Ini
masih tentang masa lalu yang terlalu manis untuk dikenang. Ketika harus
mengingat-ingat kembali masa itu terkadang membuat saya terharu dan tidak
menyangka sampai sekarang saya masih hidup dan bisa mengingatnya kembali.
Ketika duduk sendiri saat menjelang senja sepulang mengajar di TPQ, pernah
terlintas dibenak bahwa suatu senja saya pernah hidup pula di kampung,
mengandangkan kambing. Begitu juga ketika pagi sebelum berangkat mengajar di
SMP, sempat terlintas bahwa pada waktu yang sama 5 tahun silam saya sedang
memberi minum sapi, atau menggembalakan kambing di halaman rumah.
Masa
kecil saya mungkin tak seberuntung masa kecil teman-teman sebaya. Ketika
kebanyakan teman asyik bermain, saya harus membantu orang tua. Terkadang saya
juga punya perasaan berontak, namun tak ada gunanya, lebih baik dinikmati saja
pasti akan ada hikmahnya. Terkadang saya juga merasa mengapa masa kecil saya
begitu mengharukan, tapi saya tidak mau mengatakan memprihatinkan, karena saya
yakin masih banyak orang yang punya cerita lebih memprihatinkan dari saya.
Semenjak
Madrasah Ibtida’iyah (MI) saya sudah
harus merasakan pahit-getirnya perjuangan hidup. Ketika kebanyakan teman
sebelum berangkat sekolah pasti diberi uang saku, saya harus rela berangkat
tanpa membawa uang saku. Ibuk hanya bilang “Engko
nek istirahat muleh ae, mangan, buk-e gak nduwe duek”. Karena memang rumah
saya tidak begitu jauh dari sekolah, hanya sekitar 200 Meter. Tapi sesekali
ketika ibu punya uang pasti saya diberi tanpa harus meminta.
Saya
jarang sekali meminta uang saku, karena saya tahu ketika orang tua punya pasti
tanpa diminta saya akan dikasih. Itu berlaku sampai saya duduk di bangku Mts
bahkan sampai saya lulus MA. Dan Alhamdulillah, saat ini saya bisa mengenyam
pendidikan tinggi di Kota Metropolitan, tanpa membebani beliau sama sekali, dan
bahkan meskipun tidak sebanding dengan perjuangan beliau dulu, saya sudah
pernah memberi beliau uang hasil saya sendiri. Mungkin ini berkat kesabaran
yang dulu pernah saya rasakan. Saya yakin bahwa Tuhan punya rencana indah
dibalik skenario hidup saya.
Saya
juga masih ingat saat duduk di bangku TK (Taman Kanak-Kanak) saya pernah minta
ditunggu ibu sampai sekolah selesai, padahal saat itu beliau harus ke sawah.
Maklum sewaktu TK saya kalahan, saya sering menjadi bahan usilan dan ejekan
temen-temen, itu berlangsung sampai kelas 2 MI. Namun ketika kelas 3 dan
seterusnya sampai lulus MI, integritas saya mulai diperhitungkan, mereka yang
sering ngusilin dan berlagak jahat berubah menjadi segan dan baik kepada saya,
karena mereka sering minta nyontoh
mengerjakan PR ke saya. Apalagi ketika saya selalu meraih ranking 1 sejak kelas
4 MI, saya semakin disegani. Artinya saya sudah tidak lagi menjadi bahan
kalahan, bahkan menjadi siswa panutan. Ketika kelulusan MI saya juga termasuk
wisudawan terbaik, meskipun hanya bersaing dengan 21 anak dalam satu kelas.
Setidaknya itu bisa membuat bangga diri sendiri, terlebih membuat bangga orang
tua.
Setelah
lulus MI, saya bingung harus meneruskan sekolah dimana. Temen-temen kebanyakan
melanjutkan di Mts Ampel, Banjarjo. Ada juga yang di SMP Wali Songo. Banyak
juga yang di SMP Negeri Sumberjo. Akhirnya, Tanpa sepengetahuan Orang Tua saya
mendaftarkan diri di MTs At-Tanwir. At-Tanwir yang pada saat itu terkenal
dengan biaya yang mahal sempat membuat Orang Tua tidak setuju dengan rencana
saya. Namun ketika saya meyakinkan bahwa pasti ada jalan selagi ada kemauan,
biaya bisa dicari sambil jalan. Akhirnya beliau mengizinkan.
Sejak
saya dinyatakan masuk dan diterima menjadi siswa Mts At-Tanwir saya berkomitmen
untuk tidak mengecewakan orang tua. Saya harus lebih semangat membantu beliau.
Saya juga harus lebih semangat bekerja. Pada saat itu pekerjaan yang harus saya
lakukan setiap hari adalah membungkusi krupuk, di rumah tetangga yang kebetulan
punya pabrik krupuk (sekarang sudah gulung tikar). Setiap malam terkadang saya
baru pulang pukul 22:00 WIB.
Bayaran
yang saya terima pun tidak sebanding dengan kerja keras yang harus saya
lakukan. Bayangkan 25 bungkus Krupuk (1 bendel) hanya dibayar Rp. 100. Untuk
bisa mendapat Rp. 5.000 saja tiap hari, saya harus mampu membungkus 1.250
bungkus krupuk. Biasanya saya dan ibu hanya mampu mendapat rata-rata
3.000/Hari. Tapi tanpa disangka saya bisa membiayai sekolah, membeli seragam,
melunasi uang LKS, sampai bisa bisa mendapat uang saku setiap hari.
Lokasi
sekolah lumayan jauh, sekitar Sepuluh Kilometer dari rumah. Tidak mungkin saya
harus jalan kaki setiap hari. Akhirnya saya dibelikan sepedah Pancal, saya
masih ingat mereknya “Siroco” warna Merah. Sepeda inilah yang menemani saya
setiap hari untuk pulang-pergi ke sekolah. Meskipun tidak bagus-bagus amat,
namun Siroco ini berjasa sekali bagi saya dalam hal proses mencari ilmu.
Namun
jangka disangka, semua berjalan mulus. Siroco ini sering ngambek. Ada aja
masalahnya, mulai dari pedalnya pernah copot, ban bocor. Pernah juga saat
pulang sekolah, sore hari, (di Mts At-Tanwir kelas 1&2 harus masuk siang,
masuk pukul 12:30 dan keluar pukul 16:50) ketika masih kelas 1 MTs saya harus
menuntun kurang lebih 2 KM karena bannya meletus. Untung saja saya bersama
temen-temen, Atho’(saat ini kuliah di STAIN Kediri), Imam (Saat ini sedang
bisnis counter Hp di Bojonegoro) dan Adi (sedang bekerja di Surabaya) merekalah
temen seperjuangan semasa Mts dulu, yang selalu bersama, berangkat bersama
pulangpun bersama. Meskipun sekarang sudah berada di jalan hidup masing-masing,
Saya tetap rindu akan kebersamaan itu kawan.
Saat
ini saya sudah merasakan kerasnya kehidupan di Kota Metropolitan. Harus
beradaptasi dengan berbagai jenis, karakter manusia, harus bisa bersikap lebih
dewasa. Saya teringat apa yang disampaikan Ustadz Sutiyar saat duduk di Kelas 3
Mts. Melalui pelajaran Mahfudlot beliau memaparkan apa yang disampaikan Imam
Syafi’i melalui Sya’ir “Fi Madhi Safari”nya.
Saafir
Tajid Iwadlon Amman Tufaariquhu# Wanshob Faina Ladzidza al-Aisyi FinNashobi
(Pergilah
niscaya Engkau akan mendapat ganti dari orang yang Engkau tinggalkan#
Berpayah-payahlah karena sesungguhnya nikmatnya hidup itu pada berpayah-payah)
Pernyataan
itulah yang menjadi pemantik semangat A. Fuadi (dalam novel Negeri 5 Menara dan
Ranah 3 Warna) yang mengantarkan dia menuju kesuksesan bisa berkeliling dunia
dan meraih berbagai beasiswa luar negeri. Jika kalian pernah membaca novelnya
pasti tahu, syair itu menjadi kata mutira pembuka di halaman awal. Dan
pernyataan itu juga setidaknya telah mampu merubah pola pikir saya dalam
memaknai setiap jengkal kehidupan yang harus saya lalui. Salam Semangat !!!
Muhammad
Ali Murtadlo
Surabaya, 22 Oktober
2012 M