Kalau kita cermati, memasuki semester akhir, di semua jenjang Sekolah Dasar, Menengah dan Atas disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatu yang bertujuan untuk menyukseskan Unas. Sehingga hanya demi Ujian Nasional sekolah pun memberikan jam tambahan di luar jam sekolah. Semua itu memerlukan energi khusus, baik berupa uang, waktu, maupun tenaga.
Intinya semua tercurah demi lulus Unas. Prosedur dalam menerapkan
Peserta didik dituntut untuk menguasai
materi-materi yang diujikan agar bisa menjawab soal-soal Unas dan lulus
dengan nilai memuaskan, atau minimal lulus meskipun dengan predikat
kurang memuaskan. Tidak cukup itu saja, wali murid-pun rela mengeluarkan
pembiayaan ekstra, dengan memasukkan anaknya ke lembaga Bimbingan
Belajar (Bimbel).
Sebuah
DegradasiDalam dunia pendidikan sekolah berfungsi
sebagai tempat atau lingkungan di mana
aktivitas pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan kalau kita bicara tentang
sekolah sendiri, maka dalam bayangan kita akan menghadirkan sebuah
nostalgia betapa sekolah telah menjadi sebuah rutinitas manusia yang
harus dilalui.
Tidak peduli apakah seseorang
menganggap bahwa bersekolah itu memiliki nilai guna ataukah hanya
sebagai rutinitas belaka, nampaknya tidak ada bedanya dengan pelaksanaan
Unas yang diadakan pada setiap tahun. Unas seakan-akan hanya sekedar
rutinitas yang harus di tempuh bagi siswa didik, guna untuk menempuh
jenjang pendidikan yang lebih tinggi apabila dinyatakan lulus.
Jika pembelajaran hanya didesain dan dikondisikan untuk memburu angka-angka semu yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan, disadari atau tidak,anak -anak
bangsa negeri ini akan mengalami proses degradasi, pembodohan dan
pembebalan secara sistematis. Cara berpikir pragmatis akan menjadi
pilihan gaya hidup sehingga gagal mengapresiasi budaya proses dalam
menggapai cita-cita dan harapan.
Yang lebih menyedihkan,fakta -fakta
nilai Unas selama ini menunjukkan, anak-anak berotak cemerlang
seringkali merasa terkebiri oleh anak-anak berotak pas-pasan. Siswa yang
dalam kesehariannya (nyaris) tak menunjukkan prestasi mengagumkan,
justru memperoleh nilai yang jauh lebih baik ketimbang siswa berprestasi
menonjol dan berotak brilian.
Sebuah ParanoidKebanyakan para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat yang berpendidikan menilai bahwa pelaksanaan Unas adalah sebuah bentuk kekejaman pendidikan. Hanya sebuah rutinitas yang akan membunuh karakter pendidikan secara perlahan. Bahkan menjadi sebuah paronoid (ketakutan yang luar biasa) bagi siswa.
Selama ini hasil Unas dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Meskipun sejak tahun lalu ada kebijakan baru dengan menambah nilai Ujian Sekolah (Usek) sebagai penentunya. Namun itu sama saja, seolah-olah dengan Unas Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SMP dan SMA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam dalam beberapa hari saja.
Bahkan, Kemendiknas mulai tahun ini mencanangkan kebijakan baru, bahwa hasil Unas SMA/SMK dan sederajat dijadikan sebagai tolok ukur untuk masuk Perguruan Tinggi. Tentunya ini akan menambah ketakutan bagi siswa yang berkeinginan untuk masuk Perguruan Tinggi.
Jika pembelajaran hanya didesain dan dikondisikan untuk memburu angka-angka semu yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan, disadari atau tidak,
Yang lebih menyedihkan,
Sebuah ParanoidKebanyakan para ahli pendidikan dan berbagai kalangan masyarakat yang berpendidikan menilai bahwa pelaksanaan Unas adalah sebuah bentuk kekejaman pendidikan. Hanya sebuah rutinitas yang akan membunuh karakter pendidikan secara perlahan. Bahkan menjadi sebuah paronoid (ketakutan yang luar biasa) bagi siswa.
Selama ini hasil Unas dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Meskipun sejak tahun lalu ada kebijakan baru dengan menambah nilai Ujian Sekolah (Usek) sebagai penentunya. Namun itu sama saja, seolah-olah dengan Unas Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SMP dan SMA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam dalam beberapa hari saja.
Bahkan, Kemendiknas mulai tahun ini mencanangkan kebijakan baru, bahwa hasil Unas SMA/SMK dan sederajat dijadikan sebagai tolok ukur untuk masuk Perguruan Tinggi. Tentunya ini akan menambah ketakutan bagi siswa yang berkeinginan untuk masuk Perguruan Tinggi.
Takut akan tidak lulus dan takut akan
tidak diterima di Perguruan Tinggi yang didambakan. Padahal
ketidaklulusan siswa dalam Unas bisa jadi bukan karena faktor
ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor
kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan
ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap
tes atau ujian (false negative).
Sebuah Tawaran SolusiMeskipun demikian, tidak lantas berarti Unas menjadi tidak bermakna sama sekali. Bagaimanapun juga dalam sistem atau proses pendidikan diperlukan evaluasi untuk mengukur
Di
Idealnya Unas seharusnya hanya digunakan sebagai kepentingan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, sedangkan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada di sekolah. Dengan cara demikian, proses kelulusan akan mampu memotret kompetensi siswa didik secara komprehensif, utuh, dan menyeluruh, baik dari sisi catatan akademis maupun perilaku siswa di sekolah. ***
0 komentar:
Posting Komentar