Oleh: Muhammad Ali Murtadlo
Mahasiswa Jurusan Ahwalus Syakhsiyah (AS), Fakultas Syariah, serta Aktivis Laskar Ambisius (LA) di Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya
Menyaksikan romantika perjalanan bangsa ini seakan-akan membawa kita pada pusaran pesimisme yang akut. Lihatlah kasus-kasus penipuan di negeri ini yang seolah-olah tidak ada habisnya. Kasus demi kasus mulai terungkap. Beberapa kasus yang saat ini kita saksikan, seperti korupsi, suap menyuap, pemanipulasian hukum, kenaikan gaji tanpa adanya perbaikan kinerja, penggelambungan anggaran, kekerasan, pembunuhan demi balas dendam sampai konspirasi politik adalah bukti dari maraknya praktik penipuan di negeri ini.
Kita sebagai masyarakat penasaran dengan
romantika hidup bangsa ini. Sebenarnya mau dibawa kemana arah perjalanan bangsa
ini. Perjalanan bangsa yang seharusnya diikuti dengan progresifitas kemajuan
malah terhambat oleh prilaku keji para pemegang kekuasaan. Anehnya, pelaku
tindak penipuan ini adalah kaum-kaum terpelajar. Para pemegang kekuasan yang
notabene bergelar sarjana, magister, doktor bahkan professor adalah salah satu
aktor dari beberapa penipuan diatas. Bahkan bisa dikatakan mereka adalah aktor
utama.
Kita tentu tercengang melihat sejumlah
fakta mengejutkan terungkap. Tim Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch
(ICW) merilis, dalam semester I tahun 2012, mulai Januari hingga Juni, tercatat
ada 17 kasus dugaan korupsi di institusi pendidikan. Jumlah ini menempati
posisi ketiga, setelah kasus dugaan korupsi yang ada di pemerintah daerah dan
BUMN/BUMD.
Di antaranya, dugaan korupsi pengadaan
barang atau jasa paket pekerjaan pengadaan peralatan laboratorium Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), dugaan korupsi di Universitas Indonesia yang
melibatkan Gumilar R Somantri, dan kasus dugaan korupsi pengadaan meubeler dan
alat laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang,
Sumatera Selatan. Kasus-kasus tersebut melibatkan anggota DPR, seperti mantan
anggota DPR, Angelina Sondakh, yang menjadi tersangka kasus dugaan suap proyek
pembangunan fasilitas di beberapa universitas (Kompas, 14/10). Dengan terungkapnya sejumlah kasus dugaan korupsi
di beberapa universitas itu semakin menegaskan kita, jangan-jangan kampus bukan
lagi tempat menuntut ilmu tapi sebagai sarang penipu.
Praktek penipuan yang dilakukan kaum
terpelajar itu sebenarnya bukan berasal dari gemblengan kampus. Tidak ada
kampus yang mengajarkan ilmu menipu. Tidak ada pendidikan yang menerapkan
kurikulum penipuan atau mata kuliah tentang tehnik menipu. Kampus itu tempat
pentransferan ilmu bukan tempat untuk mencetak penipu. Tapi mengapa lulusan
kampus malah menjadi aktor penipuan? Itulah ironi yang terjadi di negeri ini.
Penipuan itu terjadi karena adanya sifat
serakah, tamak, merasa kurang, atau sifat buruk lainnya. Sifat-sifat buruk itu
dipelihara sehingga ketika ada kesempatan untuk melakukan mereka dengan cepat
akan melancarkan aksi penipuan. Meskipun tidak ada niat, jika ada kesempatan
mereka akan berbuat yang demikian.
Di kampus yang berasaskan Islam pun
tidak lepas dari praktek kotor itu. Kampus yang diharapkan mampu mencetak
lulusan-lulusan yang kompeten dalam ilmu agama ini juga tak mampu lari dari
busuknya aksi penipuan. Bangsa kita menaruh harapan besar kepada mesin pencetak
intelektual religius (kampus Islam) untuk mencetak intelektual religius yang
mampu memperbaiki kecarut-marutan bangsa ini. Tapi kenyataannya para pengelola
mesin itu (pejabat birokrasi kampus) malah melakukan tindakan yang menyimpang.
Ini semakin membuktikan bahwa tingkat religiusitas tidak dapat memastikan
seseorang dapat lari dari sifat buruk.
Contoh terkecil dari penipuan di kampus
islam adalah ketidakjelasan pelaksanaan praktikum di setiap jurusan atau
program studi yang menimbulkan tanda tanya besar. Mahasiswa dikenakan biaya
praktikum setiap semester namun tidak ada pelaksanaan praktikum. Praktek
penipuan itu jelas kelihatan dengan tidak adanya transparansi.
Kita tentu masih ingat aksi teman-teman
mahasiswa saat beraspirasi di depan rektorat IAIN Sunan Ampel, Surabaya beberapa
waktu lalu. Mereka hendak mengungkapkan aksi penipuan itu namun berujung pada
tindak anarkis. Sehingga mengakibatkan kerusakan pada gedung rektorat. Dari
kejadian itu bukan aksi pengungkapan penipuan yang disorot tapi malah tindak
anarkisnya. Akibatnya, banyak yang mengklaim bahwa mahasiswa di kampus islam
adalah mahasiswa brutal dan tidak punya akhlak. Saya kira bukan begitu,
mahasiswa yang bertindak anarkis itu bukan kog tidak punya akhlak. Justru yang
tidak punya “akhlak” adalah para akademisi maupun praktisi kampus yang kerap
melaksanakan penipuan.
Dengan belajar dari fenomena diatas,
sebagai civitas akademika yang bijak, seharusnya mulai saat ini kita segera
mempunyai inisiatif untuk memperbaiki citra. Kita segera membangun kesadaran
bahwa kampus adalah tempat para intelek, para cendekia dan para ilmuwan yang
beradab bukan sarang para penyamun ataupun para penipu yang biadab. Sudah
seharusnya mulai saat ini kita menjadikan kampus sebagai tempat untuk belajar
memaknai hidup dengan banyak membaca, berdiskusi dan menulis agar kita tidak
kehilangan roh dan jati diri kampus itu sendiri. Jika tidak dimulai saat ini,
kapan lagi?
*)Tulisan ini dimuat di Koran Beranda_Solidaritas_IAIN Sunan Ampel Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar