Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Kamis, 13 Juli 2017

Mengapa HTI Perlu Dibubarkan?


Oleh; Muhammad Ali Murtadlo*) 
Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 2 Tahun 2017 tentang pembubaran ormas telah diterbitkan pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto telah mengumumkan penerbitan Perppu tersebut pada Rabu (12/07) untuk selanjutnya di serahkan ke DPR agar disahkan. Perppu ini merupakan kelanjutan dari langkah tegas pemerintah untuk menangkal paham-paham radikal tumbuh subur di Indonesia.

Dalam setiap peraturan yang diterbitkan, pasti ada gejolak di masyarakat. Banyak yang mendukung dan tak jarang pula yang menolak. Mereka yang pro pada umumnya menganggap bahwa ormas-ormas yang dinilai radikal ini dapat mengancam kebhinekaan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan yang kontra dengan upaya pemerintah ini, berargumen bahwa mereka juga punya hak untuk mendirikan ormas dan menjalankannya, terlepas dari melanggar dan tidaknya dengan asas-asas Pancasila. Selain itu, penerbitan Perppu ini dinilai menyalahi konstitusi, karena pembubaran ormas harus melalui mekanisme peradilan seperti yang diatur pada UU No. 17 Tahun 2013. Pemerintah terkesan mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan ini.

Yusril Ihza Mahendra, Pengacara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), menilai bahwa penerbitan Perppu itu merupakan kemunduran demokrasi. Perppu itu membuka peluang bagi sebuah kesewenang-wenangan dan tidak sejalan dengan cita-cita reformasi. Seharusnya pemerintah mematuhi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU tersebut mengatur agar pemerintah tidak mudah dalam membubarkan ormas, melainkan harus lebih dulu melakukan langkah persuasif, memberi peringatan tertulis, dan menghentikan kegiatan sementara kepada ormas tersebut. Kalau tidak efektif dan pemerintah mau membubarkannya, maka pemerintah harus meminta persetujuan pengadilan lebih dulu sebelum membubarkan ormas tersebut.

Dengan Perppu baru ini, menurut Yusril, semua prosedur itu tampak dihilangkan. Pemerintah dapat membubarkan setiap ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila tanpa melalui prosedur di atas. Yusril menilai Perppu ini dikeluarkan tidak atas kegentingan yang memaksa, sebagaimana diatur oleh UUD 45. Yang mana pembubaran HTI, menurut Yusril, belum memenuhi syarat adanya kegentingan yang memaksa.

Gagal Faham Khilafah

Terlepas dari melanggar hukum dan tidaknya pembubaran ormas yang bertentangan dengan Pancasila, perlu diketahui terlebih dahulu mengapa ormas-ormas tersebut perlu dibubarkan. Agar lebih mengerucut kepada ormas yang dimaksud, kita sebut saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI merupakan kepanjangan tangan dari Hizbut Tahrir (HT), partai politik yang berdiri di Palestina pada tahun 1953. Hizbut Tahrir atau Partai Pembebasan dinyatakan terlarang di banyak negara, termasuk di negara mayoritas berpenduduk muslim.

Misi utama mereka adalah mendirikan negara Islam berdasarkan prinsip khilafah. Khilafah yang diklaim sebagai kewajiban agama, sebenarnya merupakan cerminan dari proses modifikasi dan politisasi agama. Islam hanya berfungsi sebagai alat legitimasi politik belaka. Karena konsep khilafah yang given dan applicated pada hakikatnya tidak ditemukan dalam banyak literatur. Tidak dijumpai referensi normatif, historis, maupun sosial tentang kewajiban menegakan khilafah. Nash-nash agama, baik Al-Quran, hadist maupun ijma’, tidak menyebutkan secara eksplisit dan transparan tentang hal itu.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa khilafah merupakan produk kreativitas manusia untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan akuntabel sehingga bukan merupakan kewajiban agama yang harus ditegakan oleh umat Islam. Jika mereka mengklaim bahwa pemerintahan di zaman Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah dan Usmaniyah merupakan pemerintahan yang ideal. Maka sistem pemerintah yang mana akan dianut? Bukankah dalam sejarah pergantian khalifah tidak ada yang sama? Dan jika toh misi khilafah berhasil, lalu siapa yang akan menjadi khalifah, pemimpin tertinggi umat Islam?

Jadi jelas, angan-angan mendirikan khilafah pada saat ini tak lebih dari romantisme sejarah, ahistoris dan tidak mempunyai landasan sosial sama sekali, lebih-lebih di Indonesia yang dikenal dengan negara yang plural. Dengan kata lain, klaim khilafah yang dapat menyelesaikan semua permasalahan kebangsaan dan kemasyarakatan hanyal pepesan kosong belaka. Meminjam istilah Gus Dur, menegakan khilafah hanyalah sebuah ilusi negara Islam.

Ainur Rofiq Al-Amin, mantan aktivis HTI, melalui disertasinya yang dibukukan dengan judul “Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia” menyimpulkan bahwa kewajiban mendirikan khilafah lebih sebagai interpretasi yang gegabah, ahistoris dan tidak lebih dari sekedar proyek Islamisasi yang dibungkus oleh dalil-dalil agama untuk kepentingan politis dan ekonomi. Proyek tersebut tidak jauh berbeda dengan proyek Islamisasi negara dan masyarakat oleh gerakan-gerakan radikal-fundamental Islam lainnya di belahan dunia Islam. Bahkan di negara-negara yang meletakkan Islam sebagai dasar konstitusi seperti Yordania, Libya, Turki, Mesir, Pakistan, Suriah dan Arab Saudi menolak keras pergerakan Hizbut Tahrir. Di Malaysia, HTI juga ditolak karena dianggap organisasi yang menyimpang. Lalu mengapa Indonesia tidak?

*) Penulis adalah Awardee LPDP di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India