Ahad (12/05), Saya sekarang
berada di kampung halaman. Lama tak pulang kampung membuat saya rindu suasana
kampung. Entah kenapa hati saya tergerak untuk menuliskan cerita tentang kampung
halaman dan masa kanak-kanak. Menurut saya masa paling terkesan tetap masa
kanak-kanak di kampung halaman. Masa di mana saya menghabiskan waktu bersama
alam, tanpa beban, tanpa “tanggung jawab” dan tanpa ini itu. Pokoknya mau apa
saja terserah.
Seperti catatan saya bertajuk Bernostalgia Dengan Masa
Kanak-Kanak sebelumnya saya memaparkan cerita yang hanya saya ingat.
Tentang hidup saya di masa lalu yang bisa dibilang tak seperti kebanyakan orang. Tentang kenangan dengan kawan-kawan, dengan tetangga, dengan alam pedesaan, dengan suasana kampung, dan dengan semua yang pernah bersua dengan saya. Banyak kenangan yang tak terlupakan. Semua cerita itu tinggal kenangan yang tak mungkin dapat terulang.
Tentang hidup saya di masa lalu yang bisa dibilang tak seperti kebanyakan orang. Tentang kenangan dengan kawan-kawan, dengan tetangga, dengan alam pedesaan, dengan suasana kampung, dan dengan semua yang pernah bersua dengan saya. Banyak kenangan yang tak terlupakan. Semua cerita itu tinggal kenangan yang tak mungkin dapat terulang.
Semua orang pasti mempunyai cerita masing-masing. Dan masing-masing
cerita pasti berbeda, karena perjalanan hidup orang itu lain-lain. Adakalanya
yang memilukan, bahagia bahkan ada yang membuat fikiran kita down ketika
mengingat-ngingat kenangan yang menyedihkan. Yang pasti perjalanan hidup
seseorang itu ada dua kemungkinan, bahagia atau sengsara, kaya atau miskin,
disegani, atau dicaci, disukai atau dibenci, dan sebagainya. Tapi Anda pasti
setuju jika saya menyebut perjalanan hidup orang-orang itu adalah perjalanan
menuju muara, yakni kematian.
Berbicara kematian, fikiran saya seolah tak percaya. Orang-orang di
kampung saya yang dulu saya kenal, yang sering bersua, bahkan waktu kecil
sering main dirumahnya telah meninggal beberapa hari lalu. Bukan hanya satu
orang namun dua orang sekaligus dalam satu hari. Saya tidak hendak menyesali
atau menangisi, karena bagi saya kematian adalah sebuah keniscayaan. Saya hanya
tak menyangka ternyata umurnya tak sepanjang yang saya prediksikan.
Saya yang jarang pulang kampung seolah merasakan perbedaan di
kampung. Mulai dari segi suasana kampung, orang-orangnya hingga bangunan
rumahnya. Saya tak menyangkal bahwa perubahan itu penting. Perubahan itu adalah
sebuah keniscayaan dan termasuk dalam hukum alam, bahwa manusia itu mengalami
perubahan dan perkembangan. Selagi perubahan itu ke arah kemajuan dan
perkembangan saya memaknainya dengan positif.
Ada beberapa fenomena menarik di desa saya hendak saya utarakan di
sini. Ini hasil diskusi saya tadi malam dengan seorang kawan ketika ngopi di
depan pasar Sumberrejo. Pertama, di desa saya sekarang lagi hiruk
pikuknya pesta demokrasi. Ada pemilihan kepala desa (Kades). Calon kades yang
akan dipilih nanti ada dua calon. Dan menariknya calon kades tersebut adalah
pasangan suami istri kepala desa lama yang saat ini masih menjabat. Jadi
calonnya ada dua, laki-laki dan perempuan itu pun suami-istri.
Selama ini saya baru menemukan sebuah perebutan kekuasaan pemimpin
yang direbutkan oleh pasangan suami istri. Dan ini mungkin hanya di daerah saya
(atau mungkin di daerah lain yang tidak saya ketahui). Menurut spekulasi saya
ini adalah pemahaman demokrasi yang terlalu dangkal. Memang dalam demokrasi,
semua orang berhak untuk mengajukan diri, semua orang baik laki-laki maupun
perempuan, kaya atau miskin, semua berhak untuk ikut andil dalam pesta
demokrasi. Selagi tidak terjerat kasus hukum atau pernah mengonsumsi obat-obat
terlarang. Namun perlu dicermati, etiskah jika yang memperebutkan adalah
pasangan suami-istri?
Analisis saya, itu adalah
bentuk dari politik. Di desa saya yang berminat untuk menjadi kepala desa
sangat minim. Mungkin karena jabatan kades terlalu berat, mengingat problem
desa sangat komplek. Ditambah karakter masyarakat di desa saya termasuk
masyarakat yang sulit diatur. Maka hanya orang-orang yang memang benar-benar
berkompeten yang mau menjadi kades. Dari pada tidak ada yang mencalonkan diri,
mereka mencalonkan berdua. Itu meminimalkan kemungkinan apabila tidak jadi.
Karena jika calonnya cuma satu musuhnya adalah “bambu kosong”. Namun jika
calonnya ada dua maka kemungkinan yang jadi pasti mereka berdua. Jika yang jadi
nanti laki-laki yang perempuan pasti tetap dipanggil bu lurah, dan sebaliknya
jika yang jadi nanti perempuan yang laki-laki tetap dipanggil pak lurah.
Selain itu, tanpa menutup-nutupi dan ini sudah menjadi rahasia umum
bahwa setiap pesta demokrasi pasti tidak bisa dilepaskan dari adanya uang.
Jangankan di desa, di perkotaan juga demikian. Jadi yang punya uanglah yang
berani mencalonkan. Karena orang desa yang kebanyakan bukan dari kaum
berpendidikan tentu pola pikirnya masih rendah. Kalau tidak diberikan uang
mereka tidak akan mau berangkat ke TPS. Bahkan yang unik mereka minta dijemput.
Itulah ironi di negeri ini!
Kedua, tentang
pasangan hidup. Orang desa banyak yang dapat pasangan hidup orang desa sendiri.
Tidak lama ini tetangga sekaligus kawan saya baru saja menikah dengan tetangga
sendiri, tidak hanya satu orang, bahkan ada dua pasangan sekaligus. Tanpa
menafikan bahwa jodoh memang sudah diatur, saya menganggapnya ini adalah sebuah
ekspresi ketidakterimaan. Tidak terima
jika anak desa diperistri oleh orang desa lain. Atau mungkin ada ikatan
emosional antar keluarga dan terkadang ada semacam paksaan, karena selama ini
yang saya amati ternyata pernikahan di desa-desa itu ada yang melancarkan. Di
jawa dikenal dengan istilah “dandan” atau dalam istilah dagang adalah
makelar.
Ketiga, ini sebenarnya
masalah klasik terkait dengan tipe masyarakat di desa saya. Menurut pemaparan
kawan saya tadi malam masyarakat desa saya itu unik, sulit diatur, merasa semua
pinter, gampang tersinggung, dan lain-lain. Memang belum pernah diadakan
penelitian tentang tipe masyarakat di desa saya, namun menurut pengalaman,
masyarakat di desa saya memang tipe masyarakat yang saya sebutkan di atas.
Terutama masalah agama, semua orang merasa sudah pinter sendiri. Sampai-sampai
ketika ada pengajian umum yang mengundang orang luar dan penyampaiannya itu
tidak sesuai dengan fikiran dan keyakinan meraka, akan meraka debat. Bahkan
yang lebih menggelitik adalah ketika menjelang hari raya, posisi khatib dan
imam menjadi bahan rebutan. Dan terkadang diwarnai permusuhan. Pernah suatu
ketika diadakan pemilihan kyai, lantaran banyak yang menganggap kyai yang
sekarang kurang terbuka dan tidak representative.
Itu sekelumit cerita saya dari kampung halaman yang mungkin dapat
memberikan wawasan terkait dengan hidup. Bahwa hidup itu penuh warna. Hidup itu
penuh dengan perbedaan dan keunikan masing-masing.
Salam dari kampung halaman!
Bojonegoro, 12 Mei 2013
Muhammad Ali Murtadlo, Seseorang yang
terus belajar memaknai hidup, tinggal bersama mimpi untuk kebaikan dan
kebahagaiaan masa depan.
4 komentar:
(y)
Posting Komentar