Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Ketika ditanya
siapa orang paling berjasa dalam hidup? Pasti kebanyakan orang akan menjawab, dia adalah ibu. Ibu adalah
orang yang melahirkan, membesarkan, merawat dan mendidik kita mulai dari bayi
hingga kita dewasa bahkan sampai tua. Tidak ada yang mampu menandingi jasa
seorang ibu kepada anaknya, sekalipun ibu tidak pernah meminta balas jasa.
Meskipun ibu
bukanlah dewa ataupun malaikat, kasih sayangnya lebih dari sekedar malaikat.
Ibarat anggota tubuh, Ibu adalah mata dan anak adalah kaki. Ketika kaki luka,
tanpa diminta mata akan mengeluarkan air mata. Begitu juga ibu, ketika anaknya
sakit dia akan merasakan sakit pula. Bandingkan jika mata sakit, apakah kaki
akan peduli? Hanya kaki yang berbakti yang akan peduli.
Perempuan Paling Berjasa
Lebih dari itu,
sosok ibu telah mewakili jutaan perempuan di dunia, bahwa perempuan adalah
sumber dari segala sumber kasih sayang. Perempuan adalah simbol kedamaian. Seperti
kisah Nabi Adam yang dianugerahkan Tuhan lewat perempuan cantik bernama Siti
Hawa. Bukan kecantikan yang menjadikan Adam tenang dalam kedamaian, tapi karena
ruh Hawa yang dibalut dengan kasih sayang yang mampu menghadirkan keteduhan dan
kenyamanan bagi Adam.
Demikian juga
dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika nabi Muhammad menggigil kedinginan saat
menerima wahyu pertama, siapa yang menemani? Siti Khodijahlah yang mengusir
segala bentuk ketakutan saat itu. Dengan kasih sayang yang tak terhingga Siti
Khodijah menghibur dan meyakinkan bahwa wahyu yang diturunkan itu adalah benar.
Bahkan Siti Khodijah menjadi orang pertama yang mengimani adanya wahyu
tersebut.
Thomas Alva
Edison kecil adalah anak yang dicap bodoh dan tuli saat kecil. Bahkan gurunya
meminta ibunya untuk mengeluarkannya dari sekolah. Nancy Mattews, sang ibu, tak
putus asa mengajarkannya cara membaca, menulis dan matematika. Dia juga sering
membacakan buku-buku bagi Edison, seperti buku karya Edward Gibbon, William
Shakespeare dan Charles Dickens. Kemudian jadilah Thomas Alva Edison salah satu
penemu jenius di dunia ini.
Di kalangan umat
Islam, siapa yang tak kenal dengan Imam Syafi’i, salah seorang mujtahid
besar dan imam mahzab yang sangat populer. Dalam keadaan yatim dan miskin,
beliau dididik ibunya sedemikian rupa sehingga mampu menghafal Alquran dalam
usia 9 tahun. Sang ibu sangat memerhatikan makanan hingga hanya yang halal yang
masuk ke perut anaknya, karena makanan itulah yang menjadi darah dan daging,
tumbuh bersama akhlak dan perilakunya.
Selalu ada
cerita menarik seputar ibu di balik suksesnya tokoh-tokoh besar. ”Sentuhan
tangan dingin” sang ibulah yang menjadikan anak-anaknya hebat. Kasih sayang,
kemauan menemani belajar, menjaga asupan nutrisi, hingga selalu menyisipkan
doa-doa kebaikan untuk anak-anaknya dalam setiap munajatnya. Semua itu akan ada
dalam sebuah keluarga yang sehat.
Namun di era
sekarang sepertinya sosok ibu sudah mulai hilang terkikis oleh arus globalisasi
yang tak terbendung. Ibu tidak lagi mencerminkan kasih sayangnya. Banyaknya
wanita karir yang mengesampingkan kasih sayang anaknya, dan memilih Baby Sitter untuk merawat anaknya adalah
contoh kecil. Masih banyak contoh lain, kita bisa melihat beberapa kasus yang
muncul di media belakangan ini. Seorang ibu menghabisi dua nyawa anaknya
sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri. Disinyalir masalah ekonomi yang
membelit sehingga dia tega melakukannya. Kasus seperti ini telah berulang kali
kita dengar. Entah dengan membakar diri, minum racun serangga ataupun
mencekiknya. Mengapa harus mengajak serta anaknya mati? Ini menunjukkan
kependekan akal sang ibu, berpikir bahwa matilah yang menyelesaikan semua
urusan.
Kemudian kasus
tawuran yang seperti tak ada hentinya, yang setelah diteliti lebih jauh oleh
psikolog, anak-anak tersebut kurang perhatian dalam keluarganya. Mereka mencari
”cara baru” agar ketidakpedulian terhadap mereka itu berubah arah menjadi
peduli, memerhatikan dan menyayangi. Begitu pun para gadis belia yang mulai
kelewat batas ketika pacaran, menuruti keinginan kekasihnya hingga melebihi
batas wajar, dan kemudian menuntut tanggung jawab ketika perut mulai membesar.
Padahal seragam sekolah masih mereka kenakan dan cita-cita besar menggantung di
angan. Kemanakah nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan? Bisa jadi
menguap karena keluarga tidak mencontohkannya, lingkungan membebaskannya dan
sekolah hanya membebaninya dengan nilai bagus lulus ujian.
Ibu Pendidik Sejati
Dekrit Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959 menjadi
pijakan penting sejarah perjuangan kaum perempuan, melalui penetapan Hari Ibu tiap
tanggal 22 Desember. Peringatan Hari Ibu sejatinya momentum peneguhan kaum
perempuan dalam menyiapkan Indonesia sebagai negara bangsa yang berdaulat,
adil, dan makmur.
Hari Ibu adalah tonggak awal ketika aktivis 30 organisasi
perempuan pada 22-25 Desember 1928 mengadakan Kongres I Perempoean di
Yogyakarta guna mendeklarasikan perjuangan kemerdekaan.
Misi awalnya mengenang perjuangan kaum perempuan dalam upaya
kemerdekaan. Hanya kini tantangan lebih kompleks karena musuh bukan lagi
Belanda melainkan angka kemiskinan, pengangguran, kemerebakan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, narkoba, dan ketidakadilan. Berbeda dengan era dulu, kini Hari Ibu diperingati sebagai
ungkapan syukur terhadap kaum ibu yang menjadi tempat segalanya bagi anak dan
keluarga. Ibu adalah ratu hati, tempat manusia dilahirkan dan tempat insan
berlabuh serta tempat untuk mengais ilmu.
Ibu adalah pendidik pertama sebelum anak itu mengenal
sekolah atau pendidikan formal. Oleh karena itu, Ibu adalah penentu karakter dan
masa depan anaknya. Peran yang sangat penting inilah kemudian perlu menjadi
semangat kesadaran dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Ini sudah
dilakukan oleh perempuan Indonesia 84 tahun yang lalu.
Perempuan
sebagai seorang ibu merupakan agen pendidikan paling utama. Ibu adalah sekolah
pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan keluarga (terutama ibu sebagai guru
kehidupan pertama) adalah basic, fondasi atau akar. Semakin kokoh
fondasi dan akarnya, setinggi apa pun bangunan dan pohonnya tidak akan menjadi
masalah. Karena ibu adalah seorang perempuan, guru sekaligus pahlawan yang
memiliki hati menyejukan.
Mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi
pekerti yang dikembangkan dan diajarkan di sekolah menjadi sangat penting. Mengingat
banyaknya kejadian-kejadian yang mencoreng dunia pendidikan. Seperti bentuk
anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa,
penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, dan lain sabagainya,
adalah bentuk nyata sisi gelap dari dunia pendidikan kita.
Dalam sebuah survei yang dilakukan Phi Delta Kappa/Gallup study pada 2004 menyebutkan 73% responden
setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan
guru yang baik hati alias mengajar tidak dengan rasa cinta. Survei tersebut
juga menunjukkan bahwa jika karena kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus
berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak
dipilih ialah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan
birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan
kondisi siswa (4%). Artinya, hanya 4% sebenarnya guru yang selalu memiliki
keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld and Jo Ann
Miller: 2005).
Seharusnya pendidikan kita menerapkan sistem pendidikan ibu
kepada anaknya yang dibalut dengan kasih sayang dan kelembutan tiada tara. Jika
saja persoalan moral dilandasi atas dasar pembelajaran kita dalam melihat cinta
kasih seorang ibu terhadap anaknya, sebenarnya tak akan sulit mempraktikkannya
dalam proses belajar mengajar. Pendekatan seorang ibu lebih banyak menggunakan
hati dan cinta. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika semua guru lebih
memberikan cinta dan hati mereka daripada sekadar memenuhi kewajiban. Maka
sudah dipastikan pendidikan terutama di Indonesia akan mengalami perkembangan.
Maka menjadi sangat penting bagi guru dan pendidik untuk
belajar dari cara ibu dalam mendidik anaknya. Karena sebenarnya pendidik sejati
tidak lain, hanyalah seorang ibu. Ibu adalah pahlawan dan guru sejati yang tak
berharap balas budi. Semoga peringatan Hari Ibu yang pada 22 Desember, dapat
menggugah kesadaran para perempuan dan para guru untuk menjadi ibu sejati.
Seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang besar dan sukses.
Muhammad Ali
Murtadlo, Guru Program IMTAQ, di SMP Dharma Wanita, Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar