Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Sabtu, 14 Juli 2012

Menyadarkan Kembali Peran Pers Mahasiswa

Oleh: Aldo El-Fauzy*)
Sejarah mencatat, pers mempunyai peran penting dalam mengawal pergerakan nasional bangsa Indonesia. Baik itu pers secara umum maupun pers mahasiswa, masing-masing mempunyai peran tersendiri.
Pers mahasiswa atau yang lebih akrab disebut persma merupakan bagian dari pers umum yang objeknya ada di lingkungan kampus. Meskipun dalam lingkup kecil, namun tidak dapat dinaifkan, persma telah menunjukan sepak terjangnya dalam merespon segala hal-ihwal kecarut marutan bangsa sejak sebelum kemerdekaan.
Kampus –yang merupakan bidang garapan persma- bisa dikatakan sebagai miniature Negara. Didalamnya terdapat kelengkapan layaknya Negara. Mulai dari legislative, yudikatif, eksekutif sampai lembaga pers. Secara tidak langsung kampus merupakan jelmaan kehidupan bernegara.
Persma kampus sudah layaknya pers professional (pers umum) yang mengawal kehidupan bernegara, yakni sebagai control social pemerintahan mahasiswa. Seperti rektorat, dekanat, DEMA, SEMA, HMJ maupun HIMAPRODI. Persma memegang peranan penting dalam mengontrol pemerintahan kampus tersebut.
Kehilangan Esensi
Pada awal kemunculannya, pada masa sebelum kemerdekaan, persma masih memegang teguh idealisme dan daya kritisnya, serta menjadi media efektif untuk menyuarakan “unek-unek”, ide, gagasan dan propaganda dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Pada waktu itu muncul majalah Indonesia Merdeka yang diterbitkan oleh organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1924, serta Soeara Indonesia Moeda yang disebarkan pada momen sumpah pemuda, tahun 1928. Itu semua turut serta memberikan suntikan semangat bagi terwujudnya cita-cita kemerdekaan bangsa.
Namun pasca kemerdekaan, persma mulai kehilangan arah dan bentuk, lebih tepatnya kehilangan esensi. Idealisme yang dulu dipegang teguh, sedikit demi sedikit terkikis oleh kepentingan politik media. Akibatnya, idealisme persma mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Banyak yang mengatakan, persma tidak lagi memiliki peran yang signifikan seperti dulu. Keberadaannya seolah-olah tidak memberikan sumbangan apa-apa. Persma tidak lagi menjadi kekuatan baru bagi kehidupan masyarakat kampus maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jeratan Persma
Sulit memang menjadikan persma sebagai media independen yang mampu mencerdaskan kehidupan masyarakat kampus maupun masyarakat umum secara professional. Persma masih terjerat oleh berbagai permasalahan yang menghambat kinerjanya.
Setidaknya ada dua masalah utama. Pertama, persma saat ini harus hidup ditengah-tengah mahasiswa yang tidak lagi idealis, yang enggan melakukan kritik kepada birokrat, dan sebagainya. Persma harus menghadapi mahasiswa yang sudah terjerumus politik praktis kampus. Jika persma tak mampu membentengi diri dari pengaruh system seperti itu, maka dapat dipastikan persma akan berubah menjadi pembela kepentingan-kepentingan politik tersebut. Dan hal itu saat ini sudah mulai terlihat.
Kedua, Masalah pendanaan. Persma merupakan lembaga dibawah naungan kampus. Tentu masalah pembiayaan masih tergantung pada birokrasi kampus. Sehingga kreativitas dan daya kritisnya tersandera oleh pembiayaan. Aktivis-aktivis persma tidak berani bersuara lantang atas permasalahan birokrasi kampus karena takut akan mengganggu pembiayaan persnya. Akibatnya, agenda persma tak lebih sekedar rutinitas belaka. Rutinitas dalam arti agenda itu hanya menjadi sebuah kewajiban bagi pelaku pers untuk melakukan aktivitasnya karena ada tuntutan dari pemberi dana untuk menerbitkan majalah atau bulletin.
Terkadang pegiat-pegiat persma juga sudah tidak lagi diisi oleh orang-orang yang berkompeten dalam dunia jurnalistik. Pasalnya, mereka hanya sekedar taqlid buta, tidak menghargai proses, bahkan menghalalkan berbagai cara. Misalnya dalam penggalian data, mereka menyewa orang lain yang bukan anggota untuk melakukan, karena mereka tidak paham tehniknya. Contoh lain, untuk mengisi rubrik di majalah, mereka menggunakan karya orang lain kemudian dimanipulasi dengan mengakui sebagai karya anggotanya. Akibatnya, kualitas, akuntabilitas, serta kredibilitas persma saat ini mulai diragukan. Tentu hak semacam ini merupakan kemerosotan yang signifikan jika dibandingkan dengan peran persma pada masa pra kemerdekaan
Sudah Saatnya Sadar
Dalam kondisi seperti ini, merevitalisasi peran persma adalah harga mati. Bagaimanapun juga ini harus dilakukan. Jangan sampai keberadaan persma hanya menjadi penyokong kepentingan orang-orang tertentu saja dan menjadi tangan kanan kepentingan politik. Persma harus menjadi media kritis yang mampu mencerdaskan masyarakat kampus, syukur-syukur mampu mencerdaskan masyarakat umum.
Persma bukanlah pers umum yang hanya mengikuti pasar, yang menelantarkan masalah satu kemudian loncat ke permaslahan baru yang lebih hangat yang justru tak kunjung usai. Persma bukanlah pers umum yang mempunyai kepentinga politik media. Sebagai media penyambung lidah dan penyeimbang birokrasi, persma harus sadar akan perannya itu. Persma harus bersikap kritis dan objektif terhadap permasalahan kampus, bukan menjadi tangan kanan bagi birokrasi kampus. Sudah saatnya persma sadar dan bangun dari tidur panjang yang terninabobokan oleh birokrat dan kepentingan politik pragtis kampus. Kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi?
*) Peminat Pers, tinggal di aldomurtadlo.blogspot,com 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India