Oleh Muhammad Ali Murtadlo
Tidak terasa Ramadhan telah memasuki pekan pertama. Berbicara tentang bulan Ramadhan tentu pikiran kita mengarah pada puasa. Ibadah ini disinyalir dalam Al-Quran sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak dapat ditinggalkan kecuali ada alasan-alasan yang dibenarkan syariat. Dalam ungkapan lain, ibadah puasa adalah ritual yang dimasukkan dalam satu rangkaian kegiatan bulan Ramadhan.
Dalam salah satu sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim disebutkan, "Bulan Ramadhan awalnya adalah penguatan tali-tali ikatan antarmanusia, di tengah-tengahnya adalah pemberian ampun atas segala kesalahan, dan di akhir bulan Ramadhan adalah pembebasan dari ancaman api neraka."
Di awal bulan Ramadhan adalah penguatan atau penegasan dari ikatan-ikatan antarsesama. Dengan kata lain, bulan Ramadhan adalah pemberian Tuhan kepada manusia berupa adanya keharusan untuk memelihara hubungan antarmanusia secara baik. Ini merupakan sendi kehidupan bermasyarakat. Karena itulah, orang berpuasa pada hakikatnya melaksanakan pekerjaan yang besar untuk mengokohkan ikatan-ikatan sosial sebagai manusia.
Sebenarnya ini merupakan tugas yang tidak ringan tetapi sangat mulia. Dimensi kemanusian yang tertuang dalam ikatan sosial yang kokoh, dengan sendirinya merupakan acuan yang mengharuskan kita mengembangkan solidaritas. Karena, ikatan sosial yang tidak didasari oleh rasa solidaritas yang kokoh hanya akan menghasilkan kerangka kehidupan yang kering dan tidak memberikan makna apa-apa. Oleh karena itu, Al-Quran selalu menekankan pentingnya arti solidaritas tersebut.
Hal yang paling punya arti mendalam bagi manusia secara perorangan, seperti anak-anak dan harta benda dilukiskan sebagai tipuan oleh Allah SWT. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (Q S Alkahfi (18) :46) Hiasan bagi kehidupan dunia ini tentu harus diteruskan menjadi proyeksi kepada kehidupan akhirat yang penuh kebahagian, baru memiliki arti. Oleh karena itu, diingatkan kepada kita untuk tidak terkecoh oleh dimensi keduniaan tadi.
Apakah ini berarti kita harus menolak kehidupan materi? Bukan demikian. Apakah kita harus menjauhi kesenangan berkeluarga? Bercengkerama dengan anak isteri? Bukan demikian pula. Maksudnya adalah kehidupan materi dan kehidupan keluarga yang serba menyenangkan itu, harus diletakkan dalam sebuah kerangka sosial yang mengokohkan solidaritas di antara kita semua.
Apalah artinya hidup bersenang-senang hanya sekeluarga saja di tengah-tengah lingkungan yang penuh kemelaratan. Karena itulah, dalam Islam selalu dipersoalkan adanya kesungguhan untuk menolong orang lain. Adanya rasa untuk bertanggung jawab terhadap nasib orang lain. Adanya rasa menyadari bahwa manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan, tak ada perbedaan.
Bahkan bagi para pemimpin, kepemimpinan mereka diukur dari kemampuan menyejahterakan rakyat. Salah satu kaidah fiqih mengatakan, "Sikap dan kebijakan seorang pemimpin atas rakyat mereka, haruslah didasarkan kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin itu."
Jadi, jelas sekali bahwa di sini ada semacam keharusan untuk memelihara solidaritas sosial yang kuat untuk memberikan warna yang jelas kepada ikatan sosial yang ada. Sehingga, ikatan sosial itu sendiri mempunyai makna yang sesuai dengan dimensi kemanusiaan yang diharapkan Allah SWT.
Dalam upaya untuk mewujudkan kehidupan yang utuh dan sejahtera, sebagaimana dimaksudkan dalam ibadah puasa. Selain bertujuan untuk mengharuskan manusia menghadap secara vertikal kepada Allah SWT, dalam bahasa Islam-nya dikenal dengan istilah Hablumminallah, tali yang menghubungkan ikatan kepada Tuhan. Kita juga tidak boleh meninggalkan dimensi horizontal antarmanusia atau yang dikenal dengan istilah Hablumminannas atau tali yang menghubungkan antarsesama manusia.
Menjadi sangat penting ketika kita melaksanakan puasa, bahwa puasa memiliki arti sebagai ibadah. Perlunya makna puasa sebagai ibadah itu, antara lain dapat dicari pada suatu hal, yaitu melalui solidaritas sosial yang kokoh. Kita berusaha untuk memberikan wujud nyata bagi solidaritas itu sendiri. Karena itulah, dalam bulan Ramadhan ini, kita diminta untuk memberikan perhatian lebih banyak kepada fakir miskin.
Selain itu, kita dianjurkan untuk memberikan santunan kepada mereka yang membutuhkan. Terutama, senantiasa mawas diri dari sebuah pola hidup yang memburu kita terus-menerus dan mendorong kita meningkatkan kenikmatan materi dan mencari kepuasan inderawi terus-menerus. Sehingga, dengan menaruh simpati dan empati kepada orang lain, selain dapat memperkokoh solidaritas, juga mampu menjadikan hidup kita lebih bermakna.
Ikatan sosial yang seharusnya dirumuskan dalam solidaritas sosial yang kokoh itu menjadi sedikit terabaikan oleh sisi legal formalistik dan ritualistik. Legal formalistik dalam artian kita mencari acuan-acuan hukum agama yang perlu. Sehingga, kita memperhatikan secara seksama hal-hal kecil yang harus kita penuhi dalam beribadah puasa. Sisi ritualistik berarti berisi kecenderungan untuk memperbanyak amalan-amalan pada saat puasa. Seperti, sholat tarawih, sholat tahajud setiap malam atau membaca Al-Quran terus-menerus selama bulan puasa, dan sebagainya.
Hal itu tidak boleh terjadi karena peribadatan puasa yang lengkap dan sempurna adalah peribadatan yang benar-benar memiliki sentuhan ritualistik dan memenuhi ketentuan-ketentuan legal formalistik di satu pihak. Tetapi, juga mempunyai dimensi sosial yang kuat dalam bentuk penghayatan hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain. Inilah yang seharusnya kita camkan sebagai sarana untuk menggapai maghfiroh dan pembebasan dari api neraka, sebagaimana dijanjikan Allah SWT pada pertengahan dan di akhir bulan puasa. ***
Penulis adalah akademisi di Fakultas Syariah,
IAIN Sunan Ampel Surabaya.
IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Dimuat Di Harian Suara Karya (Jum'at 27 Juli 2012 M)
0 komentar:
Posting Komentar