Pintu Gerbang |
Waktu 24 jam dalam sehari semalam yang kita punya, 25% bahkan lebih, kita habiskan di bangku sekolah. Sekolah lah yang bisa merubah pola fikir kita dari kanak-kanak menjadi lebih dewasa.
Pertama kali mendengar nama At-Tanwir ketika saya masih duduk dibangku Madrasah Ibtida’iyah (MI). Saat itu saya sudah menempuh Ujian EbtanasAkhir Tahun, dan bimbang mau melanjutkan sekolah lanjutan di mana. Akhirnya,saya memutuskan untuk daftar sendiri di At-Tanwir, tanpa usaha dan inisiatiforang tua. Melalui perantara kakak kelas yang sudah tahun terakhir di sana,saya meminta untuk dibawakan formulir. Selang beberapa hari, saya pun mendapatkankartu test.
Saat itu sekitar akhir tahun 2003. Saya masih ingat ketika harus meyakinkan orang tua bahwa saya pasti mampu sekolah di At-tanwir. Karena At-Tanwir bagi kebanyakan masyarakat di desa kami terkenal dengan sekolahan yang mahal, banyak membutuhkan biaya. Belum lagi masalah pelajaran, At-Tanwir dikenal dengan sistem pembelajaran hafalan yang sangat ketat. Setiap hari pasti ada saja materi yang harus dihafalkan. Tapi saya yakin, jika dilakukan dengan Ikhlas dan kerja keras pasti akan ada jalan.
Revolusi MI Teleng |
Dengan sabar saya meyakinkan orang tua, terutama ibu. Ibu saya agakpesimis bisa membiayai saya sampai lulus enam tahun di At-Tanwir. Tapi berkatwajah saya yang meyakinkan, beliau mengizinkan, namun dengan beberapa syarat.Syarat yang paling saya ingat adalah saya harus ikhlas dan tidak menggerutu jika tidak diberi uang saku, bersedia naik sepeda pancal setiap hari ke sekolah (jarak sekolah dengan rumah sekitar 10 KM), dan harus bersedia membantupekerjaan orang tua di rumah.
Pertama kali menginjakan kaki di At-Tanwir ketika hari pertamamengikuti test masuk. Saat itu saya bersama 2 teman lain, Imam dan Adi. Pertamamasuk di gerbang pondok bersama para siswa yang sudah berseragam dan berbedgeAt-Tanwir membuat saya tidak sabar ingin merasakan bangku MTs. Rasanya itulah kenangan pertama menjadi calon siswa di sekolah lanjutan. Masuk di area sekolahyang saya lihat pertama kali adalah tulisan besar di atas gedung, AULAAT-TANWIR. Aula inilah yang nantinya banyak digunakan untuk kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa), kumpul menjelang ujian dan ketika ujian hendak selesai,berbagai perlombaan dan terkadang digunakan untuk kegiatan mengaji di BulanRamadan.
Tempat pertama |
Selang antara Test dan pengumuman serta pembagain ruang kelas sekitar 2 minggu. Di At-Tanwir sistem pembagian kelasnya beda denganmayoritas sekolah lain. Saat itu sekitar 500-an lebih siswa baru dibagi menurutjenis kelamin. Putra bergabung dengan kelas putra, demikian juga dengan putri,mereka bergabung dengan kelas putri. Intinya, putra kelas sendiri, putri kelassendiri. Pembagian seperti ini diyakini dapat mengefektifkan belajar karenaputra-putri tidak digabung, sehingga dapat meminimalisir kemaksiatan.
Alhamdulillah, ketika pembagian kelas saya tergabung dalam kelasunggulan, ruang A. Ruang kelas dibagi menurut tingkat kecerdasan siswa. Siswayang tingkat kecerdasannya lebih, dikelompokan sesuai abjad. Ruang A adalahuntuk anak-anak yang unggul. Ruang B untuk yang agak unggul dan begituseterusnya, hingga ruang terakhir. Ruang A1, B1 dan seterusnya untuk anakputra, sedangkan Ruang A2, B2 dan seterusnya untuk anak putri.
Sebelum pembelajaran aktif, siswa baru diberi pengarahan lewatacara MOS (Masa Orientasi Siswa). Selama 3 hari berturut kami siswa-siswi barudibekali pengetahuan tentang seluk beluk sekolah, dibekali segala sesuatumengenai pelajaran, dan lain-lain. Pokoknya, selama tiga hari itu adalah waktuperkenalan.
Kelas 1 MTs saya masih culun. Belum tahu apa-apa. Belum punyabanyak teman. Meskipun demikian saya tetap menikmati. Perlu diketahui bahwakelas 1 dan 2 Mts masuknya siang, antara pukul 12;30 sampai 16;30. Karenajumlah ruang kelasnya tidak memadai, kalau harus masuk pagi semuanya. Denganmasuk siang ini saya manfaatkan untuk membantu orang tua di pagi harinya ataumenyiapkan pelajaran. Dan terkadang main bersama kawan-kawan.
Setiap minggu kami harus menghafalkan mulai dari pelajaran mahfudlot, hadist, tafsir,b.arab, dan lain-lain. Namun saya merasa itu belum seberapa dibanding denganyang harus dihafal ketika belajar di pondok pesantren. Mulai dari hafalannadhom imrity sampai alfiyah dan semacamnya. Saya berkomitmen bahwa tidak adakata tidak bisa, tidak mampu dalam kamus hidup saya.
Kampung Damai |
Muhammad Ali Murtadlo, Alumni At-Tanwir Tahun 2010, saat ini tinggal di UI Depok
1 komentar:
sekarang dimana kang?
Posting Komentar