Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Selasa, 30 April 2013

Catatan Akhir Bulan April 2013: Sebuah Refleksi Kematian



Judul di atas mungkin terlalu sexy apabila dimaknai secara dangkal. Namun akan menjadi sesuatu yang bermakna jika dicerna secara mendalam oleh akal. Ini hanya sebuah refleksi seorang pemimpi yang berusaha memaknai hidup menjadi lebih berarti.
Bagi kebanyakan orang, pergantian bulan tak menjadi perhatian serius. Orang yang tak peduli dengan makna waktu, biasanya hanya mengeluh karena sudah masuk tanggal tua, lantaran keuangan menipis. Dan saatnya menunggu tanggal muda untuk mendapat bayaran. Bagi pekerja/buruh menerima gaji, bagi PNS menerima gaji + tunjangan, sedangkan  bagi guru tanggal muda berarti waktu mengambil gaji + uang sertifikasi (bagi yang sudah bersertifikasi).  Namun bagi mahasiswa awal bulan berarti waktu untuk membayar uang kost-kostan atau untuk membayar hutang. Seolah-olah pergantian bulan adalah pergantian untuk memikirkan keuangan.
Untuk membedakan dengan kebanyakan orang, di akhir bulan ini saya ingin merefeleksikan diri. Ingin berintrospeksi diri, menimbang-nimbang semua pekerjaan yang telah saya lakukan selama sebulan ini. Aktifitas apa saja yang telah saya lakukan? Sudah berapa banyak manfaat yang sudah saya berikan untuk orang lain? Sudah sukseskah saya berkembang? Atau malah sebaliknya, belum sama sekali.
Semua orang pasti memiliki jalan hidup masing-masing. Semua orang memiliki keinginan sendiri-sendiri. Akan tetapi yang pasti semua orang memiliki standar hidup untuk menjadi yang lebih baik dari hari sebelumnya. Tak terkecuali dengan saya. Bahkan boleh dibilang jalan hidup yang saya lalui harus mengalami progresifitas ke arah lebih maju. Namun untuk mencapai itu, bukan hal yang remeh temeh. Butuh perjuangan dan kerja keras.
Hidup itu tak semudah membuat kopi, tinggal masak air, tuangkan ke racikan gula dan kopi (terkadang tinggal gunting sachet), lalu jadi kopi, kemudian menikmatinya di pagi hari sambil menyatap roti. Bukan. Hidup tak semudah itu. Bagi saya hidup adalah sebuah perjalanan menuju sebuah kepastian yang setiap orang pasti merasakannya nanti, yakni kematian.  Hidup manusia itu, kata Martin Heidegger adalah sesuatu kehadiran yang tertuju ke arah kematian. Namun sebelum mencapai sana, tentu kita harus mengisinya dengan hal-hal yang berarti. Agar mendapatkan bekal dan dapat hidup di alam selanjutnya dengan penuh kebahagiaan.
Terkadang hidup ini membuat saya bertanya-tanya. Sebenarnya klimaks (titik puncak kenikmatan) dari sebuah kehidupan itu seperti apa? Karena selama ini, banyak orang yang rela mati-matian mengejar kesuksesan. Bekerja keras untuk menjadi jutawan, miliaran, bahkan menjadi orang terkaya sedunia. Akan tetapi ketika sudah mencapai kenikmatan itu, mempunyai mobil mewah, rumah mewah, uang berlimpah, istri sholehah, dan lain-lain. Tapi akhirnya juga akan ditinggal begitu saja.  Benar apa yang dikatakan seorang teman “dan akhirnya semua akan biasa-biasa saja!”.
Meskipun demikian saya tidak hendak menjadi pribadi yang pesimistik dengan menganggap bahwa semua akan berakhir dengan kematian. Saya ingin memaknai bahwa hidup sebenarnya adalah sesuatu yang berharga. Mengapa sangat berharga? Karena kita akan mati. Peristiwa kematian itulah yang menjadikan hidup itu berharga. Kita harus mampu mengisi kehidupan itu dengan hal-hal yang berharga. Seperti bahasanya Komarudin Hidayat dalam “Psikologi Kematian”, merenungkan makna kematian tidak berarti lalu kita pasif. Sebaliknya, justru lebih serius menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat pendek. Ibarat orang lomba lari, maka ia akan berpacu karena adanya batas waktu dan garis finis.
Untuk memaknai waktu, saya juga masih belajar menjadi seseorang yang benar-benar sadar diri. Kesadaran diri itu penting sekali. Orang yang belum mampu menyadarkan dirinya sendiri terkadang akan membuat dirinya bermalas-malasan. Menganggap bahwa hidup itu cukup untuk melakukan itu-itu saja.
***
Bagi saya, April ini bulan yang belum sepenuhnya sempurna. Saya masih belum bisa merealisasikan target yang saya buat awal bulan lalu. Kira-kira hanya 80 persen yang saya anggap terlaksana. Itu pun menurut penilaian subjektif saya bukan objektif dari orang lain. Saya bukan kog tidak berusaha atau tidak melakukan sama sekali. Hanya saja ada beberapa kendala yang itu pasti ada dalam hidup.
Sebenarnya tak ada alasan untuk merengek selama kita mau semangat. Tapi masalahnya hidup itu tak selalu linear. Ada kalanya jatuh-bangun, naik-turun, cepat-lambat, semangat dan tidak. Hidup pasti ada dua kemungkinan tersebut. Karena saya sadar bahwa kemampuan manusia terbatas dan takdir Tuhan itu menyempurnakan. Memang benar, segala yang kita laksanakan tidak semua dari qudrat dan irodah Tuhan, ada kasb (keinginan dan kemampuan manusia untuk mengerjakan sesuatu), namun factor X pasti mendominasi. Faktor X itu adalah keberuntungan. Orang pandai masih kalah dengan orang yang beruntung. Dan keberuntunga itu datangnya dari Tuhan.
  Di akhir bulan ini saya ingin menegaskan pada diri saya sendiri dan semua yang menganggap bahwa waktu itu sangat berharga, bahwa kenikmatan dan kesuksesan akan kita raih selama kita sanggup keluar dari kurungan “kemarin” dan “besok”, lalu masuk ke dalam momentum “sekarang” (now) dan” di sini” (here). Karena orang yang selalu berfikir tentang masa lalu sehingga mengabaikan hari ini, ataupun tenggelam membayangkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan berarti kita telah lari meninggalkan ruang kenikmatan, yakni momentuk “here and now”.

Muhammad Ali Murtadlo
Selasa, 30 April 2013 M

Senin, 29 April 2013

Memperbaiki Citra Kampus Penipu


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo
Mahasiswa Jurusan Ahwalus Syakhsiyah (AS), Fakultas Syariah, serta Aktivis Laskar Ambisius (LA) di Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya 
  
Menyaksikan romantika perjalanan bangsa ini seakan-akan membawa kita pada pusaran pesimisme yang akut. Lihatlah kasus-kasus penipuan di negeri ini yang seolah-olah tidak ada habisnya. Kasus demi kasus mulai terungkap. Beberapa kasus yang saat ini kita saksikan, seperti korupsi, suap menyuap, pemanipulasian hukum, kenaikan gaji tanpa adanya perbaikan kinerja, penggelambungan anggaran, kekerasan, pembunuhan demi balas dendam sampai konspirasi politik adalah bukti dari maraknya praktik penipuan di negeri ini.
Kita sebagai masyarakat penasaran dengan romantika hidup bangsa ini. Sebenarnya mau dibawa kemana arah perjalanan bangsa ini. Perjalanan bangsa yang seharusnya diikuti dengan progresifitas kemajuan malah terhambat oleh prilaku keji para pemegang kekuasaan. Anehnya, pelaku tindak penipuan ini adalah kaum-kaum terpelajar. Para pemegang kekuasan yang notabene bergelar sarjana, magister, doktor bahkan professor adalah salah satu aktor dari beberapa penipuan diatas. Bahkan bisa dikatakan mereka adalah aktor utama.
Kita tentu tercengang melihat sejumlah fakta mengejutkan terungkap. Tim Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis, dalam semester I tahun 2012, mulai Januari hingga Juni, tercatat ada 17 kasus dugaan korupsi di institusi pendidikan. Jumlah ini menempati posisi ketiga, setelah kasus dugaan korupsi yang ada di pemerintah daerah dan BUMN/BUMD.
Di antaranya, dugaan korupsi pengadaan barang atau jasa paket pekerjaan pengadaan peralatan laboratorium Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), dugaan korupsi di Universitas Indonesia yang melibatkan Gumilar R Somantri, dan kasus dugaan korupsi pengadaan meubeler dan alat laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang, Sumatera Selatan. Kasus-kasus tersebut melibatkan anggota DPR, seperti mantan anggota DPR, Angelina Sondakh, yang menjadi tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan fasilitas di beberapa universitas (Kompas, 14/10). Dengan terungkapnya sejumlah kasus dugaan korupsi di beberapa universitas itu semakin menegaskan kita, jangan-jangan kampus bukan lagi tempat menuntut ilmu tapi sebagai sarang penipu.
Praktek penipuan yang dilakukan kaum terpelajar itu sebenarnya bukan berasal dari gemblengan kampus. Tidak ada kampus yang mengajarkan ilmu menipu. Tidak ada pendidikan yang menerapkan kurikulum penipuan atau mata kuliah tentang tehnik menipu. Kampus itu tempat pentransferan ilmu bukan tempat untuk mencetak penipu. Tapi mengapa lulusan kampus malah menjadi aktor penipuan? Itulah ironi yang terjadi di negeri ini.
Penipuan itu terjadi karena adanya sifat serakah, tamak, merasa kurang, atau sifat buruk lainnya. Sifat-sifat buruk itu dipelihara sehingga ketika ada kesempatan untuk melakukan mereka dengan cepat akan melancarkan aksi penipuan. Meskipun tidak ada niat, jika ada kesempatan mereka akan berbuat yang demikian.
Di kampus yang berasaskan Islam pun tidak lepas dari praktek kotor itu. Kampus yang diharapkan mampu mencetak lulusan-lulusan yang kompeten dalam ilmu agama ini juga tak mampu lari dari busuknya aksi penipuan. Bangsa kita menaruh harapan besar kepada mesin pencetak intelektual religius (kampus Islam) untuk mencetak intelektual religius yang mampu memperbaiki kecarut-marutan bangsa ini. Tapi kenyataannya para pengelola mesin itu (pejabat birokrasi kampus) malah melakukan tindakan yang menyimpang. Ini semakin membuktikan bahwa tingkat religiusitas tidak dapat memastikan seseorang dapat lari dari sifat buruk.
Contoh terkecil dari penipuan di kampus islam adalah ketidakjelasan pelaksanaan praktikum di setiap jurusan atau program studi yang menimbulkan tanda tanya besar. Mahasiswa dikenakan biaya praktikum setiap semester namun tidak ada pelaksanaan praktikum. Praktek penipuan itu jelas kelihatan dengan tidak adanya transparansi.
Kita tentu masih ingat aksi teman-teman mahasiswa saat beraspirasi di depan rektorat IAIN Sunan Ampel, Surabaya beberapa waktu lalu. Mereka hendak mengungkapkan aksi penipuan itu namun berujung pada tindak anarkis. Sehingga mengakibatkan kerusakan pada gedung rektorat. Dari kejadian itu bukan aksi pengungkapan penipuan yang disorot tapi malah tindak anarkisnya. Akibatnya, banyak yang mengklaim bahwa mahasiswa di kampus islam adalah mahasiswa brutal dan tidak punya akhlak. Saya kira bukan begitu, mahasiswa yang bertindak anarkis itu bukan kog tidak punya akhlak. Justru yang tidak punya “akhlak” adalah para akademisi maupun praktisi kampus yang kerap melaksanakan penipuan.
Dengan belajar dari fenomena diatas, sebagai civitas akademika yang bijak, seharusnya mulai saat ini kita segera mempunyai inisiatif untuk memperbaiki citra. Kita segera membangun kesadaran bahwa kampus adalah tempat para intelek, para cendekia dan para ilmuwan yang beradab bukan sarang para penyamun ataupun para penipu yang biadab. Sudah seharusnya mulai saat ini kita menjadikan kampus sebagai tempat untuk belajar memaknai hidup dengan banyak membaca, berdiskusi dan menulis agar kita tidak kehilangan roh dan jati diri kampus itu sendiri. Jika tidak dimulai saat ini, kapan lagi?

*)Tulisan ini dimuat di Koran Beranda_Solidaritas_IAIN Sunan Ampel Surabaya

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India