Oleh: Muhammad Ali Murtadlo
Ketika
militer dan polisi negara lain melangkah maju dan bersatu dalam
menghadapi segala macam ancaman dan permasalahan bangsa di Indonesia,
aparat militer dan kepolisiannya justru terlibat aksi kekerasan.
Alih-alih memelihara perdamaian, kedua institusi ini malah menebar aksi
yang tak sedap dipandang mata.
Aksi perusakan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, pada Kamis (07/03) oleh sejumlah anggota TNI dari Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 15/105 Tarik Martapura merupakan aksi yang menggambarkan bagaimana kedua institusi ini belum bisa bersikap dewasa.
Hanya gara-gara permasalahan sepele kedua institusi terlibat aksi yang dampaknya justru mengkerdilkan diri mereka sendiri. Aksi itu adalah buntut tewasnya Pratu Heru Oktavinus. Anggota Batalyon 15/105 itu ditembak mati oleh anggota Polisi Lalu Lintas Polres OKU Brigadir Wijaya saat terlibat perkelahian di Desa Sukajadi, OKU, pada 27 Januari 2013. Seharusnya permasalahan semacam itu tidak dibawa ke ranah antarinstitusi, melainkan diselesaikan secara hukum.
TNI-Polri bak dua geng yang saling menjatuhkan. Seperti layaknya aksi premanisme yang kini marak terjadi. Jika sejenak menengok kebelakang (flas back), perseteruan antara TNI-Polri bukan pertama kali terjadi. Pasca reformasi, seteru TNI-Polri sudah sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Data Research Institute for Democracy and Peace (Ridep) Institute menyebutkan sejak diundangkannya Tap MPR VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, telah terjadi lebih dari 100 kali bentrok antaranggota dua institusi itu, dari bentrok ringan hingga berat yang menimbulkan korban jiwa.
Bentrokan juga pernah terjadi di Maluku Tengah pada 2008. Peristiwa itu menewaskan masing-masing empat personel dari Polres Malteng dan TNI dari Yonif 731/Kabaresi. Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Binjai pada 2007, yakni penyerangan anggota Satuan Elite Rider/900 terhadap sekelompok polisi di Stadion Sepak Bola Mayor Metra.
Sebelumnya, pada tahun 2001 peristiwa fenomenal juga pernah terjadi. Bentrokan antara anggota Polresta Madiun dengan Batalion 501. Dipicu oleh masalah sepele, berselisih di antrean SPBU. Bentrok kemudian melibatkan antar korps penegak hukum. Dua warga sipil ikut jadi korban waktu itu. Kantor Polresta Madiun bahkan sempat dua kali diserbu oleh anggota TNI.
Bukan hanya itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempunyai mencatat, sejak tahun 2005 hingga tahun 2012 telah tercatat setidaknya 27 kali peristiwa bentrokan terbuka antara anggota dua korps tersebut di berbagai daerah di Indonesia. Dari seluruh peristiwa itu, tercatat tujuh anggota polisi tewas. Empat dari TNI. Sementara yang luka-luka sebanyak 32 personel polisi dan 15 orang tentara.
Bersatulah!
Sejak diundangkannya Tap MPR VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta ditetapkannya Tap MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, kewenangan dan kekuasaan kedua institusi ini dipisah. Pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari tuntutan reformasi di sektor keamanan, masyarakat berharap anggota Polri dan TNI akan menjadi profesional dan bertanggung jawab terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Namun pada kenyataannya, pasca pemisahan kedua institusi ini malah lebih sering terjadi perselisihan. Perselisihan itu hanya bersumber dari hal-hal sepele. Permasalahan yang seharusnya bisa diselesaikan lewat hukum dan perundingan justru diwarnai dengan adu fisik atau kekuatan. Seperti beberapa kasus di atas.
Itu membuktikan bahwa konflik yang diselesaikan lewat adu kekuatan mencerminkan masih ada sebagian aparat yang lebih mengedepankan hukum rimba. TNI-Polri sama-sama merasa paling berkuasa, dan satu sama lain minta dihormati. Mochar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1978), mengatakan bahwa kebanyakan manusia Indonesia masih mengedepankan jiwa feodalistik. Mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan harus dihormati oleh yang dikuasai, yang kecil dan tanpa kekuasaan harus mengabdi kepada yang besar. Kondisi itu tentunya memunculkan citra negatif masyarakat terhadap kedua angkatan yang seharusnya dapat memberikan contoh yang baik dalam upaya penegakan hukum.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya seteru antara TNI-Polri. Pertama, karena faktor kesejahteraan. Selama ini masih terlihat adanya ketimpangan antara prajurit TNI dan Polri. Di masyarakat awam beredar guyon bahwa TNI penuh dengan “tantangan”, sementara Polri penuh dengan “tentengan”. Maka tidak heran jika kebanyakan personel Polri bertambah gendut.
Bahkan bukan hanya badannya yang gendut tetapi rekeningnya pun ikut gendut. Seperti yang pernah mencuat beberapa waktu lalu. Belum lagi terlibatnya petinggi Polri yang tersandung kasus simulator SIM. Itu membuktikan bahwa di Polri masih ada peluang akses bisnis yang menggiurkan demi kesejahteraan.
Kedua, karena persoalan kewenangan TNI yang dipangkas. Sejak TNI pisah dengan Polri, praktis TNI berfungsi jika negara dalam keadaan perang. Sementara wewenang keamanan dalam negeri sepenuhnya berada dalam wilayah kekuasaan Polri. Persoalan seperti ini yang dipandang mudah memicu kecemburuan psikologis anggota TNI terhadap Polri.
Ketiga, karena faktor kurangnya koordinasi. Peristiwa di Ogan Komering Ulu (OKU) itu jelas menunjukkan adanya kurang koordinasi antara petinggi dua korps negara tersebut. Sudah seharusnya petinggi TNI-Polri melakukan komunikasi secara intens, demi mencegah terulangnya kembali bentrok antara TNI-Polri yang amat memalukan negara itu.
Maka tidak ada jalan lain untuk mencegah adanya konflik terjadi kembali, kecuali bersatu. Bersatu dalam kerukunan meskipun beda institusi. Bergandeng tangan untuk menciptakan keamanan, kedamaian demi kesejahteraan bangsa dan negara. Seperti yang dilakukan aparat keamanan di Surakarta beberapa waktu lalu dengan menenteng slogan, “Rukun agawe sentoso, kerah marai bubrah. Aparat rukun rakyat makmur. Aparat tidak akur negara hancur”. Maka menjadi sangat penting bagi TNI-Polri untuk merefleksikan diri lewat slogan tersebut. (*)
Penulis: Aktivis Laskar Ambisius di AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidik Misi) dan Akademisi Jurusan Ahwalus Syakhsiyah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Aksi perusakan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, pada Kamis (07/03) oleh sejumlah anggota TNI dari Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 15/105 Tarik Martapura merupakan aksi yang menggambarkan bagaimana kedua institusi ini belum bisa bersikap dewasa.
Hanya gara-gara permasalahan sepele kedua institusi terlibat aksi yang dampaknya justru mengkerdilkan diri mereka sendiri. Aksi itu adalah buntut tewasnya Pratu Heru Oktavinus. Anggota Batalyon 15/105 itu ditembak mati oleh anggota Polisi Lalu Lintas Polres OKU Brigadir Wijaya saat terlibat perkelahian di Desa Sukajadi, OKU, pada 27 Januari 2013. Seharusnya permasalahan semacam itu tidak dibawa ke ranah antarinstitusi, melainkan diselesaikan secara hukum.
TNI-Polri bak dua geng yang saling menjatuhkan. Seperti layaknya aksi premanisme yang kini marak terjadi. Jika sejenak menengok kebelakang (flas back), perseteruan antara TNI-Polri bukan pertama kali terjadi. Pasca reformasi, seteru TNI-Polri sudah sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Data Research Institute for Democracy and Peace (Ridep) Institute menyebutkan sejak diundangkannya Tap MPR VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, telah terjadi lebih dari 100 kali bentrok antaranggota dua institusi itu, dari bentrok ringan hingga berat yang menimbulkan korban jiwa.
Bentrokan juga pernah terjadi di Maluku Tengah pada 2008. Peristiwa itu menewaskan masing-masing empat personel dari Polres Malteng dan TNI dari Yonif 731/Kabaresi. Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Binjai pada 2007, yakni penyerangan anggota Satuan Elite Rider/900 terhadap sekelompok polisi di Stadion Sepak Bola Mayor Metra.
Sebelumnya, pada tahun 2001 peristiwa fenomenal juga pernah terjadi. Bentrokan antara anggota Polresta Madiun dengan Batalion 501. Dipicu oleh masalah sepele, berselisih di antrean SPBU. Bentrok kemudian melibatkan antar korps penegak hukum. Dua warga sipil ikut jadi korban waktu itu. Kantor Polresta Madiun bahkan sempat dua kali diserbu oleh anggota TNI.
Bukan hanya itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempunyai mencatat, sejak tahun 2005 hingga tahun 2012 telah tercatat setidaknya 27 kali peristiwa bentrokan terbuka antara anggota dua korps tersebut di berbagai daerah di Indonesia. Dari seluruh peristiwa itu, tercatat tujuh anggota polisi tewas. Empat dari TNI. Sementara yang luka-luka sebanyak 32 personel polisi dan 15 orang tentara.
Bersatulah!
Sejak diundangkannya Tap MPR VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta ditetapkannya Tap MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri, kewenangan dan kekuasaan kedua institusi ini dipisah. Pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan bagian dari tuntutan reformasi di sektor keamanan, masyarakat berharap anggota Polri dan TNI akan menjadi profesional dan bertanggung jawab terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Namun pada kenyataannya, pasca pemisahan kedua institusi ini malah lebih sering terjadi perselisihan. Perselisihan itu hanya bersumber dari hal-hal sepele. Permasalahan yang seharusnya bisa diselesaikan lewat hukum dan perundingan justru diwarnai dengan adu fisik atau kekuatan. Seperti beberapa kasus di atas.
Itu membuktikan bahwa konflik yang diselesaikan lewat adu kekuatan mencerminkan masih ada sebagian aparat yang lebih mengedepankan hukum rimba. TNI-Polri sama-sama merasa paling berkuasa, dan satu sama lain minta dihormati. Mochar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1978), mengatakan bahwa kebanyakan manusia Indonesia masih mengedepankan jiwa feodalistik. Mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan harus dihormati oleh yang dikuasai, yang kecil dan tanpa kekuasaan harus mengabdi kepada yang besar. Kondisi itu tentunya memunculkan citra negatif masyarakat terhadap kedua angkatan yang seharusnya dapat memberikan contoh yang baik dalam upaya penegakan hukum.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya seteru antara TNI-Polri. Pertama, karena faktor kesejahteraan. Selama ini masih terlihat adanya ketimpangan antara prajurit TNI dan Polri. Di masyarakat awam beredar guyon bahwa TNI penuh dengan “tantangan”, sementara Polri penuh dengan “tentengan”. Maka tidak heran jika kebanyakan personel Polri bertambah gendut.
Bahkan bukan hanya badannya yang gendut tetapi rekeningnya pun ikut gendut. Seperti yang pernah mencuat beberapa waktu lalu. Belum lagi terlibatnya petinggi Polri yang tersandung kasus simulator SIM. Itu membuktikan bahwa di Polri masih ada peluang akses bisnis yang menggiurkan demi kesejahteraan.
Kedua, karena persoalan kewenangan TNI yang dipangkas. Sejak TNI pisah dengan Polri, praktis TNI berfungsi jika negara dalam keadaan perang. Sementara wewenang keamanan dalam negeri sepenuhnya berada dalam wilayah kekuasaan Polri. Persoalan seperti ini yang dipandang mudah memicu kecemburuan psikologis anggota TNI terhadap Polri.
Ketiga, karena faktor kurangnya koordinasi. Peristiwa di Ogan Komering Ulu (OKU) itu jelas menunjukkan adanya kurang koordinasi antara petinggi dua korps negara tersebut. Sudah seharusnya petinggi TNI-Polri melakukan komunikasi secara intens, demi mencegah terulangnya kembali bentrok antara TNI-Polri yang amat memalukan negara itu.
Maka tidak ada jalan lain untuk mencegah adanya konflik terjadi kembali, kecuali bersatu. Bersatu dalam kerukunan meskipun beda institusi. Bergandeng tangan untuk menciptakan keamanan, kedamaian demi kesejahteraan bangsa dan negara. Seperti yang dilakukan aparat keamanan di Surakarta beberapa waktu lalu dengan menenteng slogan, “Rukun agawe sentoso, kerah marai bubrah. Aparat rukun rakyat makmur. Aparat tidak akur negara hancur”. Maka menjadi sangat penting bagi TNI-Polri untuk merefleksikan diri lewat slogan tersebut. (*)
Penulis: Aktivis Laskar Ambisius di AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidik Misi) dan Akademisi Jurusan Ahwalus Syakhsiyah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya
dimuat di Metro Riau edisi Selasa 02 April 2
0 komentar:
Posting Komentar