Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Kamis, 30 Juni 2011

Membangun Karakter Bangsa Melalui Pesantren

Membangun Karakter Bangsa Melalui Pesantren
Oleh : Muhammad Ali Murtadlo*
Pesantren merupakan Institusi Pendidikan Islam tertua di tanah air yang memberikan andil sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan ummat dan bangsa. Dari ‘rahim’ pesantrenlah lahir tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kaum intelektual, dan pemimpin-pemimpin bangsa.
Dalam membangun karakter bangsa misalnya, pesantren merupakan penjaga moral yang sudah teruji. Lembaga ini telah mendidik kader-kader bangsa yang diramu secara militan untuk menjaga moralitas berdasarkan pemahaman keagamaan yang kuat. Di samping itu dunia pesantren juga memperkenalkan berbagai macam karakter manusia yang menjadi cermin masyarakat. Santri datang dari berbagai latar belakang ekonomi, pendidikan, dan budaya dididik secara bersama-sama tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Pada titik ini sebenarnya pesantren telah mengajarkan persamaan hak dan kewajiban santri (baca: warga negara) sekaligus mengajarkan berbagai sikap kemasyarakatan yang majemuk seperti toleransi, tolong menolong, dan menghargai sesama anak bangsa. Tidak heran jika pesantren dapat melahirkan tokoh-tokoh penting yang mampu berperan besar dalam membangun bangsa. Seperti contoh presiden RI ke 4 K.H Abdurrahman wahid (Gus Dur) adalah hasil dari didikan pesantren, begitu juga ayahnya KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri agama.
Kalau kita lihat Sejak masa Orde Baru bangsa ini mengalami degradasi. Kalau dulu pada masa Orde Lama dilakukan chrachter building (pembangunan karakter) maka pada masa Orde Baru dilakukan character assassination (pembunuhan karakter) yaitu dengan menuduh bahwa para tokoh yang hidup pada masa Orde Lama, yang berpikir nasionalis, chauvinis, kolot dan dogmatis  sebagai tokoh anti kemajuan, tradisional dan sebagainya. Gagasan tentang nasionalisme atau kebangsaan pelan-pelan juga dikikis, pertama dengan memperkenalkan nasionalisme baru, yang tidak lagi sesuai berdasarkan ikatan etnik. Selanjutnya secara perlahan nasionalisme juga didelegitimasi, karena dianggap bentuk dari chauvinisme dan fanatisme atau rasa cinta tanah air secara berlebihan. Apalagi dengan munculnya isu globalisme pada 1990-an yang hingga saat ini terus berkembang, sehingga nasionalisme dianggap tidak lagi relevan bahkan dianggap kuno. Dari sinilah bangsa ini mengalami dua tahap, pertama dilakukan character assassination (pembunuhan karakter). Kemudian dilakukan nation assassination (pembunuhan spirit nasionalisme). Sebenarnya jika diteliti lebih dalam aktor dari pembunuhan ini adalah kelompok intelektual modernis, kalangan pejabat, kalangan professional dan aktivis prodemokrasi, sebagai kepanjangan tangan dari imperialisme global. Akibatnya ketika kesadaran dan semangat nasionalisme telah dibunuh, orang tidak berani lagi bicara nasionalisme, bahkan ikut meremehkan nasionalisme. Dan ketika semangat nasionalisme tidak ada lagi  karena telah dibunuh. maka semua pengusaha asing dibiarkan masuk berdagang di sini, membangun aset-aset, sehingga menggeser semua usaha rakyat pribumi. Rakyat pribumi semakin kehilangan lapangan pekerjaaan, sementara pemerintah bersama aparatnya lebih membela kepentingan kapitalis asing, untuk menumpas usaha pribumi. Rakyat menjadi semakin miskin, kriminalitas meningkat dan konflik sosial semakin memanas. Akibatnya integrasi sosial menjadi makin pudar. Itulah yang membuat bangsa ini besar menjadi bangsa kecil, karena seluruh asetnya dijarah oleh rakyat dan pemerintah sendiri.
Ketika kepribadian (karakter) dianggap tidak penting, maka kehidupan orang menjadi sangat pragmatis, tidak punya emosi untuk berubah dan selalu berpegang pada kenyataan yang ada, sehingga tidak ada lagi rasa pengabdian kepada bangsa dan negara apalagi perjuangan. Padahal untuk membangun sebuah bangsa perlu pengabdian dan perjuangan. Tanpa pengabdian dan perjuangan mustahil sebuah bangsa akan terbangun menjadi bangsa yang maju, dan tanpa kepribadian orang akan kehilangan rasa pengabdian dan cenderung berlomba-lomba untuk mencari keuntungan pribadi, kebersamaan hilang, dan ego sendiri yang dibesarkan. Dengan tidak adanya rasa pengabdian itu maka komitmen pada bangsa apalagi negara menjadi sirna. Persis dengan apa yang terjadi saat ini, orang berlomba-lomba menjarah uang negara, baik dengan cara korupsi atau melalui penetapan gaji yang sangat tinggi sehingga menguras dana negara.
Bagaimana bangsa ini kembali bermartabat dan sekaligus sejahtera, maka tidak ada lain harus dimulai dari awal, yaitu dengan cara membangun kembali kepribadian mereka dengan melakukan character building. Pembentukan karakter atau kepribadian itu sebenarnya adalah penanaman moral dan motivasi. Itu semua merupakan tugas dan tanggung jawab agama yaitu salah satunya adalah melalui pendidikan pesantren. Karena didalam pesantren ditanamkan sikap kemasyarakatan yang majemuk seperti toleransi, tolong menolong, dan menghargai sesama anak bangsa sehingga dengan pengaruhnya yang kuat di lingkungan masyarakat dan pemerintah, pesantren dapat memanfaatkan kontekstualisasi ajaran-ajarannya sekaligus melakukan kontrol bagi penyelenggaraan pemerintahan yang dipandang menyeleweng. Sehingga dari sinilah banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari dunia pesantren. Mengingat pengelola pesantren adalah masyarakat, maka pesantren sudah sepatutnya mengetahui secara detil masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Sehingga pesantren dapat berperan menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah. Pada titik inilah diharapkan ada titik temu yang positif antara pesantren dan pemerintah, termasuk dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga sumbangan pesantren dalam pembangunan demokratisasi bangsa dapat dilakukan secara riil tanpa harus terlibat dalam politik praktis. Memang agenda seperti ini butuh persiapan matang dan butuh kesabaran karena membutuhkan waktu lama. Yang terpenting harus sabar menghadapi kritik dari kelompok-kelompok oportunis, kelompok-kelompok pragmatis yang sinis dan kelompok-kelompok yang tidak peduli terhadap pembentukan kepribadian masyarakat dan bangsa. Tetapi ini langkah strategis yang harus dijalankan untuk membangun kembali bangsa dan negara ini agar menjadi negara merdeka, berdaulat, bermartabat dan sejahtera.
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren At-Tanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro

Rabu, 29 Juni 2011

Hari Anti Narkotika sedunia

Perang Melawan Narkoba
Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*
Tanggal 26 juni diperingati sebagai Hari Antimadat Internasional. Diharapkan dengan ditetapkan tanggal 26 juni sebagai Hari Antimadat Sedunia mampu mengubah dunia menjadi dunia antinarkoba maupun obat-obatan terlarang lainnya. Khususnya di negara kita, negara Indonesia.
Setiap tahun diperingati, tetapi setiap tahun bertambah pula pelaku dan korbannya. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri. Lemahnya aparat hukum menjadi salah satu faktornya. Berapa banyak bandar-bandar narkoba yang telah ditangkap dan kemudian dilepaskan begitu saja. Memang, hukuman mati sudah dicantumkan dalam UU No 22 Tahun 1997. Tetapi, perumusannya sangat hati-hati sehingga ujung-ujungnya para pelaku utama di balik bisnis narkoba jarang dieksekusi mati, dan dilepaskan begitu saja.
Sikap tidak antusias atau responsif jelas memudahkan para penjahat narkoba untuk beraksi. Tidak heran, negeri ini akhirnya dikenal sebagai surga bagi para penjahat narkoba. Meskipun, dampaknya menjadi neraka bagi para korban dan keluarganya. Bayangkan, tiap hari ada 40 orang mati sia-sia karena mengonsumsi narkoba. Dan, kebanyakan adalah usia muda atau produktif .
Data BNN (Badan Narkotika Nasional) menyebutkan bahwa dari  220 juta penduduk Indonesia, 6 juta diantaranya menjadi pelaku (pengedar dan pengguna) narkotika. 63% adalah mereka yang berusia antara 15-24 tahun. Sedangkan dana yang digunakan menghabiskan sekitar 15,37 triliun pertahunnya. Selain itu, Korban meninggal menunjukan angka 15 ribu pertahun. Yang tragis kebanyakan korbannya adalah anak-anak SD.(Jawa Pos 25/06/2011)
Generasi muda adalah generasi penerus bangsa, maju dan berkembangnya suatu negara bergantung pada kondisi dan keadan pemudanya, seberapa baik moral dan etika pemuda bangsa serta pola pikir mereka, maka sebaik itu pula perkembangan dan kemajuan bangsa tersebut. Dengan kata lain, Pemuda menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa dan negara.
Slogan “say no to  drugs”  harus tetap kita kibarkan dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun. Bukan  ketika hari antimadat saja kita menyuarakan perang melawan narkoba namun setiap hari kita harus perang melawan narkoba dan obat-obat terlarang lainnya, termasuk minuman keras dan semacamnya. Sehingga bukan hanya tanggal 26 juni yang kita peringati sebagai hari antimadat tetapi setiap hari harus menjadi hari anti narkoba. Agar negara kita bebas dari bahaya narkoba yang mematikan.
Akhirnya, penulis hanya bisa berharap agar institusi keluarga dan agama berdiri di garda depan dalam upaya pemberantasan narkoba. Jika nilai-nilai agama dan kecintaan kepada keluarga terpatri dalam hidup, dan bahwa hidup ini adalah sekadar pinjaman dari Tuhan sehingga tak layak disia-siakan, maka melawan narkoba bukanlah menjadi hal sulit lagi. Say No to Drugs, Say Yes to Life.
*Penulis adalah Mahasiswa Penerima BIDIKMISI, Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Menanti The Next Siami

Tentu nama siami tak asing lagi bagi telinga kita. Siami belakangan ini menjadi terkenal karena kejujuran dan keberaniannya mengungkapkan kecurangan dalam unas di SDN Gadel II yakni tempat anaknya sekolah. Kejadian tersebut menjadi fenomenal lantaran banyak media yang memberitakan sosok ibu yang terusir dari daerah tempat tinggalnya tersebut disebut-sebut sebagai “pahlawan kejujuran”.
Beberapa tokoh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pendukung Kejujuran, pada hari kamis (16/06) berkumpul di aula Mahkamah Konstitusi Mereka menghormati sekaligus memberikan apresiasi kepada siami atas perjuangannya untuk membela kejujuran yang mengungkapkan adanya kecurangan dalam unas yang terjadi di SDN Gadel II yakni tempat anaknya menuntut ilmu.(kompas)
Kejujuran belakangan ini menjadi barang langka yang sulit untuk dicari.  Kejujuran diyakini hanya sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kemudhorotan (bahaya). Dalam pikiran mayoritas masyarakat seakan-akan kata “jujur ajur” (yang jujur, akan hancur) menjadi  doktrin kuat bagi mereka bahwa siapa yang menerapkan sifat jujur maka ia akan hancur.
Kejujuran tak selamanya akan menjadikan seseorang menjadi hancur. Justru dengan kejujuran orang tersebut akan dinilai orang lain sebagai orang yang dapat dipercaya. Berbeda dengan seseorang yang melakukan kebohongan, walaupun sekali melakukan kebohongan maka orang lain akan menganggap bahwa orang tersebut akan berbohong untuk selamanya karena sudah menjadi kebiasaan, walaupun toh sebenarnya kejujuran yang ia katakan. Karena sudah dicap sebagai pembohong maka setiap perkataannya dianggap sebagi suatu kebohongan.
Tampaknya nilai-nilai kejujuran sudah lama menghilang dari ruang publik kita. Kejujuran juga telah pergi jauh dari dunia pendidikan kita, baik di tingkat SD maupun di Perguruan tinggi. Sebenarnya tidak hanya kasus menyontek massal dalam Unas yang dikatakan sebagai kecurangan atau kebohongan dalam dunia pendidikan (Academic Dishonesty). Budaya plagiarisme juga termasuk dalam lingkup kebohongan tersebut. Kegiatan plagiarisme telah menjadi konsumsi para pelaku akademisi. Sebagai contoh adalah budaya copy paste yang dilakukan para mahasiswa maupun para dosen. Baik itu saat mengerjakan tugas maupun membuat penilitian.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di negeri ini budaya kebohongan sudah menjadi budaya yang mewabah. Mulai dari kalangan paling atas sampai masyarakat bawah. Mulai dari yang jarang makan nasi sampai mereka yang berdasi pasti mengenal sifat ini.  Anehnya, ketika seseorang berusaha untuk menghilangkan sifat bohong ini, tiba-tiba kita semua tersentak. Kita merasa terkejut karena ditengah himpitan berbagai persoalan hidup, masih ada orang yang berusaha untuk berlaku jujur. Seperti yang dilakukan oleh siami, hanya demi menanamkan sifat kejujuran pada anaknya dia berani mengadukan kasus yang terjadi di SDN Gadel II. Dia rela menanggung akibatnya walaupun itu pahit asalkan kejujuran tertanamkan. Inilah yang menjadi potret langka. Kita menanti sang pahlawan kejujuran selanjutnya. Siapa siami-siami berikutnya?

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India