Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Sabtu, 28 Juli 2012

Terhipnotis Pesona Cinta Suci Zahrana


Ada yang menarik di Kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya pada Selasa, 12 Juni 2012 M. AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidikmisi) IAIN Sunan Ampel mengadakan acara Bedah Film dan Novel Cinta Suci Zahrana (CSZ). Acara tersebut dihadiri langsung oleh penulis sekaligus sutradaranya, Habiburahman El-shirazy.
Sejak pagi gedung Auditorium IAIN telah penuh dipadati peserta. Sekitar enam ratus lebih peserta yang hadir dan memeriahkan acara. Entah sesuatu apa yang mampu menyihir ratusan peserta sehingga rela menunggu berjam-jam hanya untuk mengikuti bedah film dan novel Cinta Suci Zahrana. Mungkin karena karisma dan pesona habiburahman el-shirazy sang novelis nomor wahid Indonesia itu atau bukan, yang pasti mereka seperti telah terhipnotis untuk mengikuti acara tersebut dengan antusias.
Sebenarnya acara Bedah Film dan Novel ini diagendakan akan hadir pula bintang film dari Cinta Suci Zahrana, seperti Meyda Safira, Miller, dan Kholidi Asadil Alam, namun dikarenakan beberapa alasan dan terbenturnya jadwal tour maka para pemeran film tersebut tidak dapat hadir. Meskipun demikian tidak menyurutkan antusias peserta untuk mengikuti acara hingga usai.
Habiburrahman El-shirazy yang lebih akrab disapa Kang Abik adalah novelis No.1 Indonesia berkat karya-karyanya yang fenomenal sekaligus monumental yang mampu menggubah jiwa para pembacanya. Diantara karya-karyanya seperti Ayat-Ayat Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih (KCB), Dalam Mihrab Cinta (DMC), yang semuanya telah difilmkan serta Cinta Suci Zahrana (CSZ) yang sedang dalam proses promo dan akan ditayangkan pada 15 Agustus 2012 M di berbagai bioskop di Indonesia.
Sekitar pukul 10:00 WIB kang abik tiba di tempat acara. Sontak gedung gemuruh oleh suara tepuk tangan menyambut kedatangannya. Secara otomatis opening ceremony dimulai dan dilanjutkan dengan talk show. Sebelum mengupas lebih dalam novel Cinta Suci Zahrana, kang abik terlebih dahulu memberikan tips sekaligus motivasi bagi peserta untuk tetap semangat menulis. Menulis apa saja, baik itu berupa tulisan fiksi maupun nonfiksi. “ Menulislah, dan tulislah apa yang anda tahu, yang anda sukai dan yang anda kuasai dijamin tulisan akan mengalir, lebih dalam, mengena dan enak untuk dibaca” kata kang abik.
Dalam talk show yang berlangsung kurang lebih dua jam itu kang abik berbagi cerita, pengalaman-pengalaman mengenai proses penggalian ide, inspirasi, serta tokoh dan karakter dari beberapa novel karyanya, khususnya novel Cinta Suci Zahrana. Sebenarnya cerita dari beberapa novel Best Seler karya kang abik adalah kisah nyata, namun tugas seorang sastrawan adalah mendramalisir sebuah cerita semenarik mungkin agar beda dengan biografi atau kisah nyata sehingga terciptalah adikarya, berupa novel Best Seler.
Secara umum novel Cinta Suci Zahrana merupakan salah satu novel penggubah jiwa yang menceritakan tentang zahrana, seorang wanita yang berprestasi di bidang arsitektur. Dia telah lulus S2 namun belum membina rumah tangga. Dalam proses pencarian pasangan hidup itulah yang menjadikan novel itu menarik untuk diikuti. Namun yang tidak kalah menariknya adalah perjuangannya meraih prestasi baik di dalam negeri, terutama prestasi di luar negeri yang dapat membuat harum nama bangsa.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari novel sekaligus film itu adalah bahwa sudah tidak ada diskriminasi kepada kaum perempuan dalam berbagai hal, terutama dalam hal mencari ilmu. Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama untuk mencari ilmu. Maka dari itu tidak ada alasan untuk tidak mencari ilmu. Menikah bukanlah waktu terakhir untuk mencari ilmu, justru dengan telah menikah maka kita dituntut untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Sebaliknya jangan menjadikan alasan karena mencari ilmu kemudian tidak menikah. Karena menikah dan mencari ilmu bukanlah dua hal yang terpisah melainkan satu kesatuan yang harus berjalan berdampingan. Kurang lebih seperti itulah yang disampaikan oleh kang abik.

Dimuat di Citizen Reporter, Harian Surya.

Ramadhan Perkuat Solidaritas


Oleh Muhammad Ali Murtadlo
 


Tidak terasa Ramadhan telah memasuki pekan pertama. Berbicara tentang bulan Ramadhan tentu pikiran kita mengarah pada puasa. Ibadah ini disinyalir dalam Al-Quran sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak dapat ditinggalkan kecuali ada alasan-alasan yang dibenarkan syariat. Dalam ungkapan lain, ibadah puasa adalah ritual yang dimasukkan dalam satu rangkaian kegiatan bulan Ramadhan.

Dalam salah satu sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim disebutkan, "Bulan Ramadhan awalnya adalah penguatan tali-tali ikatan antarmanusia, di tengah-tengahnya adalah pemberian ampun atas segala kesalahan, dan di akhir bulan Ramadhan adalah pembebasan dari ancaman api neraka."

Di awal bulan Ramadhan adalah penguatan atau penegasan dari ikatan-ikatan antarsesama. Dengan kata lain, bulan Ramadhan adalah pemberian Tuhan kepada manusia berupa adanya keharusan untuk memelihara hubungan antarmanusia secara baik. Ini merupakan sendi kehidupan bermasyarakat. Karena itulah, orang berpuasa pada hakikatnya melaksanakan pekerjaan yang besar untuk mengokohkan ikatan-ikatan sosial sebagai manusia.

Sebenarnya ini merupakan tugas yang tidak ringan tetapi sangat mulia. Dimensi kemanusian yang tertuang dalam ikatan sosial yang kokoh, dengan sendirinya merupakan acuan yang mengharuskan kita mengembangkan solidaritas. Karena, ikatan sosial yang tidak didasari oleh rasa solidaritas yang kokoh hanya akan menghasilkan kerangka kehidupan yang kering dan tidak memberikan makna apa-apa. Oleh karena itu, Al-Quran selalu menekankan pentingnya arti solidaritas tersebut.

Hal yang paling punya arti mendalam bagi manusia secara perorangan, seperti anak-anak dan harta benda dilukiskan sebagai tipuan oleh Allah SWT. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (Q S Alkahfi (18) :46) Hiasan bagi kehidupan dunia ini tentu harus diteruskan menjadi proyeksi kepada kehidupan akhirat yang penuh kebahagian, baru memiliki arti. Oleh karena itu, diingatkan kepada kita untuk tidak terkecoh oleh dimensi keduniaan tadi.

Apakah ini berarti kita harus menolak kehidupan materi? Bukan demikian. Apakah kita harus menjauhi kesenangan berkeluarga? Bercengkerama dengan anak isteri? Bukan demikian pula. Maksudnya adalah kehidupan materi dan kehidupan keluarga yang serba menyenangkan itu, harus diletakkan dalam sebuah kerangka sosial yang mengokohkan solidaritas di antara kita semua.

Apalah artinya hidup bersenang-senang hanya sekeluarga saja di tengah-tengah lingkungan yang penuh kemelaratan. Karena itulah, dalam Islam selalu dipersoalkan adanya kesungguhan untuk menolong orang lain. Adanya rasa untuk bertanggung jawab terhadap nasib orang lain. Adanya rasa menyadari bahwa manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan, tak ada perbedaan.

Bahkan bagi para pemimpin, kepemimpinan mereka diukur dari kemampuan menyejahterakan rakyat. Salah satu kaidah fiqih mengatakan, "Sikap dan kebijakan seorang pemimpin atas rakyat mereka, haruslah didasarkan kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin itu."

Jadi, jelas sekali bahwa di sini ada semacam keharusan untuk memelihara solidaritas sosial yang kuat untuk memberikan warna yang jelas kepada ikatan sosial yang ada. Sehingga, ikatan sosial itu sendiri mempunyai makna yang sesuai dengan dimensi kemanusiaan yang diharapkan Allah SWT.

Dalam upaya untuk mewujudkan kehidupan yang utuh dan sejahtera, sebagaimana dimaksudkan dalam ibadah puasa. Selain bertujuan untuk mengharuskan manusia menghadap secara vertikal kepada Allah SWT, dalam bahasa Islam-nya dikenal dengan istilah Hablumminallah, tali yang menghubungkan ikatan kepada Tuhan. Kita juga tidak boleh meninggalkan dimensi horizontal antarmanusia atau yang dikenal dengan istilah Hablumminannas atau tali yang menghubungkan antarsesama manusia.

Menjadi sangat penting ketika kita melaksanakan puasa, bahwa puasa memiliki arti sebagai ibadah. Perlunya makna puasa sebagai ibadah itu, antara lain dapat dicari pada suatu hal, yaitu melalui solidaritas sosial yang kokoh. Kita berusaha untuk memberikan wujud nyata bagi solidaritas itu sendiri. Karena itulah, dalam bulan Ramadhan ini, kita diminta untuk memberikan perhatian lebih banyak kepada fakir miskin.

Selain itu, kita dianjurkan untuk memberikan santunan kepada mereka yang membutuhkan. Terutama, senantiasa mawas diri dari sebuah pola hidup yang memburu kita terus-menerus dan mendorong kita meningkatkan kenikmatan materi dan mencari kepuasan inderawi terus-menerus. Sehingga, dengan menaruh simpati dan empati kepada orang lain, selain dapat memperkokoh solidaritas, juga mampu menjadikan hidup kita lebih bermakna.

Ikatan sosial yang seharusnya dirumuskan dalam solidaritas sosial yang kokoh itu menjadi sedikit terabaikan oleh sisi legal formalistik dan ritualistik. Legal formalistik dalam artian kita mencari acuan-acuan hukum agama yang perlu. Sehingga, kita memperhatikan secara seksama hal-hal kecil yang harus kita penuhi dalam beribadah puasa. Sisi ritualistik berarti berisi kecenderungan untuk memperbanyak amalan-amalan pada saat puasa. Seperti, sholat tarawih, sholat tahajud setiap malam atau membaca Al-Quran terus-menerus selama bulan puasa, dan sebagainya.

Hal itu tidak boleh terjadi karena peribadatan puasa yang lengkap dan sempurna adalah peribadatan yang benar-benar memiliki sentuhan ritualistik dan memenuhi ketentuan-ketentuan legal formalistik di satu pihak. Tetapi, juga mempunyai dimensi sosial yang kuat dalam bentuk penghayatan hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain. Inilah yang seharusnya kita camkan sebagai sarana untuk menggapai maghfiroh dan pembebasan dari api neraka, sebagaimana dijanjikan Allah SWT pada pertengahan dan di akhir bulan puasa. ***


Penulis adalah akademisi di Fakultas Syariah,
IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Dimuat  Di Harian Suara Karya (Jum'at 27 Juli 2012 M)

Sabtu, 14 Juli 2012

Menyadarkan Kembali Peran Pers Mahasiswa

Oleh: Aldo El-Fauzy*)
Sejarah mencatat, pers mempunyai peran penting dalam mengawal pergerakan nasional bangsa Indonesia. Baik itu pers secara umum maupun pers mahasiswa, masing-masing mempunyai peran tersendiri.
Pers mahasiswa atau yang lebih akrab disebut persma merupakan bagian dari pers umum yang objeknya ada di lingkungan kampus. Meskipun dalam lingkup kecil, namun tidak dapat dinaifkan, persma telah menunjukan sepak terjangnya dalam merespon segala hal-ihwal kecarut marutan bangsa sejak sebelum kemerdekaan.
Kampus –yang merupakan bidang garapan persma- bisa dikatakan sebagai miniature Negara. Didalamnya terdapat kelengkapan layaknya Negara. Mulai dari legislative, yudikatif, eksekutif sampai lembaga pers. Secara tidak langsung kampus merupakan jelmaan kehidupan bernegara.
Persma kampus sudah layaknya pers professional (pers umum) yang mengawal kehidupan bernegara, yakni sebagai control social pemerintahan mahasiswa. Seperti rektorat, dekanat, DEMA, SEMA, HMJ maupun HIMAPRODI. Persma memegang peranan penting dalam mengontrol pemerintahan kampus tersebut.
Kehilangan Esensi
Pada awal kemunculannya, pada masa sebelum kemerdekaan, persma masih memegang teguh idealisme dan daya kritisnya, serta menjadi media efektif untuk menyuarakan “unek-unek”, ide, gagasan dan propaganda dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Pada waktu itu muncul majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan oleh organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1924, serta Soeara Indonesia Moeda yang disebarkan pada momen sumpah pemuda, tahun 1928. Itu semua turut serta memberikan suntikan semangat bagi terwujudnya cita-cita kemerdekaan bangsa.
Namun pasca kemerdekaan, persma mulai kehilangan arah dan bentuk, lebih tepatnya kehilangan esensi. Idealisme yang dulu dipegang teguh, sedikit demi sedikit terkikis oleh kepentingan politik media. Akibatnya, idealisme persma mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Banyak yang mengatakan, persma tidak lagi memiliki peran yang signifikan seperti dulu. Keberadaannya seolah-olah tidak memberikan sumbangan apa-apa. Persma tidak lagi menjadi kekuatan baru bagi kehidupan masyarakat kampus maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jeratan Persma
Sulit memang menjadikan persma sebagai media independen yang mampu mencerdaskan kehidupan masyarakat kampus maupun masyarakat umum secara professional. Persma masih terjerat oleh berbagai permasalahan yang menghambat kinerjanya.
Setidaknya ada dua masalah utama. Pertama, persma saat ini harus hidup ditengah-tengah mahasiswa yang tidak lagi idealis, yang enggan melakukan kritik kepada birokrat, dan sebagainya. Persma harus menghadapi mahasiswa yang sudah terjerumus politik praktis kampus. Jika persma tak mampu membentengi diri dari pengaruh system seperti itu, maka dapat dipastikan persma akan berubah menjadi pembela kepentingan-kepentingan politik tersebut. Dan hal itu saat ini sudah mulai terlihat.
Kedua, Masalah pendanaan. Persma merupakan lembaga dibawah naungan kampus. Tentu masalah pembiayaan masih tergantung pada birokrasi kampus. Sehingga kreativitas dan daya kritisnya tersandera oleh pembiayaan. Aktivis-aktivis persma tidak berani bersuara lantang atas permasalahan birokrasi kampus karena takut akan mengganggu pembiayaan persnya. Akibatnya, agenda persma tak lebih sekedar rutinitas belaka. Rutinitas dalam arti agenda itu hanya menjadi sebuah kewajiban bagi pelaku pers untuk melakukan aktivitasnya karena ada tuntutan dari pemberi dana untuk menerbitkan majalah atau bulletin.
Terkadang pegiat-pegiat persma juga sudah tidak lagi diisi oleh orang-orang yang berkompeten dalam dunia jurnalistik. Pasalnya, mereka hanya sekedar taqlid buta, tidak menghargai proses, bahkan menghalalkan berbagai cara. Misalnya dalam penggalian data, mereka menyewa orang lain yang bukan anggota untuk melakukan, karena mereka tidak paham tehniknya. Contoh lain, untuk mengisi rubrik di majalah, mereka menggunakan karya orang lain kemudian dimanipulasi dengan mengakui sebagai karya anggotanya. Akibatnya, kualitas, akuntabilitas, serta kredibilitas persma saat ini mulai diragukan. Tentu hak semacam ini merupakan kemerosotan yang signifikan jika dibandingkan dengan peran persma pada masa pra kemerdekaan
Sudah Saatnya Sadar
Dalam kondisi seperti ini, merevitalisasi peran persma adalah harga mati. Bagaimanapun juga ini harus dilakukan. Jangan sampai keberadaan persma hanya menjadi penyokong kepentingan orang-orang tertentu saja dan menjadi tangan kanan kepentingan politik. Persma harus menjadi media kritis yang mampu mencerdaskan masyarakat kampus, syukur-syukur mampu mencerdaskan masyarakat umum.
Persma bukanlah pers umum yang hanya mengikuti pasar, yang menelantarkan masalah satu kemudian loncat ke permaslahan baru yang lebih hangat yang justru tak kunjung usai. Persma bukanlah pers umum yang mempunyai kepentinga politik media. Sebagai media penyambung lidah dan penyeimbang birokrasi, persma harus sadar akan perannya itu. Persma harus bersikap kritis dan objektif terhadap permasalahan kampus, bukan menjadi tangan kanan bagi birokrasi kampus. Sudah saatnya persma sadar dan bangun dari tidur panjang yang terninabobokan oleh birokrat dan kepentingan politik pragtis kampus. Kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi?
*) Peminat Pers, tinggal di aldomurtadlo.blogspot,com 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India