Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Selasa, 24 April 2012

Paranoid Menghadapi Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) memang sudah berjalan hingga hari ini. Unas dilangsungkan tanggal 16-19 April untuk SMK/SMA dan sederajat, disusul dengan SMP/MTs pada 23-26 april, dan terakhir siswa SD/MI pada 8-10 Mei mendatang. Di tengah-tengah berlangsung Unas, kabar soal kebocoran soal mencuat ke permukaan. Akibatnya public mulai gelisah apakah Unas yang berjalan saat ini bisa menghasilkan kelulusan yang fair.
Kalau kita cermati, memasuki semester akhir, di semua jenjang Sekolah Dasar, Menengah dan Atas disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatu yang bertujuan untuk menyukseskan Unas. Sehingga hanya demi Ujian Nasional sekolah pun memberikan jam tambahan di luar jam sekolah. Semua itu memerlukan energi khusus, baik berupa uang, waktu, maupun tenaga.
Intinya semua tercurah demi lulus Unas. Prosedur dalam menerapkan strategi agar semua siswa dapat lulus dengan nilai baik terkadang pihak sekolah menerapkan gaya pembelajaran yang seolah ada agenda "kejar tayang".
Peserta didik dituntut untuk menguasai materi-materi yang diujikan agar bisa menjawab soal-soal Unas dan lulus dengan nilai memuaskan, atau minimal lulus meskipun dengan predikat kurang memuaskan. Tidak cukup itu saja, wali murid-pun rela mengeluarkan pembiayaan ekstra, dengan memasukkan anaknya ke lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel).
Sebuah DegradasiDalam dunia pendidikan sekolah berfungsi sebagai tempat atau lingkungan di mana aktivitas pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan kalau kita bicara tentang sekolah sendiri, maka dalam bayangan kita akan menghadirkan sebuah nostalgia betapa sekolah telah menjadi sebuah rutinitas manusia yang harus dilalui.
Tidak peduli apakah seseorang menganggap bahwa bersekolah itu memiliki nilai guna ataukah hanya sebagai rutinitas belaka, nampaknya tidak ada bedanya dengan pelaksanaan Unas yang diadakan pada setiap tahun. Unas seakan-akan hanya sekedar rutinitas yang harus di tempuh bagi siswa didik, guna untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi apabila dinyatakan lulus.
Jika pembelajaran hanya didesain dan dikondisikan untuk memburu angka-angka semu yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan, disadari atau tidak, anak-anak bangsa negeri ini akan mengalami proses degradasi, pembodohan dan pembebalan secara sistematis. Cara berpikir pragmatis akan menjadi pilihan gaya hidup sehingga gagal mengapresiasi budaya proses dalam menggapai cita-cita dan harapan.
Yang lebih menyedihkan, fakta-fakta nilai Unas selama ini menunjukkan, anak-anak berotak cemerlang seringkali merasa terkebiri oleh anak-anak berotak pas-pasan. Siswa yang dalam kesehariannya (nyaris) tak menunjukkan prestasi mengagumkan, justru memperoleh nilai yang jauh lebih baik ketimbang siswa berprestasi menonjol dan berotak brilian.

Sebuah ParanoidKebanyakan para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat yang berpendidikan menilai bahwa pelaksanaan Unas adalah sebuah bentuk kekejaman pendidikan. Hanya sebuah rutinitas yang akan membunuh karakter pendidikan secara perlahan. Bahkan menjadi sebuah paronoid (ketakutan yang luar biasa) bagi siswa.
Selama ini hasil Unas dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Meskipun sejak tahun lalu ada kebijakan baru dengan menambah nilai Ujian Sekolah (Usek) sebagai penentunya. Namun itu sama saja, seolah-olah dengan Unas Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SMP dan SMA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam dalam beberapa hari saja.
Bahkan, Kemendiknas mulai tahun ini mencanangkan kebijakan baru, bahwa hasil Unas SMA/SMK dan sederajat dijadikan sebagai tolok ukur untuk masuk Perguruan Tinggi. Tentunya ini akan menambah ketakutan bagi siswa yang berkeinginan untuk masuk Perguruan Tinggi.
Takut akan tidak lulus dan takut akan tidak diterima di Perguruan Tinggi yang didambakan. Padahal ketidaklulusan siswa dalam Unas bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes atau ujian (false negative).

Sebuah Tawaran SolusiMeskipun demikian, tidak lantas berarti Unas menjadi tidak bermakna sama sekali. Bagaimanapun juga dalam sistem atau proses pendidikan diperlukan evaluasi untuk mengukur mutu serta akuntabilitas penyelenggara pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menjembatani antara mutu dan akuntabilitas pendidikan tanpa mengabaikan proses yang dijalani guru dan siswa.
Di Amerika Serikat tes sejenis Unas memang pernah dilakukan. Bahkan pada tahun 1997, tercatat dunia pendidikan Amerika Serikat menghabiskan dana sebesar US$ 200.000.000 per tahun untuk tes di sekolah-sekolah negeri (Tilaar, 2006). Namun, hasil dari ujian akhir tersebut digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap permasalahan pendidikan nasional dalam rangka menyusun kebijakan pendidikan nasional bukan untuk menentukan kelulusan siswanya.
Idealnya Unas seharusnya hanya digunakan sebagai kepentingan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, sedangkan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada di sekolah. Dengan cara demikian, proses kelulusan akan mampu memotret kompetensi siswa didik secara komprehensif, utuh, dan menyeluruh, baik dari sisi catatan akademis maupun perilaku siswa di sekolah. ***

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India