Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Sabtu, 21 Desember 2013

Refleksi Hari Ibu Bagi Para Guru


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Ketika ditanya siapa orang paling berjasa dalam hidup? Pasti kebanyakan orang  akan menjawab, dia adalah ibu. Ibu adalah orang yang melahirkan, membesarkan, merawat dan mendidik kita mulai dari bayi hingga kita dewasa bahkan sampai tua. Tidak ada yang mampu menandingi jasa seorang ibu kepada anaknya, sekalipun ibu tidak pernah meminta balas jasa.
Meskipun ibu bukanlah dewa ataupun malaikat, kasih sayangnya lebih dari sekedar malaikat. Ibarat anggota tubuh, Ibu adalah mata dan anak adalah kaki. Ketika kaki luka, tanpa diminta mata akan mengeluarkan air mata. Begitu juga ibu, ketika anaknya sakit dia akan merasakan sakit pula. Bandingkan jika mata sakit, apakah kaki akan peduli? Hanya kaki yang berbakti yang akan peduli.

Senin, 19 Agustus 2013

Menyanyikan Indonesia Raya di Ketinggian 3265 Mdpl (Catatan Perjalanan Menaklukan Puncak Gunung Lawu Magetan)



Oleh; Muhammad Ali Murtadlo*)

Terinspirasi dari novel yang difilmkan karya Dhonny Dhirgantoro, 5 CM, kami melakukan pendakian gunung. Namun lokasi pendakiannya berbeda. Jika Genta, Arial, Zafran, Ian, Riani dan Arinda melakukan pendakian di puncak Mahameru, kami berempat melakukan pendakian di puncak Hargo Dalem. Mahameru adalah puncak gunung Semeru, Malang, sedangkan Hargo Dalem adalah puncak gunung Lawu, Magetan. Kedua-duanya masih berada di kawasan Provinsi Jawa Timur.
Kamis, 15 Agustus 2013 kami berangkat dari Surabaya menuju Magetan. Perjalanan ini membutuhkan waktu kira-kira 5-6 jam. Dengan menggunakan jasa transportasi bus jurusan Sby-Jogja kami turun di terminal Madiun. Sampai terminal Madiun sekitar pukul 21;00 WIB. Dari terminal kami dijemput kawan menuju kediamannya, di Dusun Gambiran, Desa Madigondo, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan.

Minggu, 12 Mei 2013

Cerita dari Kampung Halaman



Ahad (12/05), Saya sekarang berada di kampung halaman. Lama tak pulang kampung membuat saya rindu suasana kampung. Entah kenapa hati saya tergerak untuk menuliskan cerita tentang kampung halaman dan masa kanak-kanak. Menurut saya masa paling terkesan tetap masa kanak-kanak di kampung halaman. Masa di mana saya menghabiskan waktu bersama alam, tanpa beban, tanpa “tanggung jawab” dan tanpa ini itu. Pokoknya mau apa saja terserah.
Seperti catatan saya bertajuk Bernostalgia Dengan Masa Kanak-Kanak sebelumnya saya memaparkan cerita yang hanya saya ingat.

Selasa, 30 April 2013

Catatan Akhir Bulan April 2013: Sebuah Refleksi Kematian



Judul di atas mungkin terlalu sexy apabila dimaknai secara dangkal. Namun akan menjadi sesuatu yang bermakna jika dicerna secara mendalam oleh akal. Ini hanya sebuah refleksi seorang pemimpi yang berusaha memaknai hidup menjadi lebih berarti.
Bagi kebanyakan orang, pergantian bulan tak menjadi perhatian serius. Orang yang tak peduli dengan makna waktu, biasanya hanya mengeluh karena sudah masuk tanggal tua, lantaran keuangan menipis. Dan saatnya menunggu tanggal muda untuk mendapat bayaran. Bagi pekerja/buruh menerima gaji, bagi PNS menerima gaji + tunjangan, sedangkan  bagi guru tanggal muda berarti waktu mengambil gaji + uang sertifikasi (bagi yang sudah bersertifikasi).  Namun bagi mahasiswa awal bulan berarti waktu untuk membayar uang kost-kostan atau untuk membayar hutang. Seolah-olah pergantian bulan adalah pergantian untuk memikirkan keuangan.
Untuk membedakan dengan kebanyakan orang, di akhir bulan ini saya ingin merefeleksikan diri. Ingin berintrospeksi diri, menimbang-nimbang semua pekerjaan yang telah saya lakukan selama sebulan ini. Aktifitas apa saja yang telah saya lakukan? Sudah berapa banyak manfaat yang sudah saya berikan untuk orang lain? Sudah sukseskah saya berkembang? Atau malah sebaliknya, belum sama sekali.
Semua orang pasti memiliki jalan hidup masing-masing. Semua orang memiliki keinginan sendiri-sendiri. Akan tetapi yang pasti semua orang memiliki standar hidup untuk menjadi yang lebih baik dari hari sebelumnya. Tak terkecuali dengan saya. Bahkan boleh dibilang jalan hidup yang saya lalui harus mengalami progresifitas ke arah lebih maju. Namun untuk mencapai itu, bukan hal yang remeh temeh. Butuh perjuangan dan kerja keras.
Hidup itu tak semudah membuat kopi, tinggal masak air, tuangkan ke racikan gula dan kopi (terkadang tinggal gunting sachet), lalu jadi kopi, kemudian menikmatinya di pagi hari sambil menyatap roti. Bukan. Hidup tak semudah itu. Bagi saya hidup adalah sebuah perjalanan menuju sebuah kepastian yang setiap orang pasti merasakannya nanti, yakni kematian.  Hidup manusia itu, kata Martin Heidegger adalah sesuatu kehadiran yang tertuju ke arah kematian. Namun sebelum mencapai sana, tentu kita harus mengisinya dengan hal-hal yang berarti. Agar mendapatkan bekal dan dapat hidup di alam selanjutnya dengan penuh kebahagiaan.
Terkadang hidup ini membuat saya bertanya-tanya. Sebenarnya klimaks (titik puncak kenikmatan) dari sebuah kehidupan itu seperti apa? Karena selama ini, banyak orang yang rela mati-matian mengejar kesuksesan. Bekerja keras untuk menjadi jutawan, miliaran, bahkan menjadi orang terkaya sedunia. Akan tetapi ketika sudah mencapai kenikmatan itu, mempunyai mobil mewah, rumah mewah, uang berlimpah, istri sholehah, dan lain-lain. Tapi akhirnya juga akan ditinggal begitu saja.  Benar apa yang dikatakan seorang teman “dan akhirnya semua akan biasa-biasa saja!”.
Meskipun demikian saya tidak hendak menjadi pribadi yang pesimistik dengan menganggap bahwa semua akan berakhir dengan kematian. Saya ingin memaknai bahwa hidup sebenarnya adalah sesuatu yang berharga. Mengapa sangat berharga? Karena kita akan mati. Peristiwa kematian itulah yang menjadikan hidup itu berharga. Kita harus mampu mengisi kehidupan itu dengan hal-hal yang berharga. Seperti bahasanya Komarudin Hidayat dalam “Psikologi Kematian”, merenungkan makna kematian tidak berarti lalu kita pasif. Sebaliknya, justru lebih serius menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat pendek. Ibarat orang lomba lari, maka ia akan berpacu karena adanya batas waktu dan garis finis.
Untuk memaknai waktu, saya juga masih belajar menjadi seseorang yang benar-benar sadar diri. Kesadaran diri itu penting sekali. Orang yang belum mampu menyadarkan dirinya sendiri terkadang akan membuat dirinya bermalas-malasan. Menganggap bahwa hidup itu cukup untuk melakukan itu-itu saja.
***
Bagi saya, April ini bulan yang belum sepenuhnya sempurna. Saya masih belum bisa merealisasikan target yang saya buat awal bulan lalu. Kira-kira hanya 80 persen yang saya anggap terlaksana. Itu pun menurut penilaian subjektif saya bukan objektif dari orang lain. Saya bukan kog tidak berusaha atau tidak melakukan sama sekali. Hanya saja ada beberapa kendala yang itu pasti ada dalam hidup.
Sebenarnya tak ada alasan untuk merengek selama kita mau semangat. Tapi masalahnya hidup itu tak selalu linear. Ada kalanya jatuh-bangun, naik-turun, cepat-lambat, semangat dan tidak. Hidup pasti ada dua kemungkinan tersebut. Karena saya sadar bahwa kemampuan manusia terbatas dan takdir Tuhan itu menyempurnakan. Memang benar, segala yang kita laksanakan tidak semua dari qudrat dan irodah Tuhan, ada kasb (keinginan dan kemampuan manusia untuk mengerjakan sesuatu), namun factor X pasti mendominasi. Faktor X itu adalah keberuntungan. Orang pandai masih kalah dengan orang yang beruntung. Dan keberuntunga itu datangnya dari Tuhan.
  Di akhir bulan ini saya ingin menegaskan pada diri saya sendiri dan semua yang menganggap bahwa waktu itu sangat berharga, bahwa kenikmatan dan kesuksesan akan kita raih selama kita sanggup keluar dari kurungan “kemarin” dan “besok”, lalu masuk ke dalam momentum “sekarang” (now) dan” di sini” (here). Karena orang yang selalu berfikir tentang masa lalu sehingga mengabaikan hari ini, ataupun tenggelam membayangkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan berarti kita telah lari meninggalkan ruang kenikmatan, yakni momentuk “here and now”.

Muhammad Ali Murtadlo
Selasa, 30 April 2013 M

Senin, 29 April 2013

Memperbaiki Citra Kampus Penipu


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo
Mahasiswa Jurusan Ahwalus Syakhsiyah (AS), Fakultas Syariah, serta Aktivis Laskar Ambisius (LA) di Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya 
  
Menyaksikan romantika perjalanan bangsa ini seakan-akan membawa kita pada pusaran pesimisme yang akut. Lihatlah kasus-kasus penipuan di negeri ini yang seolah-olah tidak ada habisnya. Kasus demi kasus mulai terungkap. Beberapa kasus yang saat ini kita saksikan, seperti korupsi, suap menyuap, pemanipulasian hukum, kenaikan gaji tanpa adanya perbaikan kinerja, penggelambungan anggaran, kekerasan, pembunuhan demi balas dendam sampai konspirasi politik adalah bukti dari maraknya praktik penipuan di negeri ini.
Kita sebagai masyarakat penasaran dengan romantika hidup bangsa ini. Sebenarnya mau dibawa kemana arah perjalanan bangsa ini. Perjalanan bangsa yang seharusnya diikuti dengan progresifitas kemajuan malah terhambat oleh prilaku keji para pemegang kekuasaan. Anehnya, pelaku tindak penipuan ini adalah kaum-kaum terpelajar. Para pemegang kekuasan yang notabene bergelar sarjana, magister, doktor bahkan professor adalah salah satu aktor dari beberapa penipuan diatas. Bahkan bisa dikatakan mereka adalah aktor utama.
Kita tentu tercengang melihat sejumlah fakta mengejutkan terungkap. Tim Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis, dalam semester I tahun 2012, mulai Januari hingga Juni, tercatat ada 17 kasus dugaan korupsi di institusi pendidikan. Jumlah ini menempati posisi ketiga, setelah kasus dugaan korupsi yang ada di pemerintah daerah dan BUMN/BUMD.
Di antaranya, dugaan korupsi pengadaan barang atau jasa paket pekerjaan pengadaan peralatan laboratorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), dugaan korupsi di Universitas Indonesia yang melibatkan Gumilar R Somantri, dan kasus dugaan korupsi pengadaan meubeler dan alat laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang, Sumatera Selatan. Kasus-kasus tersebut melibatkan anggota DPR, seperti mantan anggota DPR, Angelina Sondakh, yang menjadi tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan fasilitas di beberapa universitas (Kompas, 14/10). Dengan terungkapnya sejumlah kasus dugaan korupsi di beberapa universitas itu semakin menegaskan kita, jangan-jangan kampus bukan lagi tempat menuntut ilmu tapi sebagai sarang penipu.
Praktek penipuan yang dilakukan kaum terpelajar itu sebenarnya bukan berasal dari gemblengan kampus. Tidak ada kampus yang mengajarkan ilmu menipu. Tidak ada pendidikan yang menerapkan kurikulum penipuan atau mata kuliah tentang tehnik menipu. Kampus itu tempat pentransferan ilmu bukan tempat untuk mencetak penipu. Tapi mengapa lulusan kampus malah menjadi aktor penipuan? Itulah ironi yang terjadi di negeri ini.
Penipuan itu terjadi karena adanya sifat serakah, tamak, merasa kurang, atau sifat buruk lainnya. Sifat-sifat buruk itu dipelihara sehingga ketika ada kesempatan untuk melakukan mereka dengan cepat akan melancarkan aksi penipuan. Meskipun tidak ada niat, jika ada kesempatan mereka akan berbuat yang demikian.
Di kampus yang berasaskan Islam pun tidak lepas dari praktek kotor itu. Kampus yang diharapkan mampu mencetak lulusan-lulusan yang kompeten dalam ilmu agama ini juga tak mampu lari dari busuknya aksi penipuan. Bangsa kita menaruh harapan besar kepada mesin pencetak intelektual religius (kampus Islam) untuk mencetak intelektual religius yang mampu memperbaiki kecarut-marutan bangsa ini. Tapi kenyataannya para pengelola mesin itu (pejabat birokrasi kampus) malah melakukan tindakan yang menyimpang. Ini semakin membuktikan bahwa tingkat religiusitas tidak dapat memastikan seseorang dapat lari dari sifat buruk.
Contoh terkecil dari penipuan di kampus islam adalah ketidakjelasan pelaksanaan praktikum di setiap jurusan atau program studi yang menimbulkan tanda tanya besar. Mahasiswa dikenakan biaya praktikum setiap semester namun tidak ada pelaksanaan praktikum. Praktek penipuan itu jelas kelihatan dengan tidak adanya transparansi.
Kita tentu masih ingat aksi teman-teman mahasiswa saat beraspirasi di depan rektorat IAIN Sunan Ampel, Surabaya beberapa waktu lalu. Mereka hendak mengungkapkan aksi penipuan itu namun berujung pada tindak anarkis. Sehingga mengakibatkan kerusakan pada gedung rektorat. Dari kejadian itu bukan aksi pengungkapan penipuan yang disorot tapi malah tindak anarkisnya. Akibatnya, banyak yang mengklaim bahwa mahasiswa di kampus islam adalah mahasiswa brutal dan tidak punya akhlak. Saya kira bukan begitu, mahasiswa yang bertindak anarkis itu bukan kog tidak punya akhlak. Justru yang tidak punya “akhlak” adalah para akademisi maupun praktisi kampus yang kerap melaksanakan penipuan.
Dengan belajar dari fenomena diatas, sebagai civitas akademika yang bijak, seharusnya mulai saat ini kita segera mempunyai inisiatif untuk memperbaiki citra. Kita segera membangun kesadaran bahwa kampus adalah tempat para intelek, para cendekia dan para ilmuwan yang beradab bukan sarang para penyamun ataupun para penipu yang biadab. Sudah seharusnya mulai saat ini kita menjadikan kampus sebagai tempat untuk belajar memaknai hidup dengan banyak membaca, berdiskusi dan menulis agar kita tidak kehilangan roh dan jati diri kampus itu sendiri. Jika tidak dimulai saat ini, kapan lagi?

*)Tulisan ini dimuat di Koran Beranda_Solidaritas_IAIN Sunan Ampel Surabaya

Selasa, 29 Januari 2013

Mendongkrak Perekonomian Daerah Melalui Pabrik Gula


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)

Suatu Negara dikatakan maju jika tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi. Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi indikator bagi kemajuan suatu Negara. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonominya, semakin tinggilah prestice Negara tersebut di mata dunia. Dan sebutan Negara maju akan tersandang.
Tahun 2012 lalu, di tengah krisis yang melanda dunia, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dikatakan membanggakan. Indonesia mampu stabil dalam gejolak ekonomi yang sempat oleng gara-gara krisis yang melanda Yunani, Italia, Hongaria, termasuk Amerika Serikat. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu berada di angka 6,7 %. Jauh diatas pertumbuhan perekonomian dunia yang hanya 3,3% (World Economic Outlook: Oktober 2012). Di tahun 2013 diperkirakan tetap stabil, dan bahkan akan meningkat.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak lain adalah hasil dari peningkatan perekonomian daerah. Perekonomian daerah mempunyai andil cukup besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Bahkan, pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mencatatkan prestasi gemilang yakni mencapai angka 7,22%. Menurut data Berita Resmi Statistik No. 54/08/Th. XV, 6 Agustus 2012, Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan dan sektor pertanianlah yang mendominasi tingkat pertumbuhan perekonomian daerah tersebut. Salah satunya adalah industri gula.
Tidak dapat dipungkiri gula merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Setiap hari manusia pasti mengkonsumsi gula. Selain kebutuhan pasti, seperti makan nasi, gula menjadi kebutuhan vital yang tidak dapat ditunda. Misalnya, untuk membuat minuman atau sebagai bahan pendukung makanan, seperti sayur dan lauk-pauk lainnya. Belum lagi dalam dunia industri, gula menjadi bahan pokok untuk pemanis produksinya.
Data menunjukan bahwa kebutuhan gula nasional untuk konsumsi rumah tangga saja mencapai sekitar 2,97 juta ton Gula Kristal Putih (GKP) per tahun, atau sekitar 250 ton per bulan. Detilnya, konsumsi gula kristal putih (GKP) masyarakat Indonesia itu adalah 12 kg/perkapita/tahun (Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri: 2012). Jumlah ini pun sangat dimungkinkan mengalami kenaikan pada beberapa moment tertentu, seperti pada hari-hari besar keagamaan. Sebab, pada saat-saat itu konsumsi pasti meningkat. Maka dapat dipastikan, industri gula menjadi pemasok utama untuk kebutuhan gula.
Sedemikian banyaknya konsumsi masyarakat terhadap gula, menunjukan kebutuhan akan gula termasuk besar. Ini merupakan saatnya pabrik gula meningkatkan produksinya. Jangan sampai produksi gula malah melebihi konsumsi gula. Jangan sampai impor gula terjadi lagi. Kita sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan gula tanpa harus mengimpor dari luar negeri.

Peran PTPN X
Industri gula merupakan prospek cerah dalam peningkatan perekonomian daerah. Di Jawa timur terdapat sekitar 11 Pabrik Gula (PG) yang berada dalam penguasaan PTPN X. 11 PG itu mampu memberikan kontribusi besar terhadap produksi gula nasional. Pabrik-pabrik itu mampu menyuntik kebutuhan gula nasional hingga 45%-46,6%.
Selain itu, 11 PG yang dimiliki perseroan di kawasan Jawa Timur juga terbukti mampu menggairahkan ekonomi di daerah. Sedikitnya ada 71.691 petani tebu di lingkungan PG-PG milik PTPN X. Itu belum termasuk 12.000 karyawan PTPN X yang banyak dari penduduk setempat dan ratusan ribu tenaga kerja penunjang lainnya, seperti tenaga tebang, sopir truk pengangkut tebu, penjual makanan, dan sebagainya.
Apalagi PTPN X memiliki program yang sangat bermanfaat untuk peningkatan ekonomi daerah, yakni Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). PKBL diperuntukan untuk masyarakat sekitar agar dapat menjadi penunjang peningkatan ekonomi daerah. Program tersebut adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Tahun 2012 lalu, PTPN X mengelola dana PKBL sebesar Rp 450 miliar. Pada tahun 2013 ini, PKBL tersebut naik menjadi Rp 550 miliar. Dengan program itu, masyarakat sekitar akan kian terbantu dalam memenuhi kebutuhan ekonominya.
Dalam prakteknya, dana dari program PKBL tersebut memang sangat membantu masyarakat. Program PKBL dapat membantu petani dalam hal modal, peningkatan kualitas SDM, menguatkan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan mendorong kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar pabrik gula.
Adanya pabrik gula juga akan mendorong semangat kegiatan ekonomi daerah yang bersangkutan. Masyarakat sekitar pabrik dapat meningkatkan pendapatan. Pada musim giling misalnya, pabrik gula pasti membutuhkan banyak sekali tenaga. Baik sebagai tenaga tebang, sopir truck yang mengangkut tebu dari kebun ke lokasi pabrik, tenaga produksi, tenaga pembantu produksi, maupun tenaga pengangkut gula dari gudang ke truck (tengguluk). Selain itu, masyarakat sekitar juga ikut menikmati geliat ekonomi yang muncul di sekitar pabrik gula. Penjual-penjual yang berada di sekitar lahan panen akan mendapatkan pemasukan lebih banyak. Barang jualan mereka akan terjual laris karena banyak yang membutuhkan.
Dari ranah birokrasi, pabrik gula akan membayar pajak dan retribusi pada pemerintah daerah, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat. Peningkatan besarnya pemasukan daerah ini akan berimbas pada pembangunan daerah, yang akhirnya akan kembali kepada kesejahteraan masyarakat juga.

Saatnya Melebarkan Sayap
Selama ini pabrik-pabrik gula kebanyakan berada di Jawa, khususnya di Jawa Timur. Kedepan, saatnya melebarkan sayap pembangunan pabrik-pabrik gula di luar Jawa. Ini merupakan sebuah solusi yang bisa ditempuh untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi di wilayah setempat, dan tentunya untuk mendongkrak perekonomian daerah tersebut. Dengan adanya pemerataan industri (pabrik) gula disetiap daerah, berarti ikut serta dalam peningkatan perekonomian daerah dan tentunya akan berimbas ke perekonomian nasional. Dan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional maka Indonesia akan menjadi Negara maju. Semoga !

*) Penulis adalah Aktivis Laskar Ambisius di AMBISI IAIN Sunan Ampel, sekaligus Guru di SMP Dharma Wanita Kota Surabaya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India