Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Minggu, 12 Mei 2013

Cerita dari Kampung Halaman



Ahad (12/05), Saya sekarang berada di kampung halaman. Lama tak pulang kampung membuat saya rindu suasana kampung. Entah kenapa hati saya tergerak untuk menuliskan cerita tentang kampung halaman dan masa kanak-kanak. Menurut saya masa paling terkesan tetap masa kanak-kanak di kampung halaman. Masa di mana saya menghabiskan waktu bersama alam, tanpa beban, tanpa “tanggung jawab” dan tanpa ini itu. Pokoknya mau apa saja terserah.
Seperti catatan saya bertajuk Bernostalgia Dengan Masa Kanak-Kanak sebelumnya saya memaparkan cerita yang hanya saya ingat.
Tentang hidup saya di masa lalu yang bisa dibilang tak seperti kebanyakan orang. Tentang kenangan dengan kawan-kawan, dengan tetangga, dengan alam pedesaan, dengan suasana kampung, dan dengan semua yang pernah bersua dengan saya. Banyak kenangan yang tak terlupakan. Semua cerita itu tinggal kenangan yang tak mungkin dapat terulang.
Semua orang pasti mempunyai cerita masing-masing. Dan masing-masing cerita pasti berbeda, karena perjalanan hidup orang itu lain-lain. Adakalanya yang memilukan, bahagia bahkan ada yang membuat fikiran kita down ketika mengingat-ngingat kenangan yang menyedihkan. Yang pasti perjalanan hidup seseorang itu ada dua kemungkinan, bahagia atau sengsara, kaya atau miskin, disegani, atau dicaci, disukai atau dibenci, dan sebagainya. Tapi Anda pasti setuju jika saya menyebut perjalanan hidup orang-orang itu adalah perjalanan menuju muara, yakni kematian.
Berbicara kematian, fikiran saya seolah tak percaya. Orang-orang di kampung saya yang dulu saya kenal, yang sering bersua, bahkan waktu kecil sering main dirumahnya telah meninggal beberapa hari lalu. Bukan hanya satu orang namun dua orang sekaligus dalam satu hari. Saya tidak hendak menyesali atau menangisi, karena bagi saya kematian adalah sebuah keniscayaan. Saya hanya tak menyangka ternyata umurnya tak sepanjang yang saya prediksikan.
Saya yang jarang pulang kampung seolah merasakan perbedaan di kampung. Mulai dari segi suasana kampung, orang-orangnya hingga bangunan rumahnya. Saya tak menyangkal bahwa perubahan itu penting. Perubahan itu adalah sebuah keniscayaan dan termasuk dalam hukum alam, bahwa manusia itu mengalami perubahan dan perkembangan. Selagi perubahan itu ke arah kemajuan dan perkembangan saya memaknainya dengan positif.
Ada beberapa fenomena menarik di desa saya hendak saya utarakan di sini. Ini hasil diskusi saya tadi malam dengan seorang kawan ketika ngopi di depan pasar Sumberrejo. Pertama, di desa saya sekarang lagi hiruk pikuknya pesta demokrasi. Ada pemilihan kepala desa (Kades). Calon kades yang akan dipilih nanti ada dua calon. Dan menariknya calon kades tersebut adalah pasangan suami istri kepala desa lama yang saat ini masih menjabat. Jadi calonnya ada dua, laki-laki dan perempuan itu pun suami-istri.
Selama ini saya baru menemukan sebuah perebutan kekuasaan pemimpin yang direbutkan oleh pasangan suami istri. Dan ini mungkin hanya di daerah saya (atau mungkin di daerah lain yang tidak saya ketahui). Menurut spekulasi saya ini adalah pemahaman demokrasi yang terlalu dangkal. Memang dalam demokrasi, semua orang berhak untuk mengajukan diri, semua orang baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, semua berhak untuk ikut andil dalam pesta demokrasi. Selagi tidak terjerat kasus hukum atau pernah mengonsumsi obat-obat terlarang. Namun perlu dicermati, etiskah jika yang memperebutkan adalah pasangan suami-istri?
 Analisis saya, itu adalah bentuk dari politik. Di desa saya yang berminat untuk menjadi kepala desa sangat minim. Mungkin karena jabatan kades terlalu berat, mengingat problem desa sangat komplek. Ditambah karakter masyarakat di desa saya termasuk masyarakat yang sulit diatur. Maka hanya orang-orang yang memang benar-benar berkompeten yang mau menjadi kades. Dari pada tidak ada yang mencalonkan diri, mereka mencalonkan berdua. Itu meminimalkan kemungkinan apabila tidak jadi. Karena jika calonnya cuma satu musuhnya adalah “bambu kosong”. Namun jika calonnya ada dua maka kemungkinan yang jadi pasti mereka berdua. Jika yang jadi nanti laki-laki yang perempuan pasti tetap dipanggil bu lurah, dan sebaliknya jika yang jadi nanti perempuan yang laki-laki tetap dipanggil pak lurah.
Selain itu, tanpa menutup-nutupi dan ini sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap pesta demokrasi pasti tidak bisa dilepaskan dari adanya uang. Jangankan di desa, di perkotaan juga demikian. Jadi yang punya uanglah yang berani mencalonkan. Karena orang desa yang kebanyakan bukan dari kaum berpendidikan tentu pola pikirnya masih rendah. Kalau tidak diberikan uang mereka tidak akan mau berangkat ke TPS. Bahkan yang unik mereka minta dijemput. Itulah ironi di negeri ini!
Kedua, tentang pasangan hidup. Orang desa banyak yang dapat pasangan hidup orang desa sendiri. Tidak lama ini tetangga sekaligus kawan saya baru saja menikah dengan tetangga sendiri, tidak hanya satu orang, bahkan ada dua pasangan sekaligus. Tanpa menafikan bahwa jodoh memang sudah diatur, saya menganggapnya ini adalah sebuah ekspresi ketidakterimaan.  Tidak terima jika anak desa diperistri oleh orang desa lain. Atau mungkin ada ikatan emosional antar keluarga dan terkadang ada semacam paksaan, karena selama ini yang saya amati ternyata pernikahan di desa-desa itu ada yang melancarkan. Di jawa dikenal dengan istilah “dandan” atau dalam istilah dagang adalah makelar.
Ketiga, ini sebenarnya masalah klasik terkait dengan tipe masyarakat di desa saya. Menurut pemaparan kawan saya tadi malam masyarakat desa saya itu unik, sulit diatur, merasa semua pinter, gampang tersinggung, dan lain-lain. Memang belum pernah diadakan penelitian tentang tipe masyarakat di desa saya, namun menurut pengalaman, masyarakat di desa saya memang tipe masyarakat yang saya sebutkan di atas. Terutama masalah agama, semua orang merasa sudah pinter sendiri. Sampai-sampai ketika ada pengajian umum yang mengundang orang luar dan penyampaiannya itu tidak sesuai dengan fikiran dan keyakinan meraka, akan meraka debat. Bahkan yang lebih menggelitik adalah ketika menjelang hari raya, posisi khatib dan imam menjadi bahan rebutan. Dan terkadang diwarnai permusuhan. Pernah suatu ketika diadakan pemilihan kyai, lantaran banyak yang menganggap kyai yang sekarang kurang terbuka dan tidak representative.
Itu sekelumit cerita saya dari kampung halaman yang mungkin dapat memberikan wawasan terkait dengan hidup. Bahwa hidup itu penuh warna. Hidup itu penuh dengan perbedaan dan keunikan masing-masing.
Salam dari kampung halaman!

Bojonegoro, 12 Mei 2013
Muhammad Ali Murtadlo, Seseorang yang terus belajar memaknai hidup, tinggal bersama mimpi untuk kebaikan dan kebahagaiaan masa depan.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

(y)

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India