Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Senin, 29 April 2013

Memperbaiki Citra Kampus Penipu


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo
Mahasiswa Jurusan Ahwalus Syakhsiyah (AS), Fakultas Syariah, serta Aktivis Laskar Ambisius (LA) di Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya 
  
Menyaksikan romantika perjalanan bangsa ini seakan-akan membawa kita pada pusaran pesimisme yang akut. Lihatlah kasus-kasus penipuan di negeri ini yang seolah-olah tidak ada habisnya. Kasus demi kasus mulai terungkap. Beberapa kasus yang saat ini kita saksikan, seperti korupsi, suap menyuap, pemanipulasian hukum, kenaikan gaji tanpa adanya perbaikan kinerja, penggelambungan anggaran, kekerasan, pembunuhan demi balas dendam sampai konspirasi politik adalah bukti dari maraknya praktik penipuan di negeri ini.
Kita sebagai masyarakat penasaran dengan romantika hidup bangsa ini. Sebenarnya mau dibawa kemana arah perjalanan bangsa ini. Perjalanan bangsa yang seharusnya diikuti dengan progresifitas kemajuan malah terhambat oleh prilaku keji para pemegang kekuasaan. Anehnya, pelaku tindak penipuan ini adalah kaum-kaum terpelajar. Para pemegang kekuasan yang notabene bergelar sarjana, magister, doktor bahkan professor adalah salah satu aktor dari beberapa penipuan diatas. Bahkan bisa dikatakan mereka adalah aktor utama.
Kita tentu tercengang melihat sejumlah fakta mengejutkan terungkap. Tim Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis, dalam semester I tahun 2012, mulai Januari hingga Juni, tercatat ada 17 kasus dugaan korupsi di institusi pendidikan. Jumlah ini menempati posisi ketiga, setelah kasus dugaan korupsi yang ada di pemerintah daerah dan BUMN/BUMD.
Di antaranya, dugaan korupsi pengadaan barang atau jasa paket pekerjaan pengadaan peralatan laboratorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), dugaan korupsi di Universitas Indonesia yang melibatkan Gumilar R Somantri, dan kasus dugaan korupsi pengadaan meubeler dan alat laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang, Sumatera Selatan. Kasus-kasus tersebut melibatkan anggota DPR, seperti mantan anggota DPR, Angelina Sondakh, yang menjadi tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan fasilitas di beberapa universitas (Kompas, 14/10). Dengan terungkapnya sejumlah kasus dugaan korupsi di beberapa universitas itu semakin menegaskan kita, jangan-jangan kampus bukan lagi tempat menuntut ilmu tapi sebagai sarang penipu.
Praktek penipuan yang dilakukan kaum terpelajar itu sebenarnya bukan berasal dari gemblengan kampus. Tidak ada kampus yang mengajarkan ilmu menipu. Tidak ada pendidikan yang menerapkan kurikulum penipuan atau mata kuliah tentang tehnik menipu. Kampus itu tempat pentransferan ilmu bukan tempat untuk mencetak penipu. Tapi mengapa lulusan kampus malah menjadi aktor penipuan? Itulah ironi yang terjadi di negeri ini.
Penipuan itu terjadi karena adanya sifat serakah, tamak, merasa kurang, atau sifat buruk lainnya. Sifat-sifat buruk itu dipelihara sehingga ketika ada kesempatan untuk melakukan mereka dengan cepat akan melancarkan aksi penipuan. Meskipun tidak ada niat, jika ada kesempatan mereka akan berbuat yang demikian.
Di kampus yang berasaskan Islam pun tidak lepas dari praktek kotor itu. Kampus yang diharapkan mampu mencetak lulusan-lulusan yang kompeten dalam ilmu agama ini juga tak mampu lari dari busuknya aksi penipuan. Bangsa kita menaruh harapan besar kepada mesin pencetak intelektual religius (kampus Islam) untuk mencetak intelektual religius yang mampu memperbaiki kecarut-marutan bangsa ini. Tapi kenyataannya para pengelola mesin itu (pejabat birokrasi kampus) malah melakukan tindakan yang menyimpang. Ini semakin membuktikan bahwa tingkat religiusitas tidak dapat memastikan seseorang dapat lari dari sifat buruk.
Contoh terkecil dari penipuan di kampus islam adalah ketidakjelasan pelaksanaan praktikum di setiap jurusan atau program studi yang menimbulkan tanda tanya besar. Mahasiswa dikenakan biaya praktikum setiap semester namun tidak ada pelaksanaan praktikum. Praktek penipuan itu jelas kelihatan dengan tidak adanya transparansi.
Kita tentu masih ingat aksi teman-teman mahasiswa saat beraspirasi di depan rektorat IAIN Sunan Ampel, Surabaya beberapa waktu lalu. Mereka hendak mengungkapkan aksi penipuan itu namun berujung pada tindak anarkis. Sehingga mengakibatkan kerusakan pada gedung rektorat. Dari kejadian itu bukan aksi pengungkapan penipuan yang disorot tapi malah tindak anarkisnya. Akibatnya, banyak yang mengklaim bahwa mahasiswa di kampus islam adalah mahasiswa brutal dan tidak punya akhlak. Saya kira bukan begitu, mahasiswa yang bertindak anarkis itu bukan kog tidak punya akhlak. Justru yang tidak punya “akhlak” adalah para akademisi maupun praktisi kampus yang kerap melaksanakan penipuan.
Dengan belajar dari fenomena diatas, sebagai civitas akademika yang bijak, seharusnya mulai saat ini kita segera mempunyai inisiatif untuk memperbaiki citra. Kita segera membangun kesadaran bahwa kampus adalah tempat para intelek, para cendekia dan para ilmuwan yang beradab bukan sarang para penyamun ataupun para penipu yang biadab. Sudah seharusnya mulai saat ini kita menjadikan kampus sebagai tempat untuk belajar memaknai hidup dengan banyak membaca, berdiskusi dan menulis agar kita tidak kehilangan roh dan jati diri kampus itu sendiri. Jika tidak dimulai saat ini, kapan lagi?

*)Tulisan ini dimuat di Koran Beranda_Solidaritas_IAIN Sunan Ampel Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India