Tentu nama siami tak asing lagi bagi telinga kita. Siami belakangan ini menjadi terkenal karena kejujuran dan keberaniannya mengungkapkan kecurangan dalam unas di SDN Gadel II yakni tempat anaknya sekolah. Kejadian tersebut menjadi fenomenal lantaran banyak media yang memberitakan sosok ibu yang terusir dari daerah tempat tinggalnya tersebut disebut-sebut sebagai “pahlawan kejujuran”.
Beberapa tokoh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pendukung Kejujuran, pada hari kamis (16/06) berkumpul di aula Mahkamah Konstitusi Mereka menghormati sekaligus memberikan apresiasi kepada siami atas perjuangannya untuk membela kejujuran yang mengungkapkan adanya kecurangan dalam unas yang terjadi di SDN Gadel II yakni tempat anaknya menuntut ilmu.(kompas)
Kejujuran belakangan ini menjadi barang langka yang sulit untuk dicari. Kejujuran diyakini hanya sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kemudhorotan (bahaya). Dalam pikiran mayoritas masyarakat seakan-akan kata “jujur ajur” (yang jujur, akan hancur) menjadi doktrin kuat bagi mereka bahwa siapa yang menerapkan sifat jujur maka ia akan hancur.
Kejujuran tak selamanya akan menjadikan seseorang menjadi hancur. Justru dengan kejujuran orang tersebut akan dinilai orang lain sebagai orang yang dapat dipercaya. Berbeda dengan seseorang yang melakukan kebohongan, walaupun sekali melakukan kebohongan maka orang lain akan menganggap bahwa orang tersebut akan berbohong untuk selamanya karena sudah menjadi kebiasaan, walaupun toh sebenarnya kejujuran yang ia katakan. Karena sudah dicap sebagai pembohong maka setiap perkataannya dianggap sebagi suatu kebohongan.
Tampaknya nilai-nilai kejujuran sudah lama menghilang dari ruang publik kita. Kejujuran juga telah pergi jauh dari dunia pendidikan kita, baik di tingkat SD maupun di Perguruan tinggi. Sebenarnya tidak hanya kasus menyontek massal dalam Unas yang dikatakan sebagai kecurangan atau kebohongan dalam dunia pendidikan (Academic Dishonesty). Budaya plagiarisme juga termasuk dalam lingkup kebohongan tersebut. Kegiatan plagiarisme telah menjadi konsumsi para pelaku akademisi. Sebagai contoh adalah budaya copy paste yang dilakukan para mahasiswa maupun para dosen. Baik itu saat mengerjakan tugas maupun membuat penilitian.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di negeri ini budaya kebohongan sudah menjadi budaya yang mewabah. Mulai dari kalangan paling atas sampai masyarakat bawah. Mulai dari yang jarang makan nasi sampai mereka yang berdasi pasti mengenal sifat ini. Anehnya, ketika seseorang berusaha untuk menghilangkan sifat bohong ini, tiba-tiba kita semua tersentak. Kita merasa terkejut karena ditengah himpitan berbagai persoalan hidup, masih ada orang yang berusaha untuk berlaku jujur. Seperti yang dilakukan oleh siami, hanya demi menanamkan sifat kejujuran pada anaknya dia berani mengadukan kasus yang terjadi di SDN Gadel II. Dia rela menanggung akibatnya walaupun itu pahit asalkan kejujuran tertanamkan. Inilah yang menjadi potret langka. Kita menanti sang pahlawan kejujuran selanjutnya. Siapa siami-siami berikutnya?
Beberapa tokoh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pendukung Kejujuran, pada hari kamis (16/06) berkumpul di aula Mahkamah Konstitusi Mereka menghormati sekaligus memberikan apresiasi kepada siami atas perjuangannya untuk membela kejujuran yang mengungkapkan adanya kecurangan dalam unas yang terjadi di SDN Gadel II yakni tempat anaknya menuntut ilmu.(kompas)
Kejujuran belakangan ini menjadi barang langka yang sulit untuk dicari. Kejujuran diyakini hanya sebagai sesuatu yang akan mendatangkan kemudhorotan (bahaya). Dalam pikiran mayoritas masyarakat seakan-akan kata “jujur ajur” (yang jujur, akan hancur) menjadi doktrin kuat bagi mereka bahwa siapa yang menerapkan sifat jujur maka ia akan hancur.
Kejujuran tak selamanya akan menjadikan seseorang menjadi hancur. Justru dengan kejujuran orang tersebut akan dinilai orang lain sebagai orang yang dapat dipercaya. Berbeda dengan seseorang yang melakukan kebohongan, walaupun sekali melakukan kebohongan maka orang lain akan menganggap bahwa orang tersebut akan berbohong untuk selamanya karena sudah menjadi kebiasaan, walaupun toh sebenarnya kejujuran yang ia katakan. Karena sudah dicap sebagai pembohong maka setiap perkataannya dianggap sebagi suatu kebohongan.
Tampaknya nilai-nilai kejujuran sudah lama menghilang dari ruang publik kita. Kejujuran juga telah pergi jauh dari dunia pendidikan kita, baik di tingkat SD maupun di Perguruan tinggi. Sebenarnya tidak hanya kasus menyontek massal dalam Unas yang dikatakan sebagai kecurangan atau kebohongan dalam dunia pendidikan (Academic Dishonesty). Budaya plagiarisme juga termasuk dalam lingkup kebohongan tersebut. Kegiatan plagiarisme telah menjadi konsumsi para pelaku akademisi. Sebagai contoh adalah budaya copy paste yang dilakukan para mahasiswa maupun para dosen. Baik itu saat mengerjakan tugas maupun membuat penilitian.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa di negeri ini budaya kebohongan sudah menjadi budaya yang mewabah. Mulai dari kalangan paling atas sampai masyarakat bawah. Mulai dari yang jarang makan nasi sampai mereka yang berdasi pasti mengenal sifat ini. Anehnya, ketika seseorang berusaha untuk menghilangkan sifat bohong ini, tiba-tiba kita semua tersentak. Kita merasa terkejut karena ditengah himpitan berbagai persoalan hidup, masih ada orang yang berusaha untuk berlaku jujur. Seperti yang dilakukan oleh siami, hanya demi menanamkan sifat kejujuran pada anaknya dia berani mengadukan kasus yang terjadi di SDN Gadel II. Dia rela menanggung akibatnya walaupun itu pahit asalkan kejujuran tertanamkan. Inilah yang menjadi potret langka. Kita menanti sang pahlawan kejujuran selanjutnya. Siapa siami-siami berikutnya?
0 komentar:
Posting Komentar