Tanpa kita sadari ternyata nyontek merupakan praktek dari academic
dishonesty (ketidakjujuran akademis). Praktik nyontek saat ujian sudah
menjadi rahasia umum. Hal itu hampir dilakukan setiap menjelang ujian, baik
ujian formal maupun ujian nonformal. Seperti menjelang UTS, UAS, test
sertifikasi guru, test masuk perguruan tinggi dan test-test yang lain.
Nyontek tidak hanya
dilakukan oleh siswa pada jenjang pendidikan dasar, menengah ataupun jenjang
atas, akan tetapi budaya nyontek juga telah menjangkiti mahasiswa yang ada di
perguruan tinggi, bahkan nyontekpun bisa dilakukan oleh orang yang telah
berpredikat guru atau dosen.
Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari nyontek bukan hal yang
aneh, sudah biasa, bahkan kita harus nyontek kalau mau kerja yang benar. Ketika
kita mau menulis artikel atau makalah atau buku teks, diakui atau tidak, pasti
selalu mencontek. Ketika kita menyusun tugas makalah, di meja, di kos-kosan, pasti
bertebaran buku-buku referensi untuk kita contek. Sekarang malah jauh lebih
gampang. Tinggal klik profesor Google, maka semua pertanyaan sudah muncul
jawaban. Sungguh itu cara instan yang menyenangkan namun memprihatinkan.
Perilaku ketidakjujuran akademis ini telah banyak terjadi di dalam
lingkup pendidikan, mulai dari lingkup sekolah dasar sampai perguruan tinggi,
dengan kadar pelanggaran yang berbeda. Pada masa kini, dalam lingkup akademik,
perilaku ketidakjujuran akademis seperti ini dipandang sebagai perilaku yang
wajar dan biasa saja.
Nyontek = Bohong
Nyontek identik dengan perilaku ketidakjujuran. Kejujuran yang
seharusnya dipegang teguh kini telah luntur. Terbawa oleh budaya yang begitu
mesra bersenggama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung. Mengalir
menjadi sebuah kebiasaan yang sebenarnya harus kita lawan. Lawan dengan
keyakinan bahwa yang jujur pasti “mujur” bukan malah menjadi ‘ajur”.
Sebenarnya kejujuran itu erat kaitannya dengan kebenaran dan
moralitas. Bersikap jujur merupakan salah satu tanda kualitas moral seseorang.
Dengan menjadi seorang pribadi yang berkualitas, kita mampu membangun sebuah
masyarakat ideal yang lebih otentik dan khas sebagai manusia yang manusiawi.
Socrates mengatakan, jika seseorang sungguh-sungguh mengerti bahwa
perilaku mereka itu keliru, mereka tidak akan memilihnya. Seseorang itu akan
semakin jauh dari kebenaran jika ia tidak menyadari bahwa perilakunya itu
sesungguhnya keliru. Kesadaran diri bahwa setiap manusia bisa salah dan
mengakuinya merupakan langkah awal bertumbuhnya nilai kejujuran dalam diri
seseorang.
Sinonim dari ketidakjujuran adalah kebohongan. Bohong, kebohongan
dan pembohongan menjadi satu kesatuan dan telah menjadi bagian dari hidup
manusia. Tak ada larangan yang begitu sering dilanggar seperti larangan jangan
berbohong. Di dunia ini ada manusia yang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak
berselingkuh, tetapi tak pernah ada manusia yang tidak berdusta atau berbohong.
Maka, kata novelis dan esais Jean Paul, bohong adalah kanker ganas
di bibir hati terdalam manusia. Kata penyair Heinrich Heine, kebohongan bahkan
bisa menyelip ke dalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan
penipuan menjadi nikmat dan manis. Kebohongan bisa menyelip ke mana-mana,
apalagi ke dalam dunia pendidikan. Begitu mengentalnya praktik plagiasi,
menyontek, instanisasi (mengerjakan tugas siap saji) dikalangan mahasiswa
maupun dosen. Itulah yang sesungguhnya kita alami sekarang ini.
Pendidikan kita memang sedang bermantelkan kebohongan. Meminjam
kata-kata sutradara teater dan esais di Paris dan Berlin, Benjamin Korn,
pendidikan kita bagaikan mesin yang olinya adalah kebohongan. Dalam pendidikan
macam ini, para akademisi tidak lagi menghargai proses, tetapi hanya bagaimana
menyelesaikan tugas dengan cepat, tepat dan benar. Caranya dengan mempraktikkan
kebohongan.
Kita diseret untuk hidup dalam sistem kebohongan. Kita pun tertipu
dan terjerat total oleh kebohongan itu sampai kita seakan tak dapat lagi
keluar. Kita jengkel, tetapi tak tahu mana jalan keluar. Lama-lama kita juga
terninabobokkan oleh kebohongan itu. Itulah mungkin maksud Henrich Heine ketika
ia bilang, ”Penipuan itu manis, tetapi ketertipuan lebih manis lagi rasanya.”
Kebohongan
memang sulit diberantas. Filsuf Imannuel Kant mengibaratkan kebohongan bagaikan
kayu bengkok, tidak mungkin ditukangi untuk diluruskan. Kalau
demikian, mestikah kita membiarkan saja kebohongan? Sama sekali tidak. Sebab,
kata Kant, pembohong dan kebohongannya telah melukai, menistakan, dan
meniadakan martabat manusia.
Bohong = Induk Dosa
Prof Dr Hamka, Guru
bangsa kita, telah mengulas habis tentang kebohongan dalam bukunya, Bohong
di Dunia (cetakan III, 1971). Hamka mengulas apa itu kebohongan; bagaimana
sikap agama-agama Nasrani, Yahudi, dan Islam terhadap kebohongan.
Dalam pengantar
buku tersebut, Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dusta adalah ibu dari
segala dosa.” Hamka prihatin, betapa pada waktu itu kebohongan sudah merajalela
dan betapa karena kebohongan, bangsa ini tetap melarat dan tidak bisa maju.
Menurut Hamka,
pada fitrahnya, manusia sesungguhnya adalah benar dan jujur. Suara hati yang
asli adalah jujur dan tidak mau berbohong. Keadaan lain yang datang tiba-tiba
memaksa manusia menempuh jalan bohong. Seperti halnya menyontek saat ujian.
Realitas ini sungguh memprihatinkan sekaligus cermin atas krisis
moral yang melanda bangsa, khususnya kalangan akademisi. Menyontek yang
merupakan salah satu bentuk sikap anti kejujuran untuk melindungi kepentingan
pribadi, kelompok, golongan tidak hanya lazim dilakukan oleh aparatur Negara,
tapi sudah mengakar sampai pada ranah pendidikan. Sudah saatnya kita sebagai
kaum intelektual untuk membendung segala macam kebohongan termasuk kebohongan
akademis khususnya pada saat ujian.
Nilai
akhir belajar memang penting, tetapi proses pembelajaran jauh lebih penting.
Nilai tidak diukur berdasarkan angka-angka pragmatis melainkan kejujuran dan
pribadi yang berkarakterlah yang menjadi
barometer berhasil tidaknya seseorang. Kita harus yakin bahwa orang yang
menghargai proses akan menjadi pribadi berkualitas, unggul dan dapat
dibanggakan