Tidak lama lagi umat islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha. Idul Adha adalah hari penuh kemenangan besar. Dalam hari yang dirayakan kaum muslimin seluruh dunia itu terkandung nilai kepatuhan dan keikhlasan saat menjalankan perintah Allah SWT serta mengandung makna sosial yang tinggi.
Idul Adha merupakan wujud keikhlasan yang tidak tertandingi. Hari itu menjadi salah satu monumen terbesar umat manusia untuk menandai bahwa dalam membuktikan kepatuhan kepada Allah SWT, manusia harus ikhlas merelakan apapun yang paling berharga dalam hidup. Termasuk merelakan untuk berbagi kepada sesama.
Berbicara tentang Idul Adha tentu fikiran kita mengarah pada pelaksanan kurban (qurban). Ibadah ini disinyalir dalam Alqur-an dan Hadist sebagai bukti kepatuhan Nabi Ibrahim a.s akan perintah Tuhan-Nya untuk menyembelih putra tercintanya Ismail a.s.
Dekat dengan Allah, Dekat dengan Sesama
Dalam bahasa Arab, kurban (qurban) memiliki akar kata yang sama dengan qarib yang artinya 'dekat'. Dari sanalah istilah 'sahabat karib' dalam bahasa Indonesia berasal. Dalam konteks ini, kita membaca kurban sebagai usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mendekatkan diri dengan sesama manusia.
Pakar tafsir kontemporer, Abdullah Yusuf Ali dalam masterpicenya The Holy Qur’an; Translation and commentary, menjelaskan bahwa ibadah kurban memiliki makna spiritual dan dampak sosial yang tinggi. Kurban menjadi ungkapan kasih sayang, cinta dan simpati mereka yang berpunya kepada kaum papa. Kurban ini tidak sama dengan upacara persembahan agama-agama lain. Hewan kurban tidak kemudian dibuang dalam altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di sungai, tetapi daging kurban dinikmati bersama dengan orang-orang miskin di sekitarnya.
Ulama besar Imam Al Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan kita semua bahwa penyembelihan hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat kehewanan manusia. Oleh karena itu, kurban semestinya bisa pula mempertajam kepekaan dan tanggungjawab sosial (social responsibility). Dengan menyisihkan sebagian pendapatan untuk berkurban diharapkan timbul rasa kebersamaan di masyarakat.
Kurban merupakan tindakan praksis sosial dari tauhid. Tuntunan kurban menggambarkan betapa luas dan beragam jalan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya dengan cara sangat personal, yaitu berupa zikir dan shalat tahajud di keheningan malam. Tetapi harus ada juga tindakan nyata berupa penyerahan sebagian harta untuk dibelikan hewan kurban yang kemudian dibagikan kepada saudara kita yang membutuhkan. Keduanya sama pentingnya, sebagaimana dikiaskan dalam gerakan shalat, yang dimulai dengan mengagungkan nama Allah (takbiratulihram) dan dipungkasi dengan memberi salam menengok ke kanan dan kiri.
Mendekatkan diri kepada sesama manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan fondasi untuk menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Islam akan menjadi rahmat apabila Islam mampu mewujudkan kedamaian dan kerukunan hidup berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, jika Islam yang hadir adalah Islam yang tidak dekat kepada sesama manusia, baik dalam usaha memperbaiki hidup maupun menjaga hidup bersama yang damai, kita masih belum komprehensif dalam mewujudkan misi dasar kita sebagai umat Islam.
Saya tertarik terhadap isi khutbah Shalat Idul Adha 1429 H yang disampaikan H.A.M.Romli Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Banten di alun-alun Kota Serang pada 8 Desember 2008 M. Ditegaskan bahwa lebih baik umat muslim memperhatikan warga miskin serta memperbaiki sarana ibadah dan pendidikan yang rusak, dari pada pergi haji dan umrah berkali-kali. Ada kecenderungan umat Islam ingin berhaji berulang kali, sementara di sekitar tempat tinggalnya banyak masalah kehidupan yang perlu segera diatasi. Sikap seperti itu dinilainya sebagai tidak mencontoh Nabi Muhammad yang hanya satu kali berhaji walaupun ada kesempatan berkali-kali (Tempointeraktif.com 8/12/2008). Isi ceramah Romli tersebut perlu dihayati dengan hati jernih karena disitulah letak hakekat perayaan Idul Adha, yaitu saling berbagi.
Membagikan daging kurban kepada kaum miskin hanyalah salah satu wujud harfiahnya, karena setelah daging kurban habis dikonsumsi, orang miskin kembali lagi ke habitatnya semula. Ada bentuk kepedulian sosial yang sifatnya lebih abadi. Hasil penelitian sebuah lembaga pemerintahan Arab Saudi menemukan angka dana untuk membiayai naik haji pertahunnya tidak kurang dari US$ 5 miliar. Jika dirupiahkan setara dengan Rp 50-an triliun uang yang dikeluarkan oleh umat muslim diseluruh dunia. Sebanding dengan itu, data Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan masih ada sekitar 830 juta orang Islam yang sangat miskin dan membutuhkan bantuan. Jika dana untuk penyelenggaraan ibadah haji (khususnya dana ibadah haji dari mereka yang sudah pernah naik haji) dimanfaatkan untuk membantu sesama muslim yang miskin tersebut, tentu kemiskinan di dunia akan lebih cepat teratasi.
Dua Dimensi
Dari sedikit penjelasan di atas, dapat difahami bahwa kurban memiliki makna yang luas dalam kehidupan, terutama dalam rangka meningkatkan solidaritas, kesetiakawanan sosial dan introspeksi. Paling tidak, ada dua dimensi yang ditekankan di sini, yaitu dimensi vertikal (hablum minallah) dan dimensi horisontal (hablum minannas). Kurban disyari’atkan sebagai bentuk kepatuhan, keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hewan yang disembelih bukan berarti tumbal kepada sang pencipta (khaliq). Yang dipersembahkan kepada Allah, esensinya hanyalah ketakwaan. “lan yanalallah luhumuha wala dimauha, walakin yanaluhu al-taqwa”.
Sedangkan dimensi kedua, secara horizontal. Kurban sebagai bagian dari upaya menumbuhkan kepekaan sosial terhadap sesama anak bangsa, khususnya kepada golongan yang lemah atau mereka yang dilemahkan (baca; didzhalimi) dan tertindas. Ibadah kurban pun mengajarkan kepada manusia untuk rela berkorban demi kepentingan yang lebih universal baik kepentingan agama, bangsa, maupun kemanusiaan.
Dipenghujung tulisan ini, menekankan bahwa ibadah kurban adalah manifestasi keimanan dan simbol perlawanan terhadap syetan dan hawa nafsu yang hadir lewat iming-iming harta dan kekuasaan. Mampukah kita “menyembelih” semua ujian itu guna mewujudkan kebersamaan serta membebaskan negeri ini dari keterpurukan. Dengan semangat solidaritas tentu hal itu akan mudah terwujud.
*)Wakil Ketua Aliansi Mahasiswa Bidikmisi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya
**)Artikel ini dimuat di Duta Masyarakat Edisi Senin, 07 November 2011 M
**)Artikel ini dimuat di Duta Masyarakat Edisi Senin, 07 November 2011 M
0 komentar:
Posting Komentar