Oleh; Muhammad Ali Murtadlo*)
Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 2 Tahun
2017 tentang pembubaran ormas telah diterbitkan pemerintah. Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto telah mengumumkan penerbitan Perppu
tersebut pada Rabu (12/07) untuk selanjutnya di serahkan ke DPR agar disahkan.
Perppu ini merupakan kelanjutan dari langkah tegas pemerintah untuk menangkal
paham-paham radikal tumbuh subur di Indonesia.
Dalam setiap peraturan yang diterbitkan, pasti ada gejolak di
masyarakat. Banyak yang mendukung dan tak jarang pula yang menolak. Mereka yang
pro pada umumnya menganggap bahwa ormas-ormas yang dinilai radikal ini dapat
mengancam kebhinekaan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedangkan yang kontra dengan upaya pemerintah ini, berargumen bahwa mereka juga
punya hak untuk mendirikan ormas dan menjalankannya, terlepas dari melanggar
dan tidaknya dengan asas-asas Pancasila. Selain itu, penerbitan Perppu ini dinilai
menyalahi konstitusi, karena pembubaran ormas harus melalui mekanisme peradilan
seperti yang diatur pada UU No. 17 Tahun 2013. Pemerintah terkesan mengambil
jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan ini.
Yusril Ihza Mahendra, Pengacara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
menilai bahwa penerbitan Perppu itu merupakan kemunduran demokrasi. Perppu itu
membuka peluang bagi sebuah kesewenang-wenangan dan tidak sejalan dengan
cita-cita reformasi. Seharusnya pemerintah mematuhi Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU tersebut mengatur agar
pemerintah tidak mudah dalam membubarkan ormas, melainkan harus lebih dulu
melakukan langkah persuasif, memberi peringatan tertulis, dan menghentikan
kegiatan sementara kepada ormas tersebut. Kalau tidak efektif dan pemerintah
mau membubarkannya, maka pemerintah harus meminta persetujuan pengadilan lebih
dulu sebelum membubarkan ormas tersebut.
Dengan Perppu baru ini, menurut Yusril, semua prosedur itu tampak
dihilangkan. Pemerintah dapat membubarkan setiap ormas yang dianggap
bertentangan dengan Pancasila tanpa melalui prosedur di atas. Yusril menilai
Perppu ini dikeluarkan tidak atas kegentingan yang memaksa, sebagaimana diatur
oleh UUD 45. Yang mana pembubaran HTI, menurut Yusril, belum memenuhi syarat
adanya kegentingan yang memaksa.
Gagal Faham Khilafah
Terlepas dari melanggar hukum dan tidaknya pembubaran ormas yang
bertentangan dengan Pancasila, perlu diketahui terlebih dahulu mengapa
ormas-ormas tersebut perlu dibubarkan. Agar lebih mengerucut kepada ormas yang
dimaksud, kita sebut saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI merupakan
kepanjangan tangan dari Hizbut Tahrir (HT), partai politik yang berdiri di
Palestina pada tahun 1953. Hizbut Tahrir atau Partai Pembebasan dinyatakan
terlarang di banyak negara, termasuk di negara mayoritas berpenduduk muslim.
Misi utama mereka adalah mendirikan negara Islam berdasarkan
prinsip khilafah. Khilafah yang diklaim sebagai kewajiban agama, sebenarnya
merupakan cerminan dari proses modifikasi dan politisasi agama. Islam hanya
berfungsi sebagai alat legitimasi politik belaka. Karena konsep khilafah yang given
dan applicated pada hakikatnya tidak ditemukan dalam banyak
literatur. Tidak dijumpai referensi normatif, historis, maupun sosial tentang
kewajiban menegakan khilafah. Nash-nash agama, baik Al-Quran, hadist maupun
ijma’, tidak menyebutkan secara eksplisit dan transparan tentang hal itu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa khilafah merupakan produk
kreativitas manusia untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan yang
bersih dan akuntabel sehingga bukan merupakan kewajiban agama yang harus
ditegakan oleh umat Islam. Jika mereka mengklaim bahwa pemerintahan di zaman
Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah dan Usmaniyah
merupakan pemerintahan yang ideal. Maka sistem pemerintah yang mana akan
dianut? Bukankah dalam sejarah pergantian khalifah tidak ada yang sama? Dan
jika toh misi khilafah berhasil, lalu siapa yang akan menjadi khalifah,
pemimpin tertinggi umat Islam?
Jadi jelas, angan-angan mendirikan khilafah pada saat ini tak lebih
dari romantisme sejarah, ahistoris dan tidak mempunyai landasan sosial sama
sekali, lebih-lebih di Indonesia yang dikenal dengan negara yang plural. Dengan
kata lain, klaim khilafah yang dapat menyelesaikan semua permasalahan
kebangsaan dan kemasyarakatan hanyal pepesan kosong belaka. Meminjam istilah
Gus Dur, menegakan khilafah hanyalah sebuah ilusi negara Islam.
Ainur Rofiq Al-Amin, mantan aktivis HTI, melalui disertasinya yang
dibukukan dengan judul “Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di
Indonesia” menyimpulkan bahwa kewajiban mendirikan khilafah lebih sebagai
interpretasi yang gegabah, ahistoris dan tidak lebih dari sekedar proyek
Islamisasi yang dibungkus oleh dalil-dalil agama untuk kepentingan politis dan
ekonomi. Proyek tersebut tidak jauh berbeda dengan proyek Islamisasi negara dan
masyarakat oleh gerakan-gerakan radikal-fundamental Islam lainnya di belahan
dunia Islam. Bahkan di negara-negara yang meletakkan Islam sebagai dasar
konstitusi seperti Yordania, Libya, Turki, Mesir, Pakistan, Suriah dan Arab
Saudi menolak keras pergerakan Hizbut Tahrir. Di Malaysia, HTI juga ditolak
karena dianggap organisasi yang menyimpang. Lalu mengapa Indonesia tidak?
*) Penulis adalah Awardee LPDP di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
dan Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar