Kesaktian Pancasila yang Hilang
Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Pancasila tidak terlahir secara sistematis dan terencana. Pancasila sesungguhnya lahir dalam kondisi yang tergesa-gesa karena tuntutan waktu saat itu. Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan BPUPKI, Ir Soekarno mengatakan bahwa dasar filosofi itu tidak bisa dibicarakan dan dirancang dengan sistematis, komprehensif dan rumit.
Menurutnya, bila dasar filosofis berdirinya suatu Negara merdeka harus dipikirkan dengan matang dan sistematis, dalam kurung jelimet lebih dulu, maka bangsa itu sesungguhnya tidak akan pernah mencapai kemerdekaannya. Wawan Tunggul Alam (2001) memberikan pernyataan bahwa merdeka terlebih dahulu sebagai jembatan emas, di seberang jembatan emas kemerdekaan itulah baru masyarakat ini disempurnakan.
Stanley Benn (1967) memberikan pandangan ada lima kriteria yang bisa digunakan untuk menentukan kenyataan suatu bangsa. Pertama, adanya kesatuan organisasi politik yang disebut ‘Negara’ yang memiliki hukum dan sebagai badan pemberi hukum. Kedua, kesatuan bangsa didasarkan pada kesamaan bahasa dan budaya. Ketiga, kesatuan bangsa didasarkan pada keterikatan masyarakat pada wilayah tertentu, yaitu tanah air. Keempat, kesatuan bangsa didasarkan pada pewarisan sejarah yang sama. Kelima, kesatuan bangsa didasarkan pada cita-cita bersama. Ada cita-cita positif untuk meniadakan penjajahan atas dirinya dan cita-cita untuk menghadirkan kesejahteraan bagi bangsa itu agar tidak dijajah lagi.
Kriteria yang diberikan oleh Benn di atas telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia, walaupun masih ada beberapa pihak yang menyuarakan tuntutan pelurusan sejarah bangsa ini. Pancasila dalam pandangan penulis, sejalan dengan perspektif Benn, yakni adanya cita-cita positif yang tetap menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bersatu sampai saat ini.
Apabila mencermati apa yang disampaikan oleh Ir. Soekarno di atas. Ada semacam kejujuran epistimologis bahwa perumusan Pancasila sesungguhnya baru dimulai beberapa saat menjelang diproklamasikan kemerdekaan Indonesia. “Ketergesa-gesaan” karena tuntutan waktu itu menjadikan Pancasila hanya dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup (Weltanschauung) bukan sistem pengetahuan yang sistematis. Sebagai falsafah hidup, tentu saja Pancasila tidak bisa lagi diganggu gugat, tetapi masih bisa dikritisi dan didalami terus menerus maknanya guna pencarian ide-ide kreatif dalam membangun bangsa sesuai tuntutan zaman.
Selalu saja tanggal 1 Oktober menjadi peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Hal ini tidak bisa lepas kaitannya dengan peristiwa ‘G30S/PKI’. Ketika tuntutan zaman telah berubah, saat itu kesaktian Pancasila dirongrong oleh orang-orang Komunis. Terbukti Pancasila mampu mempertahankan kesaktiannya dan tetap menjadi garda depan sebagai dasar Negara.
Indonesia saat ini memang sedang ‘sedikit’ sakit. Dirongrong dari dalam oleh masalah yang ditimbulkan anak bangsa sendiri, dan dari luar oleh ancaman bangsa lain. Mereka yang dikategorikan sebagai koruptor, perampok, pengacau keamanan, mafia pajak, mafia hukum dan peradilan, dan lain sebagainya adalah sederetan rongrongan dari dalam. Sengketa tapal batas negara, perlakuan terhadap tenaga kerja di negara lain adalah bentuk-bentuk nyata penggerogotan dari luar. Tuntutan zaman inilah yang menuntut bangsa Indonesia harus bisa bertahan dan tidak boleh kalah walaupun telah digerogoti sedemikian rupa.
Dalam upaya bertahan untuk tetap menjadi bangsa itu, kita kadang lupa akan Pancasila. Jika kita melihat situasi saat ini yang terjadi di Indonesia, ketika sikap para pemimpin bangsa cenderung lebih merugikan rakyat. Para pemimpin bangsa yang seharusnya memikirkan nasib rakyatnya malah memikirkan perutnya (korupsi). Kemakmuran memang muncul, tetapi keadilan yang lebih prinsip dari kemakmuran itu belum terwujud. Kemakmuran hanya menjadi monopoli pejabat dan segelintir kroni-kroni pejabat yang rakus dengan berbagai modus korupsinya. Sementara masyarakat yang sepantasnya menikmati keadilan itu, terampas haknya karena ulah para koruptor. Menelaah pada realitas tersebut, pantaskah Pancasila masih dikatakan sakti?
Dalam pendekatan epistemologi pragmatis, suatu gagasan atau teori itu benar apabila dapat dikerjakan, dilakukan, dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari guna mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Apabila gagasan atau teori itu tidak bermanfaat dalam upaya mengatasi masalah, maka kebenaran gagasan itu dapat dipertanyakan, dikritisi, dibongkar lagi. Atas dasar pendekatan itu, apakah gagasan-gagasan dalam Pancasila dapat diterima sebagai sesuatu yang benar karena dapat dikerjakan, dilakukan, dipraktekkan sebagai solusi terhadap masalah-masalah bangsa?
Memang, dalam sejarahnya, Pancasila disusun dengan tergesa-gesa. Namun dalam perjalanan hidup berbangsa, cita-cita positif itu telah dimatangkan oleh masalah demi masalah yang dihadapi bangsa ini. Sudah saatnya bangsa ini memperluas pemikiran tentang arti kesaktian Pancasila yang tidak sekedar sakti terhadap rongrongan ideologi lain, tetapi juga sakti dalam mengatasi masalah konflik keagamaan, konflik kemanusiaan, terorisme, kemiskinan, dan masalah yang paling krusial yakni korupsi. sudah saatnya bangsa ini membuktikan bahwa Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah hidup harus benar-benar mampu menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang ada. Pancasila harus kembali menjadi sumber segala pengetahuan bagi upaya mempertahankan bangsa indonesia sebagai bangsa yang bermartabat. Semoga bisa terwujud ! Selamat Hari Kesaktian Pancasila.
*)dimuat di Radar Surabaya, Edisi, Sabtu 01 Oktober 2011 M
0 komentar:
Posting Komentar