Member Reguler |
Menjalani
hidup di tempat orang lain memang banyak rintangan. Seperti yang saya rasakan
ketika sudah beberapa bulan melewatkan waktu di Kampung Inggris. Susah senang
pernah saya rasakan.
Senang karena banyak ilmu, pengalaman dan teman yang
didapatkan. Susah karena harus menyiapkan materi dan segala sesuatu untuk
mengajar. Karena semua otak harus diaktifkan.
Rutinitas
yang monoton membuat saya merasa jemu. Apalagi ketika sudah menginjak bulan
ke-empat. Semenjak itu saya sudah tidak lagi mengikuti kelas wajib yang biasa
kami ikuti bersama teman-teman di TC 6. Kami sudah dipisah dan tidak satu
dormitory lagi. Masing-masing sudah diberi tugas untuk mengajar sekaligus
menghandle dormitory. Selain itu juga diwajibkan untuk mengajar program
reguler. Dan semenjak itu pula rasa kekeluargaan kami berkurang karena
intensitas untuk bertemu mulai berkurang.
Launching Media |
Menghandle
camp dan mengajar ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Karena dalam
ketentuan penerimaan beasiswa tidak tertera demikian. Yang ada hanyalah aturan
OJT (On The Job Training) dan di brosur penerimaan tertera tulisan besar “Tanpa
Pengabdian”. Yang ada dalam bayangan saya sebelumnya adalah belajar secara
mendalam tentang segala seluk beluk bahasa inggris guna untuk persiapan saya
nanti melanjutkan study. Eh, ternyata malah berbanding terbalik. Sehingga dalam
hati kecil saya bertanya-tanya “kog seperti pengabdian gini ya”. Namun
demikian, saya berusaha menjalaninya dengan ikhlas. Meskipun di situ kadang
saya merasa sedih.
Free Class |
OJT
ini pun tak berkonsep jelas. Ada semacam kecemburuan sosial di situ. Hanya tiga
orang yang dikirim ke Tasikmalaya saat itu. Selebihnya mengajar di lembaga
sendiri dengan sedikit “dipaksakan”. Bahkan, saya dan tiga teman lain yang dijanjikan OJT di Garut, sampai program ini selesai tak ada konfirmasi. Kecewa? tidak. Itu ibarat kau dijanjikan bakal dibelikan helikopter oleh orang yang bahkan buat beli buku saja tak mampu.
Sebelum kami benar-benar memegang kelas
reguler, kami diwajibkan membuka Free Class (Kelas gratis dan terbuka bagi umum).
Kita membuka kursus sendiri. Mulai mengkonsep pembelajaran, menyebar brosur,
menerima pendaftaran, managemen pelaksanaannya hingga acara perpisahan (farewel
party). Kebetulan saat itu, saya didapuk menjadi ketua pelaksana free class.
Alhamdulillah, free class yang berlangsung dua minggu atau satu periode itu
berjalan lancar. Bahkan waktu perpisahan, acara berlangsung meriah. Kalau kau
penasaran dengan kami, intip di sini http://tc6globalenglish.blogspot.co.id/
Teman-teman
yang dipasrahi menghandle dormitory tidak murni satu-satu. Artinya terkadang
ada dua tutor hingga tiga tutor dalam satu dormitory. Untuk pertama kali
dipisah itu saya tetap bertahan di dormitory lama, yakni Male 1. Itu adalah
pertama kalinya Male 1 ditempati oleh member reguler setelah sebelumnya
dijadikan “Camp Penampungan Robot”.
Saat Tahun Baru 2015 |
Male
1 pada saat itu adalah rumah yang tidak punya ruang tamu atau lebih tepatnya
layaknya rumah kos-kosan. Ada tiga kamar kecil yang berkapasitas tiga orang
perkamar serta satu kamar besar yang bisa menampung dua kali lipatnya. Dua
kamar mandi serta tempat mencuci pakaian berada di sebelah selatan. Atap rumah
yang dilapisi plastik besar serta penuh dengan “serawang” menjadi pemandangan tiap
hari. Bahkan saya sering menatap dan mengimajinasikannya liar menjelang berlayar ke pulau kapuk. Male 1
pada saat itu juga terkenal dengan camp paling rawan kemalingan. Tercatat sudah
dua laptop dan tiga handphone raib digondol maling.
Selama
kurang lebih satu bulan saya berada di Male 1 mendampingi teman-teman dari
Bandung, Jakarta, Madura, Tulungagung, Malang dan Solo. Ada yang menarik dan
terkesan saat periode itu. Orang-orangnya asyik, ramah, lucu dan yang paling
penting adalah rasa kekeluargaan dan respect. Setiap minggu main futsal bareng.
Bahkan yang paling terkesan adalah saat pembuatan jargon camp. “Melone” dipilih
menjadi nama camp yang lebih keren, pronounciation dari Male one dibaca melone.
Selepas Story Telling Competition |
Sebulan
berlalu, saya pindah di camp baru yang belum bernama. Bangunan lantai tiga yang
mirip asrama mahasiswa di kampus. Membernya baru-baru, rata-rata mahasiswa yang
sedang liburan. Ada sekitar tujuh puluhan member yang berbeda usia, latar
belakang dan tentunya beda daerah asal. Camp baru itu akhirnya kami beri nama
Bikinibottom. Agak seksi memang tapi tak masalah. Nama itu terinspirasi dari
nama kampung di bawah lautnya Spongebob. Selama satu bulan pula saya menemani
mereka memperdalam bahasa inggris.Banyak hal menarik yang kami ukir. Salah satunya adalah agenda futsal setiap minggu. Itu yang sedikit mengusir rasa jemu.
Hingga akhirnya saya dipindah lagi ke dormitory baru, Saigon. Waktu terus berjalan, hari hari yang saya lalui di pare menjadi semakin menjemukan ketika harus berjibaku dengan rutinitas yang membosankan. Pagi jam 5 bangun, sholat, kemudian program, begitu seterusnya. Bahkan selama saya berada di Saigon rasa jemu itu berubah menjadi tak nyaman. Entahlah, yang jelas sejak saat itu saya seperti merasa terkekang dalam rutinitas yang menjemukan. (to be continued).
Tim Futsal The Bikinibottom |
Hingga akhirnya saya dipindah lagi ke dormitory baru, Saigon. Waktu terus berjalan, hari hari yang saya lalui di pare menjadi semakin menjemukan ketika harus berjibaku dengan rutinitas yang membosankan. Pagi jam 5 bangun, sholat, kemudian program, begitu seterusnya. Bahkan selama saya berada di Saigon rasa jemu itu berubah menjadi tak nyaman. Entahlah, yang jelas sejak saat itu saya seperti merasa terkekang dalam rutinitas yang menjemukan. (to be continued).
1 komentar:
Lagi Blogwalking dan nemu Artikel ini udah baca Part 1nya kak, Part 3 kapan release? Btw udah 2020 sih, kalau bisa episode dapetin Teaching Clinic Scholarship dong Bang. Terima Kasih :)
Posting Komentar