Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Jumat, 22 April 2011

Ujian Nasional Hanya Sebagai Rutinitas Doank

UN SEBAGAI RUTINITAS BELAKA

            Kritik dari para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat terhadap kebijakan Ujian Nasional sudah terus menerus diperdengarkan selama tujuh tahun belakangan ini, yang mana pelaksanaan UN dilaksanakan sejak tahun 2005 hingga kini tahun 2011. Namun, pemerintah tetap saja tidak mau mendengar, dan UN tetap dilaksanakn hingga kini. Padahal, kebijakan tersebut sudah jelas melanggar prinsip-prinsip pedagogis, menyimpang dari amanat undang-undang dan mengorbankan anak-anak didik.
Ujian Nasional atau biasa disingkat UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Kemendiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Dalam dunia pendidikan sekolah berfungsi sebagai tempat atau lingkungan di mana aktivitas pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan kalau kita bicara tentang sekolah sendiri, maka dalam bayangan kita akan menghadirkan sebuah nostalgia betapa sekolah telah menjadi sebuah rutinitas manusia yang harus dilalui. Tidak peduli apakah seseorang menganggap bahwa bersekolah itu memiliki nilai guna ataukah hanya sebagai rutinitas belaka, tidak ada bedanya dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang diadakan pada setiap tahun seakan-akan hanya sekedar rutinitas belaka yang harus di tempuh bagi siswa didik, guna untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi apabila dinyatakan lulus dalam UN.
Pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah diatur dengan rambu-rambu kurikulum. Ada standard yang harus dicapai melalui prosedur proses pembelajaran yang benar. Bahkan perlu menggunakan metode-metode agar materi pembelajaran bisa merasuk pada diri siswa dan menjadi pondasi yang kokoh bagi pendidikan di tingkat berikutnya dan di masyarakat. kurikulum sebuah pendidikan merupakan perangkat pendidikan yang kerap dijadikan ruang intervensi kekuasaan transmitif (legitimatif), yaitu pelanggengan ideologi para penguasa terhadap rakyat atau peserta didik yang amat kental dengan nuansa budaya indoktrinasi, top down, dan politik penguasa sebagai penyetir dunia pendidikan. Dunia pendidikan telah terkooptasi oleh kekuasaan hegemoni negara. Imbasnya, dunia pendidikan kita dinilai hanya akan melahirkan proses penggiringan, pembodohan, dan penjinakan warga oleh kepentingan segelintir elit penguasa. seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini bukan kemaslahatan yang tercipta tetapi kenyataan bahwa permainan begitu kental mengiringi setiap sendi aktivitas demokrasi di negara kita ini. Seperti yang sedang terjadi pada sistem evaluasi pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan atas dengan diadakan ujian nasional (UN) sebagai standar kelululusan. Kebanyakan para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat yang berpendidikan menilai bahwa pelaksanaan UN adalah sebuah bentuk kekejaman pendidikan. Hanya sebuah rutinitas yang akan membunuh karakter pendidikan secara perlahan.
Pendidikan yang idealnya mampu menumbuhsuburkan nilai budaya pembebasan dalam proses pembelajaran tak lebih hanya sekadar “kuda tunggangan” demi memenuhi ambisi sekelompok elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Ruang kebebasan berekspresi dan alternatif pilihan yang merdeka bagi setiap warga negara pun nyaris tak bergema dari balik tembok-tembok sekolah.
Memasuki semester akhir di semua jenjang sekolah pembelajaran disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatu yang bertujuan untuk menyukseskan ujian nasional (UN), itu semua adalah kebiasaan yang terjadi pada kelas-kelas akhir di setiap jenjang pendidikan dasar, menengah dan atas. Sehingga hanya demi Ujian Nasional wali murid-pun rela mengeluarkan pembiayaan ekstra, dengan memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Tidak cukup itu saja, di sekolah pun diberikan jam tambahan di luar jam sekolah. Semua itu memerlukan energi khusus, baik berupa uang, waktu, dan tenaga. Intinya semua tercurah demi lulus UN. prosedur dalam menerapkan strategi agar semua siswa dapat lulus dengan nilai baik terkadang pihak sekolah menerapkan gaya pembelajaran yang seolah ada agenda “kejar tayang” dengan semakin dekatnya waktu penyelenggaraan UN tersebut, dan peserta didik dituntut untuk menguasai materi-materi yang diujikan agar bisa menjawab soal-soal UN dan lulus dengan nilai memuaskan, dan minimal lulus meskipun dengan predikat kurang memuaskan.
Jika pembelajaran hanya didesain dan dikondisikan untuk memburu angka-angka semu yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan UN, disadari atau tidak, anak-anak bangsa negeri ini akan mengalami proses pembodohan dan pembebalan secara sistematis. Cara berpikir pragmatis akan menjadi pilihan gaya hidup sehingga gagal mengapresiasi budaya proses dalam menggapai cita-cita dan harapan. Yang lebih menyedihkan, fakta-fakta nilai UN selama ini menunjukkan, anak-anak berotak cemerlang seringkali merasa terkebiri oleh anak-anak berotak pas-pasan. Siswa yang dalam kesehariannya (nyaris) tak menunjukkan prestasi mengagumkan, justru memperoleh nilai yang jauh lebih baik ketimbang siswa berprestasi menonjol dan berotak brilian. Dengan kata lain, soal-soal Multiple choise dalam UN dinilai kurang sahih dalam memotret profil kompetensi siswa didik. Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SMP dan SMA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam dalam beberapa hari saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes atau ujian (false negative). Meskipun demikian, tidak lantas berarti UN menjadi tidak bermakna sama sekali. Bagaimanapun juga dalam sistem atau proses pendidikan diperlukan evaluasi untuk mengukur mutu serta akuntabilitas penyelenggara pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menjembatani antara mutu dan akuntabilitas pendidikan tanpa mengabaikan proses yang dijalani guru dan siswa.
Di Amerika Serikat sendiri tes sejenis UN memang pernah dilakukan. Bahkan pada tahun 1997, tercatat dunia pendidikan Amerika Serikat menghabiskan dana sebesar US$ 200.000.000 per tahun untuk tes di sekolah-sekolah negeri (public school) (Tilaar, 2006) Namun hasil dari ujian akhir tersebut digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap permasalahan pendidikan nasional dalam rangka menyusun kebijakan pendidikan nasional bukan untuk menentukan kelulusan siswanya.
 Idealnya UN seharusnya hanya digunakan sebagai kepentingan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, sedangkan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada di sekolah. Dengan cara demikian, proses kelulusan akan mampu memotret kompetensi siswa didik secara komprehensif, utuh, dan menyeluruh, baik dari sisi catatan akademis maupun perilaku siswa di sekolah.
(aldo)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India