Oleh: Muhammad
Ali Murtadlo*)
Mungkin masih banyak
yang belum mengerti bahwa setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari
Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Namun, tidak jarang pula yang mengetahui bahwa
tanggal tersebut diperingati sebagai hari HAM sedunia. Setidaknya, dengan
membaca tulisan ini maka anda akan memahami.
Hak
Asasi Manusia merupakan hak-hak alami yang dimiliki oleh manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum
positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Jadi,
HAM adalah anugerah Tuhan kepada manusia dan menjadi hak paten bagi setiap
individu.
Secara Internasional, Hak Asasi Manusia (Human Rights) diatur dalam Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (The
High Commissioner of Human Rights) dibawah naungan Organisasi dunia, PBB.
Di Indonesia sendiri badan khusus yang menangani HAM adalah Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) yang termasuk Lembaga Independen Negara.
Melihat fakta yang ada, sampai sejauh
ini praktik penegakan HAM Indonesia masih belum terlaksana dengan baik. Meskipun
sudah terdapat legislasi yang menjamin perlindungan HAM, namun masih banyak
diskriminasi dan keberpihakan secara negatif oleh aparat hukum dan pemerintah.
Mulai dari tragedi Tanjung Priok (1984) yang
menewaskan banyak korban, tragedi pelanggaran HAM di Poso, Ambon, hingga kasus
terbunuhnya tokoh pejuang HAM, Munir, dan yang baru-baru ini adalah maraknya protes atas film pelecehan nabi Muhammad "Ennounce of muslim" yang katanya atas nama kebebesan berekspresi, dan masih banyak kasus pelanggaran HAM
lainnya.
Terlepas dari sederetan kasus
pelanggaran HAM yang telah terjadi di Tanah Air yang mungkin tidak akan pernah
tuntas untuk diusut. Sekarang kita lebih ke memaknai arti Hak Asasi Manusia
dalam perspektif Islam. Dalam Islam, HAM bukan diartikan sebagai hak manusia
untuk melakukan kebebasan berekspresi, namun lebih ke pemenuhan hak-hak sebagai
manusia secara bebas dan merdeka. Akan tetapi, bebas dan merdeka disini berarti
masih dalam koridor yang wajar-wajar saja, tanpa melewati batas-batas kebebasan
yang ada. Dalam arti, manusia boleh melakukan segala sesuatu yang dikehendaki, namun
juga harus tetap memperhatikan sejauh mana sesuatu itu diperbolehkan.
Apa itu Liberalisme?
Kata Liberalisme berakar dari bahasa
Latin, liber, yang artinya “bebas” atau “merdeka”. Hingga penghujung
abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka. Pakar
sejarah Barat biasanya menunjuk motto Revolusi Perancis (1789): kebebasan,
kesetaraan dan persaudaraan (liberté, égalité, et fraternité) sebagai
piagam agung (magna charta) liberalisme modern.
Liberalisme
juga bisa diartikan sebagai kebebasan untuk betindak, kebebasan untuk berbeda
pendapat, kebebasan untuk memeluk agama, dan berbagai bentuk kebebasan yang
berkaitan dengan terpenuhinya tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) dan
demokratisasi.
Prinsip liberalisme yang paling
mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas adalah bertentangan dengan hak asasi,
kebebasan dan harga diri manusia. Otoritas yang dimaksud disini yakni otoritas
yang akar, aturan, ukuran, dan ketetapannya ada di luar dirinya. Di sini kita
mencium bau faham sophisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang
mengajarkan bahwa "manusia adalah ukuran dari segalanya", sebuah
doktrin yang kemudian diberhalakan oleh para penganut teori Nihilisme. Teori
yang percaya pada kenyataan bahwa semua yang dilakukan manusia adalah sia-sia.
Dalam politik, liberalisme dimaknai
sebagai sistem dimana Negara tidak boleh mencampuri "privacy"
warga-negara, Negara tidak boleh mencampuri urusan moral individu. Sementara di
bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas di mana intervensi
pemerintah dalam perekonomian tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini
liberalisme identik dengan kapitalisme.
Di wilayah sosial, liberalisme
berarti emansipasi perempuan, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial
terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Perempuan dibiarkan menentukan
nasibnya sendiri, tak seorang pun berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya
untuk melakukan sesuatu. Ini yang kemudian melahirkan paham kebebasan yang
sebebas-bebasnya bagi kaum hawa.
Liberalisme dalam Islam
Dalam urusan agama, liberalisme
mereduksi agama menjadi urusan privat. Prinsip amar ma'ruf nahi mungkar
bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat
liberalisme. Oleh karena itu, kaum liberal beranggapan asal tidak merugikan
pihak lain, orang yang berzina, berseks-bebas, jika dilakukan atas dasar suka
sama suka, maka dianggap sah-sah saja dan tidak boleh dihukum. Anggapan semacam
ini yang dinilai sebagai kebebasan yang keblabasan.
Di dunia Islam virus liberalisme
juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai
"pembaharu". Seperti: Rifa`ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin
(1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan
(1817-1898 M) dari India.
Pada abad ke-duapuluh muncul
pemikir-pemikir islam yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman,
Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammad Shahrour dan
pengikut-pengikutnya di Indonesia yang bersekongkol dalam wadah yang menamakan
dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL).
Benih-benih
liberalisme Islam sebenarnya sudah lama tertanam di Indonesia. Pada tahun 60-an
Greg Balton telah membahas gagasan Islam liberal di Indonesia. Berawal dari
penelitian disertasi Greg Balton, kemudian bertebarlah buku-buku wacana gerakan
pemikiran umat Islam di Indonesia. Hingga akhirnya muncullah JIL (Jaringan
Islam Liberal) dibawah naungan Ulil Abshor Abdalla dkk, yang pada pokoknya mengajarkan liberalisme yang dibungkus oleh kemasan
Islami.
Pemikiran dan pesan-pesan yang ditawarkan para tokoh liberal itu
sebenarnya adalah mengajarkan ajaran Islam yang harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Al-Qur'an dan Hadits yang kemudian dikritisi dan
ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya.
Sehingga pada akhirnya melahirkan ajaran Islam yang menyimpang dari konsep yang
sejatinya.
Kesimpulannya sekarang adalah bahwa Hak Asasi Manusia semata-mata
adalah hak yang dianugerahkan oleh Allah untuk mentaati semua aturan-aturan
yang sudah ditetapkan-Nya melalui syariat agama, bukan hak untuk merubah
konsep-konsep agama dengan menafsirkan konsep tersebut dengan sebebas-bebasnya.
Memang, zaman sekarang sudah tidak sama lagi dengan zaman terdahulu, namun
konsep Islam tetaplah relevan walaupun zaman telah mengalami perubahan. Yang
terpenting adalah jangan mudah terpengaruh dengan konsep baru yang ditawarkan,
tetaplah berpegang teguh dengan keyakinan awal, yaitu islam berhaluan ASWAJA.
Waallahu a’lam bishowab !
*)Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi, Fakultas Syariah Jurusan
Ahwalus Syakhsiyah (AS/III) IAIN Sunan Ampel Surabaya.