Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Sabtu, 21 Desember 2013

Refleksi Hari Ibu Bagi Para Guru


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Ketika ditanya siapa orang paling berjasa dalam hidup? Pasti kebanyakan orang  akan menjawab, dia adalah ibu. Ibu adalah orang yang melahirkan, membesarkan, merawat dan mendidik kita mulai dari bayi hingga kita dewasa bahkan sampai tua. Tidak ada yang mampu menandingi jasa seorang ibu kepada anaknya, sekalipun ibu tidak pernah meminta balas jasa.
Meskipun ibu bukanlah dewa ataupun malaikat, kasih sayangnya lebih dari sekedar malaikat. Ibarat anggota tubuh, Ibu adalah mata dan anak adalah kaki. Ketika kaki luka, tanpa diminta mata akan mengeluarkan air mata. Begitu juga ibu, ketika anaknya sakit dia akan merasakan sakit pula. Bandingkan jika mata sakit, apakah kaki akan peduli? Hanya kaki yang berbakti yang akan peduli.
Perempuan Paling Berjasa
Lebih dari itu, sosok ibu telah mewakili jutaan perempuan di dunia, bahwa perempuan adalah sumber dari segala sumber kasih sayang. Perempuan adalah simbol kedamaian. Seperti kisah Nabi Adam yang dianugerahkan Tuhan lewat perempuan cantik bernama Siti Hawa. Bukan kecantikan yang menjadikan Adam tenang dalam kedamaian, tapi karena ruh Hawa yang dibalut dengan kasih sayang yang mampu menghadirkan keteduhan dan kenyamanan bagi Adam.
Demikian juga dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika nabi Muhammad menggigil kedinginan saat menerima wahyu pertama, siapa yang menemani? Siti Khodijahlah yang mengusir segala bentuk ketakutan saat itu. Dengan kasih sayang yang tak terhingga Siti Khodijah menghibur dan meyakinkan bahwa wahyu yang diturunkan itu adalah benar. Bahkan Siti Khodijah menjadi orang pertama yang mengimani adanya wahyu tersebut.
Thomas Alva Edison kecil adalah anak yang dicap bodoh dan tuli saat kecil. Bahkan gurunya meminta ibunya untuk mengeluarkannya dari sekolah. Nancy Mattews, sang ibu, tak putus asa mengajarkannya cara membaca, menulis dan matematika. Dia juga sering membacakan buku-buku bagi Edison, seperti buku karya Edward Gibbon, William Shakespeare dan Charles Dickens. Kemudian jadilah Thomas Alva Edison salah satu penemu jenius di dunia ini.
Di kalangan umat Islam, siapa yang tak kenal dengan Imam Syafi’i, salah seorang mujtahid besar dan imam mahzab yang sangat populer. Dalam keadaan yatim dan miskin, beliau dididik ibunya sedemikian rupa sehingga mampu menghafal Alquran dalam usia 9 tahun. Sang ibu sangat memerhatikan makanan hingga hanya yang halal yang masuk ke perut anaknya, karena makanan itulah yang menjadi darah dan daging, tumbuh bersama akhlak dan perilakunya.
Selalu ada cerita menarik seputar ibu di balik suksesnya tokoh-tokoh besar. ”Sentuhan tangan dingin” sang ibulah yang menjadikan anak-anaknya hebat. Kasih sayang, kemauan menemani belajar, menjaga asupan nutrisi, hingga selalu menyisipkan doa-doa kebaikan untuk anak-anaknya dalam setiap munajatnya. Semua itu akan ada dalam sebuah keluarga yang sehat.
Namun di era sekarang sepertinya sosok ibu sudah mulai hilang terkikis oleh arus globalisasi yang tak terbendung. Ibu tidak lagi mencerminkan kasih sayangnya. Banyaknya wanita karir yang mengesampingkan kasih sayang anaknya, dan memilih Baby Sitter untuk merawat anaknya adalah contoh kecil. Masih banyak contoh lain, kita bisa melihat beberapa kasus yang muncul di media belakangan ini. Seorang ibu menghabisi dua nyawa anaknya sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri. Disinyalir masalah ekonomi yang membelit sehingga dia tega melakukannya. Kasus seperti ini telah berulang kali kita dengar. Entah dengan membakar diri, minum racun serangga ataupun mencekiknya. Mengapa harus mengajak serta anaknya mati? Ini menunjukkan kependekan akal sang ibu, berpikir bahwa matilah yang menyelesaikan semua urusan.
Kemudian kasus tawuran yang seperti tak ada hentinya, yang setelah diteliti lebih jauh oleh psikolog, anak-anak tersebut kurang perhatian dalam keluarganya. Mereka mencari ”cara baru” agar ketidakpedulian terhadap mereka itu berubah arah menjadi peduli, memerhatikan dan menyayangi. Begitu pun para gadis belia yang mulai kelewat batas ketika pacaran, menuruti keinginan kekasihnya hingga melebihi batas wajar, dan kemudian menuntut tanggung jawab ketika perut mulai membesar. Padahal seragam sekolah masih mereka kenakan dan cita-cita besar menggantung di angan. Kemanakah nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan? Bisa jadi menguap karena keluarga tidak mencontohkannya, lingkungan membebaskannya dan sekolah hanya membebaninya dengan nilai bagus lulus ujian.
Ibu Pendidik Sejati
Dekrit Presiden Soekarno Nomor 316 Tahun 1959 menjadi pijakan penting sejarah perjuangan kaum perempuan, melalui penetapan Hari Ibu tiap tanggal 22 Desember. Peringatan Hari Ibu sejatinya momentum peneguhan kaum perempuan dalam menyiapkan Indonesia sebagai negara bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.
Hari Ibu adalah tonggak awal ketika aktivis 30 organisasi perempuan pada 22-25 Desember 1928 mengadakan Kongres I Perempoean di Yogyakarta guna mendeklarasikan perjuangan kemerdekaan.
Misi awalnya mengenang perjuangan kaum perempuan dalam upaya kemerdekaan. Hanya kini tantangan lebih kompleks karena musuh bukan lagi Belanda melainkan angka kemiskinan, pengangguran, kemerebakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, narkoba, dan ketidakadilan. Berbeda dengan era dulu, kini Hari Ibu diperingati sebagai ungkapan syukur terhadap kaum ibu yang menjadi tempat segalanya bagi anak dan keluarga. Ibu adalah ratu hati, tempat manusia dilahirkan dan tempat insan berlabuh serta tempat untuk mengais ilmu.
Ibu adalah pendidik pertama sebelum anak itu mengenal sekolah atau pendidikan formal. Oleh karena itu, Ibu adalah penentu karakter dan masa depan anaknya. Peran yang sangat penting inilah kemudian perlu menjadi semangat kesadaran dalam membangun kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Ini sudah dilakukan oleh perempuan Indonesia 84 tahun yang lalu.
Perempuan sebagai seorang ibu merupakan agen pendidikan paling utama. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Pendidikan keluarga (terutama ibu sebagai guru kehidupan pertama) adalah basic, fondasi atau akar. Semakin kokoh fondasi dan akarnya, setinggi apa pun bangunan dan pohonnya tidak akan menjadi masalah. Karena ibu adalah seorang perempuan, guru sekaligus pahlawan yang memiliki hati menyejukan.
Mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti yang dikembangkan dan diajarkan di sekolah menjadi sangat penting. Mengingat banyaknya kejadian-kejadian yang mencoreng dunia pendidikan. Seperti bentuk anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, dan lain sabagainya, adalah bentuk nyata sisi gelap dari dunia pendidikan kita.
Dalam sebuah survei yang dilakukan Phi Delta Kappa/Gallup study pada 2004 menyebutkan 73% responden setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati alias mengajar tidak dengan rasa cinta. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa jika karena kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak dipilih ialah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%). Artinya, hanya 4% sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld and Jo Ann Miller: 2005).
Seharusnya pendidikan kita menerapkan sistem pendidikan ibu kepada anaknya yang dibalut dengan kasih sayang dan kelembutan tiada tara. Jika saja persoalan moral dilandasi atas dasar pembelajaran kita dalam melihat cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya, sebenarnya tak akan sulit mempraktikkannya dalam proses belajar mengajar. Pendekatan seorang ibu lebih banyak menggunakan hati dan cinta. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika semua guru lebih memberikan cinta dan hati mereka daripada sekadar memenuhi kewajiban. Maka sudah dipastikan pendidikan terutama di Indonesia akan mengalami perkembangan.
Maka menjadi sangat penting bagi guru dan pendidik untuk belajar dari cara ibu dalam mendidik anaknya. Karena sebenarnya pendidik sejati tidak lain, hanyalah seorang ibu. Ibu adalah pahlawan dan guru sejati yang tak berharap balas budi. Semoga peringatan Hari Ibu yang pada 22 Desember, dapat menggugah kesadaran para perempuan dan para guru untuk menjadi ibu sejati. Seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang besar dan sukses.


Muhammad Ali Murtadlo, Guru Program IMTAQ, di SMP Dharma Wanita, Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India