Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Minggu, 28 Oktober 2012

Idul Qurban di Pamekasan

Hari kedua Idul Adha tahun ini, banyak pengalaman menarik yang saya alami. Ketika baru saja membuka mata bangun dari mimpi panjang saat tidur setelah sholat subuh HP saya berdering. Ada sms masuk dari Ust Jumali, saya disuruh ke rumahnya. Ternyata saya diajak keliling Surabaya, mengambil kambing Qurban yang nantinya akan dibawa ke Pamekasan, Madura.
Pukul  08:45 WIB saya datang ke rumah. Sebelum berangkat untuk menjemput kambing saya diajak sarapan terlebih dahulu. Setelah perut terisi, dengan mengendarai Kijang Biru, kami berangkat. Ada beberapa tempat yang bakal kami tuju. Tempat pertama di masjid Baitul Falah, Ngagel, disana ada 2 kambing yang diambil. Kedua di Masjid At-taqwa, Jl. H.R. Muhammad, hanya satu kambing. Dan di Masjid At-taqwa, Gayung Kebonsari (Perumahan Injoko) satu kambing juga. Jadi ada 4 kambing yang kami bawa. Kami tiba di rumah kira-kira pukul 10:45 WIB.
***
Pukul 14:30 WIB, saya bersama P. Shoim (Mantan RT yang menjadi anak buah Ust. jumali) berangkat menuju Pamekasan. Dengan membawa kambing yang ditaruh di mobil bagian belakang kami bertolak kesana. Perjalanan lumayan menyenangkan, hanya saja ketika sampai di Perbatasan Bangkalan-Sampang, tepatnya di Jalan Raya Lomaer, terjadi antrean kendaraan hampir 1,5 KM, disebabkan ada jembatan runtuh. Otomatis pengguna Jalan harus bergantian karena hanya dapat dilewati satu sisi. Yang saya herankan, saya tidak melihat polisi sama sekali yang menertibkan disitu, malah warga yang harus bertugas mengatur lalu lintas. Dimana kamu pak polisi?!!!! Apakah tugasmu hanya menilang?
Ini kali kedua saya berkunjung di Pamekasan. Setelah dulu sempat bertolak kesana saat bersama Guru-Guru SMP ketika silaturrahmi di Rumah Ust. Nashirudin yang pada saat itu melangsungkan pernikahan. Kira-kira setahun yang lalu.
Surabaya-Pamekasan kami tempuh sekitar 4 Jam, itu karena ada kemacetan di daerah Lomaer, dan berhenti dua kali untuk sholat Asyar dan Magrhib. Kata P. Shoim, jika jalanan lancar Surabaya-Pamekasan hanya butuh waktu sekitar 3 jam. Saya percaya aja, karena dia yang lebih pengalaman.
Bagi yang belum pernah ke pamekasan saya kasih tahu bahwa jalannya kira-kira mirip jalanan di tretes, Berkelok-kelok dan menanjak. Hanya saja di pamekasan jarang kita jumpai orang yang menawarkan villa atau hotel seperti yang ada di Tretes. Karena memang di sana bukan daerah wisata terkenal seperti Tretes. Akan tetapi jangan salah, panorama di sana justru lebih asyik. Di sepanjang jalan sebelum menuju ke puncak di kiri jalan kita disuguhi panorama air laut, pantai, dan banyak kapal-kapal, hanya saja pantai disana kurang terawat.
Kami tiba pukul 19:30 waktu setempat. Setiba di sana kambing diturunkan dan kami langsung disambut dengan beraneka makanan. Ada sate, gule, mie, telur ceplok, ikan tongkol dan lain-lain. Saya hanya memilih telur, ikan tongkol dan sedikit kuah gule. Sembari mengobrol dengan tuan rumah kami melahap makanan dan kemudian disuguhi dengan segelas kopi khas Madura. Inilah yang saya kagumi dari warga Madura, penghormatan kepada tamu sangat tinggi. Kira-kira pukul 10 Malam saya baru memejamkan mata.
***
Keesokan harinya, setelah sholat shubuh, sebelum matahari menampakan sinarnya kami berkumpul di serambi rumah. Dengan ditemani secangkir kopi Madura saya asyik ngobrol bersama H. Nashirudin (Tuan Rumah), P. Shoim, P. Mustofa dan P. Khozen (Keduanya adalah tukang yang hendak mengecat mushola yang sedang dibangun di sebelah rumah). Obrolan dibuka oleh tuan rumah tentang kambing qurban. Dengan logat Madura asli tetapi dengan bahasa Indonesia beliau bertanya tentang harga kambing. Saya menjawab kalau harga kambing di Surabaya itu kisaran satu juta sampai dua juta, tinggal jenis dan ukurannya. Lho, kog saya tahu? Iya, Saya tahu dari orang yang kemaren berqurban kambing di mushola tempat saya, katanya dia membeli kambingnya harga Rp. 1.750.000. kambingnya lumayan besar, warna hitam.
Obrolan semakin menarik ketika masing-masing menceritakan pengalamannya tentang kambing. Saya sempat bertanya tentang jenis kambing gibas. Apa ada di sini (madura) kambing jenis ini? Katanya ada, namun harganya murah. Padahal kambing jenis gibas besarnya dua kali lipat dari kambing jawa (yang sering dijadikan qurban di kota-kota). Saya tahu karena saya dulu pernah menggembala kambing jenis gibas ini. Kambingnya berbulu tebal dan berbadan besar, tanduknya pun panjang-panjang dan melengkung. Namun saya kaget ternyata disini kambing jenis ini tidak begitu diminati.
Agak siang sekitar pukul 07:30, warga kampung Tlagah, Pegantenan, Pamekasan sudah mulai mengerumum di halaman rumah pak Nashir. Kyai yang bertugas menyembelih pun sudah datang. Anak-anak pun sudah meramaikan suasana. Saat itu saya diberi tugas oleh Ust. Jumali untuk mengambil gambar, atau lebih tepatnya sebagai juru dokumentasi.
Hewan Qurban yang hendak disembelih saat itu ada 7 ekor kambing dan seekor sapi. Sapi yang akan pertama kali disembelih. Namun sebelum disembelih sapi dan kambing-kambing tadi diambil gambarnya terlebih dahulu dengan kertas bertuliskan nama pekurban yang ditempelkan diperutnya, saya dengan sigap siap menjepretnya. Al-hasil gambar-gambar kambing telah memenuhi memori Kamera, dan siap untuk dilaporkan ke Ust. Jumali.
Selain itu saya juga mendokumentasikan semua aktifitas penyembelihan qurban. Mulai dari penjegalan, penyembelihan, panjagalan, sampai proses distribusi. Semua tidak ada yang luput dari jepretan kamera. Sampai-sampai foto-foto narsis pun saya cantumkan, termasuk foto saya pribadi. Hehe. Saya juga ikut berjibaku dengan daging kambing. Meskipun tidak banyak berandil, saya ikut membantu menguliti satu kambing.
Proses penyembelihan sampai pendistribusian selesai pukul 12:00. Saya merasa kecapekan meskipun hanya bertugas sebagai juru foto. Akhirnya, saya merebahkan badan dan ketiduran, saya baru terbangun ketika tuan rumah membangunkan saya untuk ikut makan siang.
Acara dilanjutkan dengan do’a bersama anak-anak yatim, yayasan LP3K Darul Ilmi, Pamekasan. Anak asuh ada sekitar 75 anak lebih yang tersebar di 6 desa, namun yang hadir saat itu hanya sekitar 20%, karena selain rumah mereka jauh-jauh saat itu di desa Tlagah sedang hujan cukup lebat, sehingga membuat mereka berhalangan hadir. Meskipun demikian, tidak mengurangi kekhusukan mereka dalam berdo’a. Do’a dipimpin langsung oleh Ust. Jumali. Setelah do’a usai kemudian dilanjutkan dengan makan-makan dan penyerahan daging kurban.
Sekitar pukul 16:30 saya kembali ke Surabaya bersama Kijang Biru yang disopiri P. Shoim. Seperti saat berangkat kemaren perjalanan berjalan mulus, hanya saja terjadi kemacetan di sepanjang perbatasan Sampang-Bangkalan tepatnya di Lomaer. Bahkan antrian kendaraan lebih parah, berjajar sekitar 4 KM lebih, pengguna jalan harus besabar dan berjalan merayap. Perjalanan pulang ini bukan hanya kami tempuh 4 jam tetapi sampai 6 jam. Pukul 23:00 saya baru tiba di Surabaya, Al-Ikhlas, markas tercinta.
Sungguh, ini adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan. !

Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya-Pamekasan, 27-28 Oktober 2012 M

Idul Qurban di Metropolitan


Seperti tahun lalu, saya tidak merayakan Idul Adha di kampung halaman. Dua tahun sebelumnya saya merayakan Idul Adha di Kota Beriman, Jombang. Tahun ini saya beridul adha di Kota Metropolitan, Surabaya.
Sebenarnya, tahun ini saya berencana beridul adha bersama kakak di Jombang, karena ada tanggungan mengurusi Qurban di Surabaya, saya membatalkan rencana itu. Tahun ini di Mushola yang saya tempati ada 3 ekor kambing yang diqurbankan. Sedangkan Tahun lalu, Jumlah hewan kurban di Jombang (tempat kakakQ) ada 25 Sapi dan 45 Kambing. Untuk tahun ini saya nggak mengetahui, karena saya tidak jadi bertandang  kesana.
Ada yang beda di Idhul Adha kali ini. Saya merasakan pengalaman-pengalaman yang unik dan asyik. Ini pertama kalinya saya beridul adha di Kota Metropolitan. Meskipun tidak bersama keluarga saya merasakan hawa kekeluargaan, ya keluarga baru bersama warga kampung Jemurwonosari, Wonocolo, Surabaya.
Sejak maghrib, takbir sudah berkumandang di seantero negri. Karena memang hari raya Idul Adha berlangsung serempak, tidak seperti Hari Raya Idul Fitri yang perayaannya selalu berbeda. Saya dan beberapa wargapun mengumandangkan takbir dengan penuh semangat. Sebenarnya Ba’da Magrib ada takbir keliling bersama santri TPQ Al-Jihad. Namun saya tidak mengikuti, dengan alasan meramaikan mushola.
Semakin malam, suara takbir semakin bergema. Sampai menjelang dini hari pun masih menggema. Jangan heran karena malam seperti ini tidak akan berulang besok malam, oleh karena itu umat islam sangat antusias untuk menghabiskan malam ini dengan lantunan takbir. Malam takbir hanya terjadi dua kali dalam setahun. Satu pada malam Idul Fitri dan satu pada malam Idul Adha, seperti saat ini. Hingga akhirnya, saya memejamkan mata terlelap bersama jutaan pasang mata lainnya, sekitar pukul 01:00 Dini hari.
Untuk Sholat Ied kali ini rencananya saya laksanakan di SMP Dharma Wanita Kota Surabaya. Saya sudah siap sejak pukul 05:30 WIB, namun harus menunggu Bu Anna yang belum siap, karena Nabil (anaknya) sempat nakal. Akhirnya sampai pukul 05:45 saya baru berangkat. Sesampai di SMP, ternyata sholat sudah selesai dilaksanakan. Wuh, saya sempat bingung mau sholat dimana. Untungnya di Halaman Kantor Pos Surabaya yang tadi saya lewati sholatnya baru mau dimulai, akhirnya saya sholat Ied di kantor Pos. Hmmm. Pengalaman yang tak terlupakan.
***
Setelah usai sholat Ied, kini saatnya proses penyembelihan kambing. Seperti yang saya jelaskan diawal, mushola yang saya tempati ada 3 ekor kambing yang akan diqurbankan. 2 ekor dari pak Pri yang 1 Ekor dari Muri, anaknya mbah samak, jamaah mushola.
Proses penyembelihan dimulai sekitar pukul 08:30 WIB. Sebelumnya di depan mushola sudah berkerumun banyak orang. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu, mbak-mbak, sampai bapak-bapak. Saya juga termasuk didalamnya ikut andil dalam proses penyembelihan, pengulitan, penjagalan sampai pendistribusian.
Banyak hal menarik yang saya dapatkan dari prosesi itu. Saya mendapatkan ilmu menguliti daging kambing yang sebelumnya belum pernah saya alami. Saya bisa lebih akrab dengan orang kampung yang sebelumnya belum seakrab ini. Saya bisa tahu lokasi-lokasi sempit di gang-gang kampung saat mendistribusikan daging. Dan masih banyak lagi. Akhirnya semua rangkaian penyembelihan qurban selesai sebelum sholat jum’at, dan ditutup dengan makan bersama di depan rumah sebelah mushola.
***
Malam harinya, sesudah sholat Isya’ saya bertandang di Masjid Istiqomah, Bendul Merisi, diajak nyate bersama teman-teman disana. Ada Khozen, Fathur dan beberapa teman penghuni masjid. Seru proses penyatean kali ini. Selain dengan alat terbatas, pengetahuan kami tentang sate pun terbatas. Akibatnya nggak karu-karuan.
Meskipun demikian, tidak membuat saya kecewa. Saya malah merasa senang, mendapat pengalaman baru, menarik dan asyik. Saya mendapat kenalan baru, dan tentunya dapat cerita baru yang nantinya akan menjadi sejarah tersendiri dalam hidup saya.
Hari ini cukup menyenangkan sekaligus melelahkan, saya pulang jam setengah 12 malam dan langsung menuju tempat peraduan, samudra impian.

Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya, 26 Oktober 2012 M

Minggu, 21 Oktober 2012

Bernostalgia dengan Masa Kanak-kanak (2)


Ini masih tentang masa lalu yang terlalu manis untuk dikenang. Ketika harus mengingat-ingat kembali masa itu terkadang membuat saya terharu dan tidak menyangka sampai sekarang saya masih hidup dan bisa mengingatnya kembali. Ketika duduk sendiri saat menjelang senja sepulang mengajar di TPQ, pernah terlintas dibenak bahwa suatu senja saya pernah hidup pula di kampung, mengandangkan kambing. Begitu juga ketika pagi sebelum berangkat mengajar di SMP, sempat terlintas bahwa pada waktu yang sama 5 tahun silam saya sedang memberi minum sapi, atau menggembalakan kambing di halaman rumah.
Masa kecil saya mungkin tak seberuntung masa kecil teman-teman sebaya. Ketika kebanyakan teman asyik bermain, saya harus membantu orang tua. Terkadang saya juga punya perasaan berontak, namun tak ada gunanya, lebih baik dinikmati saja pasti akan ada hikmahnya. Terkadang saya juga merasa mengapa masa kecil saya begitu mengharukan, tapi saya tidak mau mengatakan memprihatinkan, karena saya yakin masih banyak orang yang punya cerita lebih memprihatinkan dari saya.
Semenjak Madrasah Ibtida’iyah  (MI) saya sudah harus merasakan pahit-getirnya perjuangan hidup. Ketika kebanyakan teman sebelum berangkat sekolah pasti diberi uang saku, saya harus rela berangkat tanpa membawa uang saku. Ibuk hanya bilang “Engko nek istirahat muleh ae, mangan, buk-e gak nduwe duek”. Karena memang rumah saya tidak begitu jauh dari sekolah, hanya sekitar 200 Meter. Tapi sesekali ketika ibu punya uang pasti saya diberi tanpa harus meminta.
Saya jarang sekali meminta uang saku, karena saya tahu ketika orang tua punya pasti tanpa diminta saya akan dikasih. Itu berlaku sampai saya duduk di bangku Mts bahkan sampai saya lulus MA. Dan Alhamdulillah, saat ini saya bisa mengenyam pendidikan tinggi di Kota Metropolitan, tanpa membebani beliau sama sekali, dan bahkan meskipun tidak sebanding dengan perjuangan beliau dulu, saya sudah pernah memberi beliau uang hasil saya sendiri. Mungkin ini berkat kesabaran yang dulu pernah saya rasakan. Saya yakin bahwa Tuhan punya rencana indah dibalik skenario hidup saya.
Saya juga masih ingat saat duduk di bangku TK (Taman Kanak-Kanak) saya pernah minta ditunggu ibu sampai sekolah selesai, padahal saat itu beliau harus ke sawah. Maklum sewaktu TK saya kalahan, saya sering menjadi bahan usilan dan ejekan temen-temen, itu berlangsung sampai kelas 2 MI. Namun ketika kelas 3 dan seterusnya sampai lulus MI, integritas saya mulai diperhitungkan, mereka yang sering ngusilin dan berlagak jahat berubah menjadi segan dan baik kepada saya, karena mereka sering minta nyontoh mengerjakan PR ke saya. Apalagi ketika saya selalu meraih ranking 1 sejak kelas 4 MI, saya semakin disegani. Artinya saya sudah tidak lagi menjadi bahan kalahan, bahkan menjadi siswa panutan. Ketika kelulusan MI saya juga termasuk wisudawan terbaik, meskipun hanya bersaing dengan 21 anak dalam satu kelas. Setidaknya itu bisa membuat bangga diri sendiri, terlebih membuat bangga orang tua.
Setelah lulus MI, saya bingung harus meneruskan sekolah dimana. Temen-temen kebanyakan melanjutkan di Mts Ampel, Banjarjo. Ada juga yang di SMP Wali Songo. Banyak juga yang di SMP Negeri Sumberjo. Akhirnya, Tanpa sepengetahuan Orang Tua saya mendaftarkan diri di MTs At-Tanwir. At-Tanwir yang pada saat itu terkenal dengan biaya yang mahal sempat membuat Orang Tua tidak setuju dengan rencana saya. Namun ketika saya meyakinkan bahwa pasti ada jalan selagi ada kemauan, biaya bisa dicari sambil jalan. Akhirnya beliau mengizinkan.
Sejak saya dinyatakan masuk dan diterima menjadi siswa Mts At-Tanwir saya berkomitmen untuk tidak mengecewakan orang tua. Saya harus lebih semangat membantu beliau. Saya juga harus lebih semangat bekerja. Pada saat itu pekerjaan yang harus saya lakukan setiap hari adalah membungkusi krupuk, di rumah tetangga yang kebetulan punya pabrik krupuk (sekarang sudah gulung tikar). Setiap malam terkadang saya baru pulang pukul 22:00 WIB.
Bayaran yang saya terima pun tidak sebanding dengan kerja keras yang harus saya lakukan. Bayangkan 25 bungkus Krupuk (1 bendel) hanya dibayar Rp. 100. Untuk bisa mendapat Rp. 5.000 saja tiap hari, saya harus mampu membungkus 1.250 bungkus krupuk. Biasanya saya dan ibu hanya mampu mendapat rata-rata 3.000/Hari. Tapi tanpa disangka saya bisa membiayai sekolah, membeli seragam, melunasi uang LKS, sampai bisa bisa mendapat uang saku setiap hari.
Lokasi sekolah lumayan jauh, sekitar Sepuluh Kilometer dari rumah. Tidak mungkin saya harus jalan kaki setiap hari. Akhirnya saya dibelikan sepedah Pancal, saya masih ingat mereknya “Siroco” warna Merah. Sepeda inilah yang menemani saya setiap hari untuk pulang-pergi ke sekolah. Meskipun tidak bagus-bagus amat, namun Siroco ini berjasa sekali bagi saya dalam hal proses mencari ilmu.
Namun jangka disangka, semua berjalan mulus. Siroco ini sering ngambek. Ada aja masalahnya, mulai dari pedalnya pernah copot, ban bocor. Pernah juga saat pulang sekolah, sore hari, (di Mts At-Tanwir kelas 1&2 harus masuk siang, masuk pukul 12:30 dan keluar pukul 16:50) ketika masih kelas 1 MTs saya harus menuntun kurang lebih 2 KM karena bannya meletus. Untung saja saya bersama temen-temen, Atho’(saat ini kuliah di STAIN Kediri), Imam (Saat ini sedang bisnis counter Hp di Bojonegoro) dan Adi (sedang bekerja di Surabaya) merekalah temen seperjuangan semasa Mts dulu, yang selalu bersama, berangkat bersama pulangpun bersama. Meskipun sekarang sudah berada di jalan hidup masing-masing, Saya tetap rindu akan kebersamaan itu kawan.
Saat ini saya sudah merasakan kerasnya kehidupan di Kota Metropolitan. Harus beradaptasi dengan berbagai jenis, karakter manusia, harus bisa bersikap lebih dewasa. Saya teringat apa yang disampaikan Ustadz Sutiyar saat duduk di Kelas 3 Mts. Melalui pelajaran Mahfudlot beliau memaparkan apa yang disampaikan Imam Syafi’i melalui Sya’ir “Fi Madhi Safari”nya.
Saafir Tajid Iwadlon Amman Tufaariquhu# Wanshob Faina Ladzidza al-Aisyi FinNashobi
(Pergilah niscaya Engkau akan mendapat ganti dari orang yang Engkau tinggalkan# Berpayah-payahlah karena sesungguhnya nikmatnya hidup itu pada berpayah-payah)
Pernyataan itulah yang menjadi pemantik semangat A. Fuadi (dalam novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna) yang mengantarkan dia menuju kesuksesan bisa berkeliling dunia dan meraih berbagai beasiswa luar negeri. Jika kalian pernah membaca novelnya pasti tahu, syair itu menjadi kata mutira pembuka di halaman awal. Dan pernyataan itu juga setidaknya telah mampu merubah pola pikir saya dalam memaknai setiap jengkal kehidupan yang harus saya lalui. Salam Semangat !!!

Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya, 22 Oktober 2012 M

Sabtu, 20 Oktober 2012

Bernostalgia dengan Masa Kanak-kanak


Sekarang (Sabtu, 20 Oktober 2012) saya berada di kampung halaman. Kampung dimana saya dilahirkan. Ketika saya berada disini seakan semua kenangan tempo dulu teringat kembali. Saya jadi teringat ketika harus mencari rumput untuk sapi, saya teringat harus menggembalakan kambing sepulang sekolah, saya teringat harus membantu ibu di sawah ketika musim tanam padi, dan banyak lagi kenangan yang tak bisa kuungkapkan satu persatu.
Belum lagi kenangan bersama teman-teman semasa kecil. Ketika main kelereng, main Jumpritan, suri gendem, main karet, main bola, mencari burung, mencari belalang untuk makan burung, mencari jangkrik, main layangan, memancing, mencari ikan disungai, bluron, dan masih banyak permainan yang saya lupa namanya.
Saya masih teringat betul ketika itu saya masih kelas 4 MI, bersama temen-temen mandi di sungai (Bluron) yang airnya agak keruh, saking asyiknya kami bluron kami tidak menghiraukan bahwa air bertambah keruh, dan ternyata ulah kami tersebut membuat orang marah. Karena orang ini marah, tanpa diduga dia melemparkan semua baju kami ke sungai. Posisi Saya yang pada saat itu paling dekat dengan baju, saya langsung selurup hendak menyelamatkan. Ketika belum sampai memegang baju, tiba-tiba saya tenggelam terjebak sumur, karena saya belum lihai untuk berenang akhirnya saya tenggelam semakin dalam ke dalam sumur. Untungnya ada temen yang berusaha meraih tangan saya, akhirnya saya bisa terselamatkan. Bisa dibayangkan betapa takutnya saya saat itu, tidak bisa keukur berapa air sungai yang masuk dalam perut, dan yang paling saya takuti adalah saya pulang tanpa baju, karena baju saya tak ditemukan terbawa arus sungai. Sejak kejadian itu sampai sekarang saya masih trauma, tidak berani lagi bemain-main dengan air sungai. Sampai saat ini saya nggak bisa berenang.
Ada lagi, setiap musim kemarau tiba pasti di kampung saya banyak layang-layang beterbangan. Artinya musim kemarau tiba berarti tiba pula musim layang-layang. Mengenai layang-layang saya punya cerita menarik. Ketika angin berasal dari selatan otomatis layang-layang berada di arah utara, kebetulan kampong saya berada di utara. Ini adalah kebiasaan saya dan temen-temen yakni selain sambil mengibarkan laying-layang saya menunggu layang-layang yang putus dari kampung tetangga. Ketika ada yang putus, kami saling kejar-kejaran mengejar laying-layang itu. Kebetulan saat itu jam 17:00 WIB ada layang-layang Pateran putus. Saya dengan sekuat tenaga mengejar layang-layang itu. Singkat cerita layang-layang itu jatuh ditangan saya. Langsung saya berlari membawanya pulang dan menyembunyikannya di rumah. Hehe, kebiasaan se[erti ini jangan ditiru.
Sebaliknya, ketika musim hujan tiba kami biasanya menggeladak burung. Menggeladak burung adalah mengejar burung yang kedinginan karena hujan, biasanya ketika hujan lebat. Terkadang kami mendapat burung Cendet, gentilang, burung emprit dan lain-lain. Saking asyiknya biasanya kami lupa waktu, menjelang maghrib baru pulang.
Semua kenangan itu, hanya bisa saya kenang dan tak mungkin bisa terulang. Sekarang saya sudah tidak lagi mempunyai sapi, tidak lagi punya kambing, sudah tidak lagi bisa membantu ibu di sawah, dan tidak mungkin saya mengulangi waktu ketika masih MI dulu, sudah tidak bisa lagi main layang-layang, sudah tidak tidak bisa lagi menggeladak burung, dan mungkin temen-temen saya pada saat itu sudah tak ingat lagi dengan kenangan itu. Dan bahkan saya sudah tidak lagi bisa menemui mereka. Ada yang sudah menikah, ada yang berada di Luar Negeri menjadi TKI, ada yang melanjutkan pendidikan di Kota, ada juga yang di rumah membantu orang tuanya bekerja di sawah. Tapi saya yakin mereka punya cerita masing-masing, mereka punya jalan hidup masing-masing, begitu juga dengan saya. Yang harus saya lakukan sekarang adalah menikmati apa yang saat ini harus saya jalani, menatap masa depan dengan penuh kebahagiaan, dan menjemput cita-cita yang bergelimangan dengan kesuksesan. Mudah-mudahan !!!

Muhammad Ali Murtadlo
Kampung Halaman, Bojonegoro, 20 Oktober 2012 M.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India