Meskipun bukan akhir pekan tapi waktu itu cukup mengesankan. Saat itu adalah pengalaman pertama saya mengunjungi/Ziarah Makam Para Wali di Jawa Tengah.
Saya berziarah kesana bersama rombongan dari teman-teman kakak saya STIT UW Jombang.
Berangkat dari jombang pukul 08:00 WIB. Dengan mengendarai bus, kami berangkat menuju ke beberapa tempat tujuan. Tujuan pertama Sunan Muria. Sebelum sampai disana, kami singgah di pantai terminal kembang putih Tuban. Suasananya lumayan menakjubkan, namun sayang kurang pengelolaan. Sembari beristirahat siang, kami menikmati panorama pantai.
Perjalanan dilanjutkan. Kali ini kami bernasib sial. Bus empat kali mengalami pemberhentian (mogok). Mula-mula hanya terjadi, kebocoran AC, tapi merembet ke mesin penggeraknya. Tidak ada alasan yang jelas dari supir dan kernet bus. Ketika saya tanya, Mereka hanya mengatakan kalau bis masih bisa jalan. Namun di Kecamatan Jenu, tepatnya di kawasan Ponpes. Mambaul Futuh bus benar-benar tidak bisa jalan. Terpaksa, kami harus menunggu beberapa jam untuk kedatangan bus pengganti dari Jombang. Hampir 5 jam kami terdampar di sana.
Menurut banyak celotehan dari panitia dan peserta lomba, mogoknya bus dikarenakan tadi saat melewati Bonang, tidak mampir dulu di makam sunan Bonang. Maka, mbah sunan Bonang “melerai”. Terlepas dari benar tidaknya hal itu, saya menganggapnya positif aja. Mungkin dengan berhentinya kami di jenu, memberikan rizki tersendiri bagi warga jenu.
Selepas maghrib, bus pengganti baru datang. Bus pengganti tidak sebagus bus sebelumnya. Tidak ber-AC, tidak tersedia kamar kecil, dan kalau hujan turun atapnya bocor. Saya yang pas kebagian ketidakenakan yang terakhir, saat hujan turun lebat, air menetes di baju. Wah, malang benar nasib saya. Tapi tidak masalah, saya nikmati saja, perjalanan ini.
Perjalanan menuju Muria, Kudus harus melewati Kabupaten Lamongan, Tuban, Rembang, Pati, baru sampai di Kabupaten Kudus. Sampai di Kudus tengah malam. Maka rombongan singgah dan bermalam di masjid kecamatan Ndawe. Baru, setelah sholat subuh langsung menuju muria. Di Masjid kami diterima dengan senang hati, Ta’mir masjid mempersilahkan dengan menggelarkan karpet untuk kami tidur. Ibu-ibu dan kaum perempuan ditempatkan di dalam, sedangkan kaum lelaki di serambi.
Pagi-pagi sekali kami harus bangun. Rupanya warga sini (ndawe) ada acara Mauludan. Dengan membaca sholawat nabi bersama-sama sebelum shubuh, suasana dingin menjadi hangat. Saya ikut bergabung. Meskipun sebelumnya bingung, sebenarnya ini sudah manjing waktu subuh atau belum. Karena sebelumnya saya sempat mendengar adzan. Ternyata adzan pertama itu bukan adzan shubuh melainkan adzan untuk membangunkan sholat malam.
Sekitar pukul 05;30 kami sampai di kawasan Gunung Muria. Suasananya menakjubkan. Saya melihat pemandangan dari dalam bus begitu memukau. Di bawah gunung penuh dengan hamparan alam yang begitu indah. Dalam hati saya bergumam “SubhanaAllah” beberapa kali.
Untuk sampai di makam Sunan Muria kami harus naik gunung. Bisa dengan jalan kaki melewati lorong-lorong tangga atau naik ojek. Kebanyakan rombongan, pada naik ojek. Tapi saya memilih yang pertama. Dengan begitu semangat saya menaiki tangga demi tangga. Tidak terasa, sekitar 25 Menit saya sampai di pusara Sunan Muria. Meskipun naiknya begitu menanjak dan licin, mampu saya taklukan. Capek sih iya, tapi dengan penuh semangat saya mampu sampai di atas.
Tidak begitu lama kami di dalam makam. Hanya sekitar 10 Menit. Suasana lorong menuju makam sudah dibangun megah. Lantainya sudah berkeramik, jadi peziarah harus diwajibkan melepas alas kaki dan dibawa, karena pintu keluarnya beda. Ini menjadi ajang rizki bagi penjual kresek untuk tempat sandal atau sepatu. Bayangkan ! Kresek hitam satu buah, dibandrol Rp. 500. Bisa menjual 100 kresek maka uang Rp. 50.000 masuk kantong.
Selain jalannya terjal, rupanya cuaca tak bersahabat. Pagi-pagi sudah turun hujan dengan lebat. Ini juga menjadi ladang rizki bagi penjual mantel (Jas Hujan) dari plastic. Satu mantel seharga 5.000. Bisa menjual 20 Mantel maka Rp. 100 mampu diraup. Saya memilih tidak membeli dan menerjang hujan dengan berlari.
Pukul 08;00 melanjutkan perjalanan. Tujuan kedua adalah makam Sunan Kudus. Untuk sampai disana kira-kira satu jam perjalanan turun dari gunung muria. Sampai di Kudus pukul 09:00. Kami harus jalan dari tempat parkiran menuju makam Sunan Kudus. Sebenarnya ada beberapa transportasi pilihan. Ada becak, ojek, len atau naik dokar. Tapi saya memilih jalan kaki. Di kudus saya dan rombongan menikmati panorama menara kudus. Tanpa disuruh, kami langsung foto-foto dengan Background menara kudus. Kalau dulu, hanya bisa menyaksikan menara kudus dari gambar kalender, hari ini saya bisa melihat langsung, bahkan duduk di pondasi bawah.
Setelah puas dengan menara kudus. Rombongan masuk di makam Sunan Kudus. Ada yang unik, beberapa rombongan terlihat menyentuh pintu gerbang bagian atas. Tanpa tau apa artinya banyak orang yang melakukan. Saya pun demikian, ikut-ikutan menyentuh pintu. Setelah dari makam saya duduk di masjid Al-Aqsho sebelah menara. Konon, pintu gerbang masjid ini adalah pindahan dari Kerajaan Majapahit.
Rombongan banyak menggunakan jasa becak untuk kembali ke tempat parkir bus. Tapi saya tidak. Dengan alasan ingin menjelajahi dan menikmati kudus, saya memilih jalan kaki lagi. Unik dan menarik menyaksikan rumah-rumah di kawasan kudus. Banyak rumah-rumah klasik, dengan design kuno. Itu terlihat dari pintu gerbang maupun pintu rumah yang terbuat dari kayu yang banyak ukirannya. Sambil menikmati, martabak telur puyuh saya menyaksikan pemandangan langka ini. Bila dibandingkan dengan Surabaya, maka jauh berbeda. Di Surabaya berdiri kokoh gedung-gedung pencakar langit.
Tujuan selanjutnya adalah makam Sunan Kalijaga, di Kadilangu, Demak. Sampai disana tengah hari. Kami langsung menuju makam Sunan Kalijaga. Berbeda dengan makam sunan-sunan sebelumnya, di Kalijaga sudah terbangun rapi. Lorong menuju ke makam layaknya stasiun. Karena kiri-kanan terdapat banyak penjual oleh-oleh yang standnya tersusun rapi.
Masjid agung demak menjadi tujuan ziarah kami terakhir. Untuk sampai di Masjid Agung Demak kami pun harus singgah dulu di tempat parker bus yang agak jauh dari masjid. Ini pengalaman pertama saya naik dokar, setelah beberapa tahun tidak pernah naik. Seingat saya umur balita dulu saya sering diajak ibuk ke pasar naik dokar.
Sebelum ke Makam Sultan Demak (Raden patah), saya merebahkan badan di Masjid agung. Sholat dluhur dan asyar sudah saya jama’ Qoshor di Mushola Makam Sunan Kalijaga tadi. Ingin naik di masjid lantai dua tapi rupanya tangga menuju kesana dikunci. Saya hanya menyaksikan 4 tiang hasil pembangunan Sunan ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Nama ke-Empat wali itu terpasang di tiap tiang. Tiang yang besarnya hampir serangkulan dua orang dewasa itu mempunyai daya tarik tersendiri bagi peziarah. Ingin juga masuk ke Museum Masjid Agung Demak, namun ternyata tutup.
Sebelum kembali di Parkiran bus, saya menikmati hijaunya alun-alun kota Demak. Inilah yang merupakan cikal-bakal arsitektur di setiap kabupaten/kota. Yang mana letak masjid berada di sebelah baratnya alun-alun dan pusat pemerintahan berada di sebelah timur.
Sambil jalan kaki, saya menjumpai rekan-rekan IPNU PC Demak yang sedang menyelenggarakan Acara Maulid Nabi di kantor PCNU Demak. Saya sempat, bersalaman dengan mereka dan berbincang-bincang sebentar. Saya memperkenalkan diri, kalau saya adalah pengurus IPNU juga, di PKPT. IAIN Sunan Ampel Surabaya. Tidak sempat masuk di tempat acara, saya harus segera sampai di bus, karena rombongan pasti sudah menunggu lantaran mereka banyak yang naik becak/ojek.
Masjid Agung Demak adalah tujuan terakhir kami dalam perjalanan ziarah kali ini. Pukul 17:00 kami langsung pulang ke Jombang dengan melewati arah sebaliknya. Demak, kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan (Babat), Jombang menjadi rute perjalanan pulang kami. Sepanjang Perjalanan dari Demak ke Kudus diguyur hujan, saya terpaksa bertahan dengan kejatuhan air hujan. Akhirnya sampai di Jombang dini hari. Benar-benar melelahkan !!!
Muhammad Ali Murtadlo
Jombang, 25 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar