Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Minggu, 21 Oktober 2012

Bernostalgia dengan Masa Kanak-kanak (2)


Ini masih tentang masa lalu yang terlalu manis untuk dikenang. Ketika harus mengingat-ingat kembali masa itu terkadang membuat saya terharu dan tidak menyangka sampai sekarang saya masih hidup dan bisa mengingatnya kembali. Ketika duduk sendiri saat menjelang senja sepulang mengajar di TPQ, pernah terlintas dibenak bahwa suatu senja saya pernah hidup pula di kampung, mengandangkan kambing. Begitu juga ketika pagi sebelum berangkat mengajar di SMP, sempat terlintas bahwa pada waktu yang sama 5 tahun silam saya sedang memberi minum sapi, atau menggembalakan kambing di halaman rumah.
Masa kecil saya mungkin tak seberuntung masa kecil teman-teman sebaya. Ketika kebanyakan teman asyik bermain, saya harus membantu orang tua. Terkadang saya juga punya perasaan berontak, namun tak ada gunanya, lebih baik dinikmati saja pasti akan ada hikmahnya. Terkadang saya juga merasa mengapa masa kecil saya begitu mengharukan, tapi saya tidak mau mengatakan memprihatinkan, karena saya yakin masih banyak orang yang punya cerita lebih memprihatinkan dari saya.
Semenjak Madrasah Ibtida’iyah  (MI) saya sudah harus merasakan pahit-getirnya perjuangan hidup. Ketika kebanyakan teman sebelum berangkat sekolah pasti diberi uang saku, saya harus rela berangkat tanpa membawa uang saku. Ibuk hanya bilang “Engko nek istirahat muleh ae, mangan, buk-e gak nduwe duek”. Karena memang rumah saya tidak begitu jauh dari sekolah, hanya sekitar 200 Meter. Tapi sesekali ketika ibu punya uang pasti saya diberi tanpa harus meminta.
Saya jarang sekali meminta uang saku, karena saya tahu ketika orang tua punya pasti tanpa diminta saya akan dikasih. Itu berlaku sampai saya duduk di bangku Mts bahkan sampai saya lulus MA. Dan Alhamdulillah, saat ini saya bisa mengenyam pendidikan tinggi di Kota Metropolitan, tanpa membebani beliau sama sekali, dan bahkan meskipun tidak sebanding dengan perjuangan beliau dulu, saya sudah pernah memberi beliau uang hasil saya sendiri. Mungkin ini berkat kesabaran yang dulu pernah saya rasakan. Saya yakin bahwa Tuhan punya rencana indah dibalik skenario hidup saya.
Saya juga masih ingat saat duduk di bangku TK (Taman Kanak-Kanak) saya pernah minta ditunggu ibu sampai sekolah selesai, padahal saat itu beliau harus ke sawah. Maklum sewaktu TK saya kalahan, saya sering menjadi bahan usilan dan ejekan temen-temen, itu berlangsung sampai kelas 2 MI. Namun ketika kelas 3 dan seterusnya sampai lulus MI, integritas saya mulai diperhitungkan, mereka yang sering ngusilin dan berlagak jahat berubah menjadi segan dan baik kepada saya, karena mereka sering minta nyontoh mengerjakan PR ke saya. Apalagi ketika saya selalu meraih ranking 1 sejak kelas 4 MI, saya semakin disegani. Artinya saya sudah tidak lagi menjadi bahan kalahan, bahkan menjadi siswa panutan. Ketika kelulusan MI saya juga termasuk wisudawan terbaik, meskipun hanya bersaing dengan 21 anak dalam satu kelas. Setidaknya itu bisa membuat bangga diri sendiri, terlebih membuat bangga orang tua.
Setelah lulus MI, saya bingung harus meneruskan sekolah dimana. Temen-temen kebanyakan melanjutkan di Mts Ampel, Banjarjo. Ada juga yang di SMP Wali Songo. Banyak juga yang di SMP Negeri Sumberjo. Akhirnya, Tanpa sepengetahuan Orang Tua saya mendaftarkan diri di MTs At-Tanwir. At-Tanwir yang pada saat itu terkenal dengan biaya yang mahal sempat membuat Orang Tua tidak setuju dengan rencana saya. Namun ketika saya meyakinkan bahwa pasti ada jalan selagi ada kemauan, biaya bisa dicari sambil jalan. Akhirnya beliau mengizinkan.
Sejak saya dinyatakan masuk dan diterima menjadi siswa Mts At-Tanwir saya berkomitmen untuk tidak mengecewakan orang tua. Saya harus lebih semangat membantu beliau. Saya juga harus lebih semangat bekerja. Pada saat itu pekerjaan yang harus saya lakukan setiap hari adalah membungkusi krupuk, di rumah tetangga yang kebetulan punya pabrik krupuk (sekarang sudah gulung tikar). Setiap malam terkadang saya baru pulang pukul 22:00 WIB.
Bayaran yang saya terima pun tidak sebanding dengan kerja keras yang harus saya lakukan. Bayangkan 25 bungkus Krupuk (1 bendel) hanya dibayar Rp. 100. Untuk bisa mendapat Rp. 5.000 saja tiap hari, saya harus mampu membungkus 1.250 bungkus krupuk. Biasanya saya dan ibu hanya mampu mendapat rata-rata 3.000/Hari. Tapi tanpa disangka saya bisa membiayai sekolah, membeli seragam, melunasi uang LKS, sampai bisa bisa mendapat uang saku setiap hari.
Lokasi sekolah lumayan jauh, sekitar Sepuluh Kilometer dari rumah. Tidak mungkin saya harus jalan kaki setiap hari. Akhirnya saya dibelikan sepedah Pancal, saya masih ingat mereknya “Siroco” warna Merah. Sepeda inilah yang menemani saya setiap hari untuk pulang-pergi ke sekolah. Meskipun tidak bagus-bagus amat, namun Siroco ini berjasa sekali bagi saya dalam hal proses mencari ilmu.
Namun jangka disangka, semua berjalan mulus. Siroco ini sering ngambek. Ada aja masalahnya, mulai dari pedalnya pernah copot, ban bocor. Pernah juga saat pulang sekolah, sore hari, (di Mts At-Tanwir kelas 1&2 harus masuk siang, masuk pukul 12:30 dan keluar pukul 16:50) ketika masih kelas 1 MTs saya harus menuntun kurang lebih 2 KM karena bannya meletus. Untung saja saya bersama temen-temen, Atho’(saat ini kuliah di STAIN Kediri), Imam (Saat ini sedang bisnis counter Hp di Bojonegoro) dan Adi (sedang bekerja di Surabaya) merekalah temen seperjuangan semasa Mts dulu, yang selalu bersama, berangkat bersama pulangpun bersama. Meskipun sekarang sudah berada di jalan hidup masing-masing, Saya tetap rindu akan kebersamaan itu kawan.
Saat ini saya sudah merasakan kerasnya kehidupan di Kota Metropolitan. Harus beradaptasi dengan berbagai jenis, karakter manusia, harus bisa bersikap lebih dewasa. Saya teringat apa yang disampaikan Ustadz Sutiyar saat duduk di Kelas 3 Mts. Melalui pelajaran Mahfudlot beliau memaparkan apa yang disampaikan Imam Syafi’i melalui Sya’ir “Fi Madhi Safari”nya.
Saafir Tajid Iwadlon Amman Tufaariquhu# Wanshob Faina Ladzidza al-Aisyi FinNashobi
(Pergilah niscaya Engkau akan mendapat ganti dari orang yang Engkau tinggalkan# Berpayah-payahlah karena sesungguhnya nikmatnya hidup itu pada berpayah-payah)
Pernyataan itulah yang menjadi pemantik semangat A. Fuadi (dalam novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna) yang mengantarkan dia menuju kesuksesan bisa berkeliling dunia dan meraih berbagai beasiswa luar negeri. Jika kalian pernah membaca novelnya pasti tahu, syair itu menjadi kata mutira pembuka di halaman awal. Dan pernyataan itu juga setidaknya telah mampu merubah pola pikir saya dalam memaknai setiap jengkal kehidupan yang harus saya lalui. Salam Semangat !!!

Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya, 22 Oktober 2012 M

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India