Oleh: Aldo El-Fauzy*)
Sejarah mencatat, pers mempunyai peran penting dalam mengawal
pergerakan nasional bangsa Indonesia. Baik itu pers secara umum maupun pers
mahasiswa, masing-masing mempunyai peran tersendiri.
Pers mahasiswa atau yang lebih akrab disebut persma merupakan
bagian dari pers umum yang objeknya ada di lingkungan kampus. Meskipun dalam
lingkup kecil, namun tidak dapat dinaifkan, persma telah menunjukan sepak
terjangnya dalam merespon segala hal-ihwal kecarut marutan bangsa sejak sebelum
kemerdekaan.
Kampus –yang merupakan bidang garapan persma- bisa dikatakan
sebagai miniature Negara. Didalamnya terdapat kelengkapan layaknya Negara.
Mulai dari legislative, yudikatif, eksekutif sampai lembaga pers. Secara tidak
langsung kampus merupakan jelmaan kehidupan bernegara.
Persma kampus sudah layaknya pers professional (pers umum) yang
mengawal kehidupan bernegara, yakni sebagai control social pemerintahan
mahasiswa. Seperti rektorat, dekanat, DEMA, SEMA, HMJ maupun HIMAPRODI. Persma
memegang peranan penting dalam mengontrol pemerintahan kampus tersebut.
Kehilangan
Esensi
Pada awal kemunculannya, pada masa sebelum kemerdekaan, persma
masih memegang teguh idealisme dan daya kritisnya, serta menjadi media efektif
untuk menyuarakan “unek-unek”, ide, gagasan dan propaganda dalam mewujudkan
cita-cita kemerdekaan.
Pada waktu itu muncul majalah Indonesia Merdeka yang
diterbitkan oleh organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) pada tahun 1924, serta Soeara
Indonesia Moeda yang disebarkan pada momen sumpah pemuda, tahun 1928. Itu
semua turut serta memberikan suntikan semangat bagi terwujudnya cita-cita
kemerdekaan bangsa.
Namun pasca kemerdekaan, persma mulai kehilangan arah dan bentuk,
lebih tepatnya kehilangan esensi. Idealisme yang dulu dipegang teguh, sedikit
demi sedikit terkikis oleh kepentingan politik media. Akibatnya, idealisme
persma mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Banyak yang mengatakan,
persma tidak lagi memiliki peran yang signifikan seperti dulu. Keberadaannya
seolah-olah tidak memberikan sumbangan apa-apa. Persma tidak lagi menjadi
kekuatan baru bagi kehidupan masyarakat kampus maupun dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Jeratan
Persma
Sulit memang menjadikan persma sebagai media independen yang mampu
mencerdaskan kehidupan masyarakat kampus maupun masyarakat umum secara
professional. Persma masih terjerat oleh berbagai permasalahan yang menghambat
kinerjanya.
Setidaknya ada dua masalah utama. Pertama, persma saat ini harus
hidup ditengah-tengah mahasiswa yang tidak lagi idealis, yang enggan melakukan
kritik kepada birokrat, dan sebagainya. Persma harus menghadapi mahasiswa yang
sudah terjerumus politik praktis kampus. Jika persma tak mampu membentengi diri
dari pengaruh system seperti itu, maka dapat dipastikan persma akan berubah
menjadi pembela kepentingan-kepentingan politik tersebut. Dan hal itu saat ini
sudah mulai terlihat.
Kedua, Masalah pendanaan. Persma merupakan lembaga dibawah naungan
kampus. Tentu masalah pembiayaan masih tergantung pada birokrasi kampus.
Sehingga kreativitas dan daya kritisnya tersandera oleh pembiayaan.
Aktivis-aktivis persma tidak berani bersuara lantang atas permasalahan
birokrasi kampus karena takut akan mengganggu pembiayaan persnya. Akibatnya,
agenda persma tak lebih sekedar rutinitas belaka. Rutinitas dalam arti agenda
itu hanya menjadi sebuah kewajiban bagi pelaku pers untuk melakukan
aktivitasnya karena ada tuntutan dari pemberi dana untuk menerbitkan majalah
atau bulletin.
Terkadang pegiat-pegiat persma juga sudah tidak lagi diisi oleh
orang-orang yang berkompeten dalam dunia jurnalistik. Pasalnya, mereka hanya
sekedar taqlid buta, tidak menghargai proses, bahkan menghalalkan
berbagai cara. Misalnya dalam penggalian data, mereka menyewa orang lain yang
bukan anggota untuk melakukan, karena mereka tidak paham tehniknya. Contoh
lain, untuk mengisi rubrik di majalah, mereka menggunakan karya orang lain
kemudian dimanipulasi dengan mengakui sebagai karya anggotanya. Akibatnya,
kualitas, akuntabilitas, serta kredibilitas persma saat ini mulai diragukan. Tentu
hak semacam ini merupakan kemerosotan yang signifikan jika dibandingkan dengan
peran persma pada masa pra kemerdekaan
Sudah
Saatnya Sadar
Dalam kondisi seperti ini, merevitalisasi peran persma adalah harga
mati. Bagaimanapun juga ini harus dilakukan. Jangan sampai keberadaan persma
hanya menjadi penyokong kepentingan orang-orang tertentu saja dan menjadi
tangan kanan kepentingan politik. Persma harus menjadi media kritis yang mampu
mencerdaskan masyarakat kampus, syukur-syukur mampu mencerdaskan masyarakat
umum.
Persma bukanlah pers umum yang hanya mengikuti pasar, yang
menelantarkan masalah satu kemudian loncat ke permaslahan baru yang lebih
hangat yang justru tak kunjung usai. Persma bukanlah pers umum yang mempunyai
kepentinga politik media. Sebagai media penyambung lidah dan penyeimbang
birokrasi, persma harus sadar akan perannya itu. Persma harus bersikap kritis
dan objektif terhadap permasalahan kampus, bukan menjadi tangan kanan bagi
birokrasi kampus. Sudah saatnya persma sadar dan bangun dari tidur panjang yang
terninabobokan oleh birokrat dan kepentingan politik pragtis kampus. Kalau
bukan sekarang, lalu kapan lagi?
*)
Peminat Pers, tinggal di aldomurtadlo.blogspot,com
0 komentar:
Posting Komentar