Membangun Karakter Bangsa Melalui Pesantren
Oleh : Muhammad Ali Murtadlo*
Pesantren merupakan Institusi Pendidikan Islam tertua di tanah air yang memberikan andil sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan ummat dan bangsa. Dari ‘rahim’ pesantrenlah lahir tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kaum intelektual, dan pemimpin-pemimpin bangsa.
Dalam membangun karakter bangsa misalnya, pesantren merupakan penjaga moral yang sudah teruji. Lembaga ini telah mendidik kader-kader bangsa yang diramu secara militan untuk menjaga moralitas berdasarkan pemahaman keagamaan yang kuat. Di samping itu dunia pesantren juga memperkenalkan berbagai macam karakter manusia yang menjadi cermin masyarakat. Santri datang dari berbagai latar belakang ekonomi, pendidikan, dan budaya dididik secara bersama-sama tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Pada titik ini sebenarnya pesantren telah mengajarkan persamaan hak dan kewajiban santri (baca: warga negara) sekaligus mengajarkan berbagai sikap kemasyarakatan yang majemuk seperti toleransi, tolong menolong, dan menghargai sesama anak bangsa. Tidak heran jika pesantren dapat melahirkan tokoh-tokoh penting yang mampu berperan besar dalam membangun bangsa. Seperti contoh presiden RI ke 4 K.H Abdurrahman wahid (Gus Dur) adalah hasil dari didikan pesantren, begitu juga ayahnya KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri agama.
Kalau kita lihat Sejak masa Orde Baru bangsa ini mengalami degradasi. Kalau dulu pada masa Orde Lama dilakukan chrachter building (pembangunan karakter) maka pada masa Orde Baru dilakukan character assassination (pembunuhan karakter) yaitu dengan menuduh bahwa para tokoh yang hidup pada masa Orde Lama, yang berpikir nasionalis, chauvinis, kolot dan dogmatis sebagai tokoh anti kemajuan, tradisional dan sebagainya. Gagasan tentang nasionalisme atau kebangsaan pelan-pelan juga dikikis, pertama dengan memperkenalkan nasionalisme baru, yang tidak lagi sesuai berdasarkan ikatan etnik. Selanjutnya secara perlahan nasionalisme juga didelegitimasi, karena dianggap bentuk dari chauvinisme dan fanatisme atau rasa cinta tanah air secara berlebihan. Apalagi dengan munculnya isu globalisme pada 1990-an yang hingga saat ini terus berkembang, sehingga nasionalisme dianggap tidak lagi relevan bahkan dianggap kuno. Dari sinilah bangsa ini mengalami dua tahap, pertama dilakukan character assassination (pembunuhan karakter). Kemudian dilakukan nation assassination (pembunuhan spirit nasionalisme). Sebenarnya jika diteliti lebih dalam aktor dari pembunuhan ini adalah kelompok intelektual modernis, kalangan pejabat, kalangan professional dan aktivis prodemokrasi, sebagai kepanjangan tangan dari imperialisme global. Akibatnya ketika kesadaran dan semangat nasionalisme telah dibunuh, orang tidak berani lagi bicara nasionalisme, bahkan ikut meremehkan nasionalisme. Dan ketika semangat nasionalisme tidak ada lagi karena telah dibunuh. maka semua pengusaha asing dibiarkan masuk berdagang di sini, membangun aset-aset, sehingga menggeser semua usaha rakyat pribumi. Rakyat pribumi semakin kehilangan lapangan pekerjaaan, sementara pemerintah bersama aparatnya lebih membela kepentingan kapitalis asing, untuk menumpas usaha pribumi. Rakyat menjadi semakin miskin, kriminalitas meningkat dan konflik sosial semakin memanas. Akibatnya integrasi sosial menjadi makin pudar. Itulah yang membuat bangsa ini besar menjadi bangsa kecil, karena seluruh asetnya dijarah oleh rakyat dan pemerintah sendiri.
Ketika kepribadian (karakter) dianggap tidak penting, maka kehidupan orang menjadi sangat pragmatis, tidak punya emosi untuk berubah dan selalu berpegang pada kenyataan yang ada, sehingga tidak ada lagi rasa pengabdian kepada bangsa dan negara apalagi perjuangan. Padahal untuk membangun sebuah bangsa perlu pengabdian dan perjuangan. Tanpa pengabdian dan perjuangan mustahil sebuah bangsa akan terbangun menjadi bangsa yang maju, dan tanpa kepribadian orang akan kehilangan rasa pengabdian dan cenderung berlomba-lomba untuk mencari keuntungan pribadi, kebersamaan hilang, dan ego sendiri yang dibesarkan. Dengan tidak adanya rasa pengabdian itu maka komitmen pada bangsa apalagi negara menjadi sirna. Persis dengan apa yang terjadi saat ini, orang berlomba-lomba menjarah uang negara, baik dengan cara korupsi atau melalui penetapan gaji yang sangat tinggi sehingga menguras dana negara.
Bagaimana bangsa ini kembali bermartabat dan sekaligus sejahtera, maka tidak ada lain harus dimulai dari awal, yaitu dengan cara membangun kembali kepribadian mereka dengan melakukan character building. Pembentukan karakter atau kepribadian itu sebenarnya adalah penanaman moral dan motivasi. Itu semua merupakan tugas dan tanggung jawab agama yaitu salah satunya adalah melalui pendidikan pesantren. Karena didalam pesantren ditanamkan sikap kemasyarakatan yang majemuk seperti toleransi, tolong menolong, dan menghargai sesama anak bangsa sehingga dengan pengaruhnya yang kuat di lingkungan masyarakat dan pemerintah, pesantren dapat memanfaatkan kontekstualisasi ajaran-ajarannya sekaligus melakukan kontrol bagi penyelenggaraan pemerintahan yang dipandang menyeleweng. Sehingga dari sinilah banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari dunia pesantren. Mengingat pengelola pesantren adalah masyarakat, maka pesantren sudah sepatutnya mengetahui secara detil masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Sehingga pesantren dapat berperan menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah. Pada titik inilah diharapkan ada titik temu yang positif antara pesantren dan pemerintah, termasuk dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga sumbangan pesantren dalam pembangunan demokratisasi bangsa dapat dilakukan secara riil tanpa harus terlibat dalam politik praktis. Memang agenda seperti ini butuh persiapan matang dan butuh kesabaran karena membutuhkan waktu lama. Yang terpenting harus sabar menghadapi kritik dari kelompok-kelompok oportunis, kelompok-kelompok pragmatis yang sinis dan kelompok-kelompok yang tidak peduli terhadap pembentukan kepribadian masyarakat dan bangsa. Tetapi ini langkah strategis yang harus dijalankan untuk membangun kembali bangsa dan negara ini agar menjadi negara merdeka, berdaulat, bermartabat dan sejahtera.
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren At-Tanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro
0 komentar:
Posting Komentar