mengkonsumsi narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya. Kita juga tidak dapat menyangkal, bahwa para pemimpin kita banyak yang berbuat tidak terpuji. Misalnya kasus penyelewangan hukum oleh para mafia hukum sampai dengan tindak korupsi yang mustahil untuk diatasi, dan masih banyak lagi.
Mengapa ini semua bisa terjadi? Jawabannya adalah karena tidak adanya keseimbangan antara kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK) dengan penanaman Iman dan Taqwa (IMTAQ). Jiwa yang kosong akan Iman dan Taqwa cenderung melakukan perbuatan yang dilarang meskipun Ilmu dan Pengetahuan dikuasai.
Sekolah sebagai mini society memiliki peranan sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai IMTAQ kepada warganya. Artinya, penananam Iman dan Taqwa bukan hanya untuk siswa, tetapi juga Kepala Sekolah, Komite Sekolah, Guru, dan Karyawan lain. Artinya, penanaman Iman dan Taqwa merupakan investasi utama dalam membentuk pribadi-pribadi unggul yang cakap memimpin bangsa.

*)Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Konsep Adil dalam Kesetaraan Gender**


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa jauh sebelum modernitas berkembang kedudukan kaum perempuan lebih dari sekedar memprihatinkan. Mereka dipandang sebagai manusia yang tak berharkat dan tak punya martabat. Bahkan, perempuan adalah sosok yang mempunyai image sebagai makhluk pembawa sial yang memalukan dan tidak berhak berada pada tempat yang terhormat di masyarakat. Perlakuan inhuman kepada kaum perempuan ini tercatat berlangsung cukup lama sebelum datangnya islam.
Era itu dikenal dengan zaman jahiliyah, yang mana perempuan diperlakukan layaknya binatang piaraan yang bisa dikontrol, dijual, atau bahkan diwariskan. Lebih dari itu, sejarah mencatat bahwa Arab jahiliyah terkenal dengan tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Dengan alasan yang jelas-jelas tidak masuk akal, khawatir kelak mereka hanya merepotkan keluarga, tidak bisa berperang dan mudah ditangkap musuh yang pada akhirnya harus ditebus.
Lebih Terhormat
Perlakuan tidak manusiawi itu sedikit demi sedikit hilang seiring berkembangnya islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Islam, perempuan memperoleh perhatian lebih. Begitu perhatiannya islam terhadap kaum hawa, sampai-sampai diabadikan dalam salah satu surat Al-Quran yang disebut Surat An-Nisa (Wanita). Lebih dari itu, Islam melarang keras membunuh anak-anak, terlebih membunuh anak perempuan.
Penjelasan terkait keadaan perempuan dalam Islam menunjukan bahwa kedudukan perempuan diangkat martabatnya ketika Islam datang. Bahkan, kedatangan Islam bertujuan untuk menghapus segala bentuk intervensi dan pelecehan harkat martabat kaum hawa. Fazlur Rahman (1982) mencatat bahwa tak ada bukti sama sekali jika perempuan dalam Islam dipandang sebagai lebih rendah dari laki-laki. Malahan,  Islam menempatkan perempuan ditempat terhormat serta sebagai sosok yang mulia. Terlebih, bagi perempuan yang menyandang status ibu.
Al-Qur’an memerintahkan setiap anak yang beragama Islam untuk bersikap hormat yang tinggi terhadap orang tua, terutama kepada ibu. Singkatnya, posisi dan kedudukan perempuan pada zaman jahiliyah ditaruh jauh di belakang lelaki, kemudian saat Islam datang perempuan diangkat derajatnya menjadi lebih terhormat.
Kaum Hawa Masa Kini
Kalau dulu perempuan hanya diberikan ruang dan tanggung jawab dalam mengelola urusan rumah tangga. Bahkan, hak-hak dasar manusia yang seharusnya  dimiliki perempuan, seperti pendidikan, berkarir dan hak berpendapat sering kali dikesampingkan. Kini, beriring kemajuan etika dan pemikiran manusia, perempuan mulai diakui eksistensinya sebagai manusia yang harus dihormati harkat dan martabatnya. Terlebih dengan adanya emansipasi wanita, perempuan telah dianggap sejajar dengan laki-laki namun tetap dalam peran masing-masing.
Perempuan yang tergambar hanya untuk masak, macak, dan manak, kini mulai terkikis. Pasalnya, banyak perempuan yang telah berkecimpung dalam dunia yang dahulu hanya lazim dilakukan oleh laki-laki, seperti memperoleh pendidikan, berkarir, memimpin, dan bahkan ikut andil dalam peperangan.
Bahkan, jika tidak ada aral melintang pemerintah akan mengesahkan Undang-Undang Kesamaan dan Kesetaraan Gender (UU KKG) yang saat ini masih berupa rancangan. Namun, Rancangan Undang-undang yang dinilai menuai kontroversi ini masih digodok oleh DPR. Pasalnya, ada yang menganggap ini adalah sebuah sikap berlebihan, yang nantinya hanya akan merusak konsep kesetaraan yang selama ini sudah ada.
Konsep Keadilan
Dalam persoalan Kesamaan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang selama ini digembor-gemborkan, ada satu hal yang menjadi tuntutan yakni keadilan. Keadilan yang dipahami selama ini adalah mendapat bagian yang sama rasa dan sama rata, mempunyai kedudukan yang setara, mempunyai derajat yang sepadan, memiliki persamaan hak dan kehendak, serta serba sama dalam berbagai hal.
Jika konsep keadilan seperti itu yang diyakini, maka perlu dilakukan pembaruan persepsi. Konsep adil bukanlah sama rata dan sama rasa melainkan menempatkan sesuatu secara proporsional. Proporsional yang dimaksud disini adalah “Wadhu syai’i fi mahalihi”, menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Sebagai contoh, Al-qur-an menyebutkan “Arrijaalu Qowaamuuna ala An-nisa”, laki-laki lebih kuat dari pada perempuan yang kemudian melahirkan beberapa aturan hukum. Misalnya, dalam hukum islam, masalah harta pusaka (waris) wanita mendapat bagian setengah dari bagian laki-laki atau laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan. Jika dilihat dari mata telanjang tentu asumsi yang muncul adalah itu tidak adil. Namun, kita perlu melihatnya lebih dalam dengan menggunakan rasionalitas sebagai pisau analisa.
Dalam rumah tangga, yang menjadi tulang punggung keluarga adalah laki-laki. Laki-laki yang bertanggung jawab memberikan nafkah lahir maupun bathin. Lahir berupa papan, sandang, pangan dan nafkah bathin berupa mengayomi keluarga dengan penuh kasih sayang. Sehingga beban yang ditanggung laki-laki lebih besar daripada perempuan. Jadi wajar kalau laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dalam masalah waris. Itulah yang dinamakan proporsional.
Demikianlah konsep adil yang sebenarnya. Sehingga apabila kaum perempuan memahami konsep itu dengan sebaik-baiknya, saya yakin tidak ada lagi tuntutan kesamaan dan kesetaraan gender karena sejatinya kesetaraan gender sudah ada sejak lama tanpa diperjuangkan seiring berkembangnya islam. Sebagai manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa kita harus meyakini bahwa hakikatnya semua manusia adalah setara, semua sama dihadapan Tuhan. Hanya derajat Taqwa yang membedakan mana yang mulia dan mana yang bukan.
*) Pengurus IPNU PKPT IAIN Sunan Ampel Surabaya

**Diterbitkan di Suara Nahdliyin Muda, Edisi Perdana

Menyoal Kebiasaan Lobbying Mahasiswa**


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Terkadang suatu kebiasaan yang tidak kita sadari seringkali menjadi sesuatu yang patut untuk kita perbincangkan. Salah satunya adalah budaya lobbying dikalangan mahasiswa. Lobbying yang dalam bahasa ringannya dapat diartikan sebagai proses “tawar menawar” menjadi sesuatu yang tidak asing lagi, terutama bagi kalangan mahasiswa aktivis.
Dalam (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia, lobbi adalah melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian diartikan sebagai bentuk partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang. Sedangkan pelobian yang dilakukan mahasiswa seringkali mengarah kepada mempengaruhi kebijakan dosen, akademik, dekanat, rektorat maupun segala sesuatu yang berada di dalam kampus, untuk mencapai tujuan dan keinginan tertentu.
Sinonim dari lobbi adalah negosiasi. Lobbi dan negosiasi merupakan satu istilah yang mempunyai arti hampir sama. Jika ada seseorang mencoba mengubah keputusan orang lain demi tercapai tujuannya (entah bagaimana caranya), ini yang disebut lobbi. Jika seseorang merasa tidak melewati jalan mulus untuk mendapatkan keinginannya maka ia akan mencoba menggunakan cara lain yang tidak sesuai prosedur dengan jalan tawar menawar, itu yang disebut sebagai bentuk negosiasi.
Sejatinya, lobbying hanya dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan yang dilakukan anggota legislatife dan anggota badan sejenis. Namun sekarang sudah tidak demikian. Lobying sudah jamak dilakukan oleh mahasiwa untuk mempengaruhi kebijakan rektorat, kewenangan dekanat, sampai keputusan dosen.
Sebagai contoh kecil, ketika ada jam kuliah yang tidak sesuai dengan kehendak, mereka melobbi sang dosen untuk  memindah jam kuliah sesuai dengan keinginan. Contoh lain, ketika mereka dibebani tugas, mengeluh, meminta diperingan seringan-ringannya, dan masih banyak lagi contoh-contoh lain. Sebenarnya itu semua tidak masalah namun menjadi masalah ketika lobbying dilakukan berulang kali, dan tidak pada tempatnya.
Bagi sebagian mahasiswa lobbi merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengatasi segala perbedaan kepentingan. Dapat dimaklumi, karena memang manusia itu berbeda kepentingan. Lain kolam, lain pula ikannya. Begitu juga lain otak lain pula kehendaknya. Seringkali untuk menyatukan kehendak itu diperlukan sebuah musyawarah untuk menemukan jalan tengah. Salah satunya dengan melobi atau menegosiasi.
Dari sini, muncul beberapa pertanyaan yang patut kita renungkan. Apakah sah-sah saja jika lobbying dilakukan oleh mahasiswa yang sering sekali bolos untuk alasan yang tidak jelas, dan minta diijinkan untuk mengikuti ujian? Apakah sah-sah saja jika lobbying dilakukan oleh mahasiswa yang selalu ingin menghindari tugas yang diberikan oleh dosen? Apakah sah-sah saja jika lobbying dilakukan oleh mahasiswa yang bahkan tidak pernah mengerti apa yang selama ini ia pelajari dari semester awal sampai semester akhir? Tentu hanya mahasiswa bersangkutan yang faham jawabannya.
Sewajarnya Saja
Orang yang pandai melobi, pasti mereka mempunyai berjuta alasan, bahkan bermiliaran alasan untuk melancarkan “serangan”. Mereka pasti mempunyai strategi matang untuk “menjinakkan mangsa” agar menuruti kehendaknya. Ibarat mau perang mereka sudah siap dengan beberapa kemungkinan, siap untuk menjadi pemenang, dan siap untuk menjadi pecundang. Jika berhasil mempengaruhi lawan berarti mereka telah menang dalam medan perang, dan jika keinginan melobbi tak terpenuhi berarti mereka telah menjadi pecundang.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan lobbying, itu menjadi hak semua orang. Namun menjadi masalah ketika salah penempatan. Sebagai mahasiswa wajib bagi kita untuk bersikap kritis, mengkritisi semua kebijakan kampus yang tidak sesuai dengan hati nurani mahasiswa. Namun, juga jangan bertindak arogan dengan menghalalkan segala cara. Bukankah agama kita memerintahkan untuk tidak bersikap berlebihan?
Selama lobbying dilakukan dalam batas sewajarnya itu masih sah-sah saja. Namun ketika dilakukan tanpa etika, itu yang menjadi sangat tercela. Semua kembali kepada pribadi masing-masing. Seperti apa dan bagaimana kita menyikapinya. Tentu yang mempunyai jiwa kedewasaanlah yang mampu bersikap professional.
Menjunjung Kejujuran
Menjadi sangat penting ketika seseorang yang berkehendak untuk melakukan pelobian agar tetap berpegang teguh pada kejujuran. Kita tahu bahwa kejujuran saat ini menjadi barang mahal yang langka kita temui. Kejujuran yang seharusnya dipegang teguh kini telah luntur. terbawa oleh budaya yang begitu mesra bersenggama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung. Mengalir menjadi sebuah kebiasaan yang sebenarnya harus kita lawan. Lawan dengan keyakinan bahwa yang jujur pasti “mujur” bukan malah menjadi ‘ajur”.
Bukan berarti disini penulis merasa orang paling jujur, melainkan sekedar mengingatkan bahwa dalam pelobian jangan sampai terjadi penipuan atau kebohongan. Dosen, dekan, rektor dan siapapun itu, mereka tidak akan melihat seseorang yang pandai ngomong, pandai berargumentasi tetapi semua hanya bualan. Mereka akan segan kepada orang yang sedikit ngomong namun sesuai kenyataan. Bukankah demikian?
 *) Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi, Jurusan Ahwalus Syahsiyah (AS/IV), Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya.

**Diterbitkan di Buletin Tafakur, Sema Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya (Edisi Awal Agustus)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India