Oleh;
Muhammad Ali Murtadlo*)
Terinspirasi dari novel yang difilmkan
karya Dhonny Dhirgantoro, 5 CM, kami melakukan pendakian gunung. Namun lokasi
pendakiannya berbeda. Jika Genta, Arial, Zafran, Ian, Riani dan Arinda
melakukan pendakian di puncak Mahameru, kami berempat melakukan pendakian di
puncak Hargo Dalem. Mahameru adalah puncak gunung Semeru, Malang, sedangkan
Hargo Dalem adalah puncak gunung Lawu, Magetan. Kedua-duanya masih berada di
kawasan Provinsi Jawa Timur.
Kamis, 15 Agustus 2013 kami
berangkat dari Surabaya menuju Magetan. Perjalanan ini membutuhkan waktu kira-kira
5-6 jam. Dengan menggunakan jasa transportasi bus jurusan Sby-Jogja kami turun
di terminal Madiun. Sampai terminal Madiun sekitar pukul 21;00 WIB. Dari
terminal kami dijemput kawan menuju kediamannya, di Dusun Gambiran, Desa
Madigondo, Kecamatan Takeran, Kabupaten Magetan.
Sampai di Takeran kami disambut hangat oleh tuan rumah dengan disuguhi teh serta mie ayam yang sama-sama hangat. Setelah ngobrol ala kadarnya, kami sholat kemudian istirahat.
Sampai di Takeran kami disambut hangat oleh tuan rumah dengan disuguhi teh serta mie ayam yang sama-sama hangat. Setelah ngobrol ala kadarnya, kami sholat kemudian istirahat.
Jum’at, 16 Agustus 2013 petualangan
dimulai. Setelah sholat, mandi dan packing-packing kami memulai
perjalanan. Pukul 05;30 kami diantar ke pasar Sambirejo untuk mencari angkutan
menuju terminal Gorang-Gareng. Setelah dapat angkutan kami pamitan dan
mengucapkan banyak terima kasih kepada Mbak Riska dan keluarganya. Bersama
nenek-nenek tua kami berada di lyn tua yang mesinnya mungkin keluaran tahun
80-an. Pagi-pagi seperti ini nenek-nenek tua itu sudah pulang membawa belanja
dari pasar. Sungguh pelajaran berharga, betapa semangatnya nenek-nenek itu,
meski usianya tidak muda lagi tapi masih kuat belanja di pasar. Kami pun tak
mau kalah dengan mereka, kami harus kuat menaklukan puncak gunung Lawu yang
ketinggiannya mencapai 3265 Mdpl.
Sesampainya di terminal
Gorang-gareng kami transit bus langsung menuju Magetan. Dari Magetan kemudian
naik lyn menuju Sarangan. Ketika di terminal Plaosan kami ditetel bersama
penumpang lain yang barang bawaannya adalah berbagai macam sayuran. daging
bahkan kayu bakar. Sampai di Telaga Sarangan kami tak sempat turun dan
menikmati karena harus mengejar waktu agar tidak kesiangan sampai Cemoro Sewu.
Perjalanan dari Sarangan menuju
Cemoro Sewu kami tempuh dengan jalan kaki. Jarak antara kedua tempat itu
sekitar 5 KM. 5 KM Sarangan-Cemoro Sewu tentu beda dengan 5 KM
Bungurasih-Wonokromo. 5 KM Sarangan-Cemoro Sewu jauh lebih berat karena
jalannya menanjak. Baru jalan 1 KM saja kami sudah berulang kali istirahat.
Untungnya ketika hendak mencapai 2 KM kami mendapat tumpangan mobil tepak L300.
Tanpa berfikir panjang kami berteriak-teriak kegirangan di atas bak tepak.
Sampai di pintu masuk Cemoro Sewu, kami ucapkan terima kasih kepada sang sopir
yang baik hati tersebut.
Pukul 09;00 WIB kami berada di Pintu
Gerbag Cemoro Sewu. Inilah pendakian sesungguhnya dimulai. Setelah melakukan
registrasi di loket dan diintergosai oleh petugas, kami langsung melanjutkan perjalanan.
Sebelum memulai perjalanan kami tidak lupa berdo’a. Sambil berharap perjalanan
nanti lancar dan mengasyikan kami membaca umul Qur’an. Ternyata memang
benar-benar asyik. Kiri-kanan kami disuguhi pemandangan yang tidak mungkin
dapat kami temukan di kota metropolitan. Hamparan pohon cemara ada di mana-mana,
hijau dan mempesona. Saya baru tahu kenapa dinamakan cemoro sewu, karena di
sana banyak berdiri pohon cemara yang jumlahnya mencapai ribuan.
Menurut keterangan, untuk mencapai
puncak lawu (Hargo Dalem) harus melewati 5 Pos. Jarak antara pos satu dan pos
lainnya bervariasi. Perjalanan dari pintu gerbang menuju Pos 1 adalah
perjalanan adaptasi. Medan dan treknya masih biasa saja tidak terlalu terjal
namun membutuhkan semangat yang membara. Sebelum sampai di Pos 1, tidak
terhitung berapa kali kami istirahat. Di sela-sela istirahat itu kami minum,
foto-foto dan menuliskan prasasti di batu-batu besar “AMBISI IAIN Sunan Ampel
Surabaya” dan menuliskan nama-nama kami berempat. Sebelum sampai di Pos 1 kami
mengisi perbekalan air di Sendang Panguripan di belakang gubuk.
Sampai di Pos 1, istirahat kami agak
lama. Sambil menikmati tahu yang kami beli di warung Pos 1, kami
ngobrol-ngobrol lama dengan para pendaki lainnya. Ada yang dari Surabaya,
Kediri, Nganjuk, Madiun, Solo, Jogja dan lain-lain. “Dari sinilah perjalanan
yang agak menantang selanjutnya dimulai” kata seoarang pendaki dari Madiun. Dia
sudah berulang kali naik turun Gunung. Ternyata memang benar, treknya semakin
menanjak dan membutuhkan tenaga ekstra.
Untuk menuju Pos 2 kami lakukan
dengan santai yang penting sampai. Saya yang notabene adalah pendaki pemula,
tentu butuh sesuatu yang dapat membangkitkan semangat. Karena yang dibutuhkan
oleh pendaki hanyalah tekad dan semangat yang tinggi. Tanpa itu para pendaki
tidak akan mungkin dapat mencapai puncak. Begitu juga dengan kita. Jika kita
menginginkan mencapai puncak (kesuksesan hidup) tentu membutuhkan tekad yang
kuat dan semangat yang tinggi. Dalam fikiran saya sudah teringiang-ngiang tekad
yang kuat dan semangat untuk mencapai puncak itu. Maka segala lelah dan payah
akan terbayar ketika menyaksikan keindahan alam dari tempat yang lebih tinggi
lagi.
“Masak mau kalah dengan orang yang tadi
berpapasan di Pos 1, berjalan dengan 1 kaki dan bantuan egrang saja dia
mampu mencapai pos 2. Saya yang dianugerahi kaki sempurna pasti jauh lebih
bisa” Gumam saya. “Atau masak kalah sama Mbok yem”. Mbok yem adalah pemilik
warung yang berada di atas Pos 5. Setiap hari beliau dan para pekerjanya naik
turun gunung dengan membawa bahan-bahan masakan, seperti beras, minyak, telur,
mie dan lain-lain.
Sampai di Pos 2 kami beristirahat
sebentar, kemudian naik lagi mencari tempat yang nyaman untuk mengisi perut. Kami
diberi bontot empat bungkus nasi oleh ibunya Mbk Riska. Dua bungkus sudah kami
makan sebelum sampai Cemoro Sewu, sisanya dua bungkus lagi kami makan di sini,
di atas Pos 2. Pelajaran berharga dari pendakian ini adalah sikap ramah-tamah
kepada orang lain. Para pendaki meskipun belum saling mengenal pasti menyapa “Monggo
Mas/Mbak”, “Mari” dan lain-lain. Pelajaran lain adalah betapa nuansa
kekeluargaan tercipta di sini. Kami saling akrab layaknya keluarga sendiri,
meskipun berasal dari keluarga yang berbeda.
Sampai di Pos 3 sekitar pukul 13;30
WIB. Pos 3 adalah pos pertengahan. Pos ini kondisinya sudah memprihatinkan.
Atapnya sudah tidak terlihat lagi, entah hilang kemana. Kami tidak begitu lama
di sini. Perjalanan masih membutuhkan tenaga ekstra lagi. Di pos 3 ini kami
mulai merasakan kabut dingin. Suara angin yang menyerupai bunyi suling juga
kami dengarkan. Juga awan dan dan bukit-bukit kami saksikan. Betapa indahnya
ciptaan Allah SWT. Sungguh luar biasa. Subhanallah !
Sampai di Pos 4 kami benar-benar
menyaksikan samudra di atas awan (The Sea on The Sky). Perjalanan selama
6 jam ini terbayar sudah dengan menyaksikan pemandangan yang begitu eksotis.
Hamparan langit dan bukit yang diselimuti awan dengan disoroti pancaran
matahari membuat pemandangan ini begitu mempesona. Sesekali disuguhi dengan
terpaan hawa dingin. Saya berulang kali takjub dengan mengucapkan Subhanallah
berkali-kali. Tanpa banyak bicara, kami pun berpose ria mengambil gambar.
Perjalanan menuju Pos 5 tambah
menantang. Agak menanjak dan hawa semakin dingin. Kami sampai di Pos 5 sekitar
pukul 17;00 WIB. Pemandangan pun semakin eksotis. Pos 5 lokasinya agak luas dan
datar. Banyak yang camp dan mendirikan tangga di sini. Kami singgah di
Pos 5 sebentar untuk melaksanakan sholat. Tak ada air, kami terpaksa bersuci
dengan bertayamum. Saya berbincang-bincang dengan pendaki lain dari Sanata
Dharma, Jogjakarta, namanya Mahendra. Mahendra sering naik turun gunung, bahkan
setiap satu bulan setengah dia bersama kawan-kawannya mendaki. Gunung Lawu adalah
puncak kesekian kali yang telah ditaklukan. Menurut penuturan Mahendra Gunung
Lawu adalah Gunung terdingin yang pernah ditaklukan. Memang benar, suhu disini
bisa mencapai 10ยบ C. Saya yang memakai kaos rangkap 2 dan jaket rangkap 2 masih
merasa kedinginan.
Dari ketinggian ± 3000 Mdpl ini saya
dapat menyaksikan pemukiman penduduk. Telaga Sarangan yang luas dan lebar itu terlihat
seperti kolam renang kecil. Rumah dan pemukiman warga layaknya rumah-rumahan
dalam permainan monopoli. Apalagi mobil, sepeda motor dan benda lain yang lebih
kecil tidak terlihat sama sekali. Saya bahkan tidak dapat melihat manusia sama
sekali di bawah. Itulah pertanda, bahwa manusia sejatinya adalah makhluk kecil
yang tidak berdaya tanpa hadirnya makhluk lain. Maka tidak pantas jika ada
manusia yang berlaku sombong. Apa yang hendak
disombongkan? dari ketinggian 3000 Mdpl saja sudah tidak terlihat
apalagi dari tempat yang lebih tinggi lagi. Perjalanan ini semakin menyadarkan
diri, siapa sejatinya diri ini.
Selesai sholat, kami packing dan melanjutkan
perjalanan menuju puncak. Di atas Pos 5 ada warung Mbok Yem yang saya ceritakan
di awal tadi. Sampai di dekat warung Mbok Yem kami mencari tempat yang
strategis untuk mendirikan tenda. Akhirnya kami menemukan tempat di tanah datar
atas warung Mbok Yem. Kami berempat langsung berbagi tugas. Dua orang
mendirikan tenda dan yang lain mencari air dan kayu bakar. Saya yang kebagian
mencari air dan kayu bakar. Air dapat diambil di sendang kecil depan warung
Mbok Yem. Waktu itu hari sudah mulai gelap, saya harus memakai senter kecil yang
melekat di kening. Sampai di camp kami menyalakan api, memasak mie dan
kopi. Malam ini kami habiskan dengan bermain api unggun sambil menyaksikan
langit yang berhias bulan dan bertabur bintang malam.
Menjelang pagi, setelah sholat
shubuh kami menanti kemunculan matahari. Akhirnya sekitar pukul 05;35 saya
benar-benar menjadi saksi terbitnya matahari 17 Agustus 2013. Tidak mau
kehilangan momen kami pun berpose ria mengambil gambar sambil menyaksikan sang
surya. Sungguh pengalaman menarik yang akan terekam dalam memori otak dan tak
mungkin dapat terlupakan. Setelah matahari meninggi kami berkemas dan bergegas
menuju puncak. Sampai di puncak kami langsung mengambil gambar dengan berbagai
pose. Di puncak sudah berkibar ratusan merah-putih. Setelah puas mengambil
gambar, saya menjadi perhatian banyak pendaki karena menyanyikan lagu Indonesia
Raya dengan memberi hormat kepada sang Saka Merah Putih.
Ini adalah pengalaman pertama dan
paling menarik. Pertama kali mendaki gunung, pertama kali mbolang,
pertama kali menyaksikan sun rice 17 Agustus secara langsung dan pertama
kali menyanyikan Indonesia Raya di ketinggian 3265 Mdpl. Pengalaman ini tak
mungkin dapat saya lupakan. Saya memang bukan anggota komunitas Mahasiswa
Pecinta Alam (MAPALA), tapi saya mencintai alam ini, negeri ini, Indonesia
tercinta sampai saya mati.
Magetan, 18
Agustus 2013 M
*) Muhammad
Ali Murtadlo, Sang Petualang dari Bumi Angling Dharma, Bojonegoro.
0 komentar:
Posting Komentar