Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa jauh sebelum modernitas
berkembang kedudukan kaum perempuan lebih dari sekedar memprihatinkan. Mereka
dipandang sebagai manusia yang tak berharkat dan tak punya martabat. Bahkan,
perempuan adalah sosok yang mempunyai image sebagai makhluk pembawa sial
yang memalukan dan tidak berhak berada pada tempat yang terhormat di
masyarakat. Perlakuan inhuman kepada kaum perempuan ini tercatat
berlangsung cukup lama sebelum datangnya islam.
Era itu dikenal dengan zaman jahiliyah, yang mana perempuan
diperlakukan layaknya binatang piaraan yang bisa dikontrol, dijual, atau bahkan
diwariskan. Lebih dari itu, sejarah mencatat bahwa Arab jahiliyah terkenal
dengan tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Dengan
alasan yang jelas-jelas tidak masuk akal, khawatir kelak mereka hanya merepotkan keluarga, tidak bisa berperang dan mudah ditangkap musuh
yang pada akhirnya harus ditebus.
Lebih Terhormat
Perlakuan tidak manusiawi itu sedikit demi sedikit
hilang seiring berkembangnya islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Islam, perempuan memperoleh
perhatian lebih. Begitu perhatiannya islam
terhadap kaum hawa, sampai-sampai diabadikan dalam salah satu surat Al-Quran yang disebut Surat An-Nisa (Wanita). Lebih dari itu, Islam melarang keras membunuh
anak-anak, terlebih membunuh anak perempuan.
Penjelasan terkait keadaan perempuan dalam Islam menunjukan bahwa kedudukan
perempuan diangkat martabatnya ketika Islam datang. Bahkan, kedatangan Islam bertujuan untuk menghapus segala bentuk intervensi dan pelecehan harkat martabat kaum hawa. Fazlur Rahman (1982) mencatat bahwa tak ada bukti sama sekali jika perempuan dalam Islam dipandang sebagai lebih rendah dari laki-laki. Malahan, Islam menempatkan perempuan ditempat
terhormat serta sebagai sosok yang mulia. Terlebih, bagi perempuan yang
menyandang status ibu.
Al-Qur’an memerintahkan setiap anak yang beragama Islam untuk bersikap hormat yang tinggi terhadap orang tua, terutama kepada ibu. Singkatnya, posisi dan
kedudukan perempuan pada zaman jahiliyah
ditaruh jauh di belakang lelaki, kemudian
saat Islam datang perempuan diangkat derajatnya
menjadi lebih terhormat.
Kaum Hawa Masa Kini
Kalau dulu perempuan hanya diberikan ruang dan tanggung jawab dalam
mengelola urusan rumah tangga. Bahkan, hak-hak dasar manusia yang seharusnya
dimiliki perempuan, seperti pendidikan, berkarir dan hak berpendapat
sering kali dikesampingkan. Kini, beriring kemajuan
etika dan pemikiran manusia, perempuan mulai diakui eksistensinya sebagai
manusia yang harus dihormati harkat dan martabatnya. Terlebih dengan adanya emansipasi
wanita, perempuan telah dianggap sejajar dengan laki-laki namun tetap dalam
peran masing-masing.
Perempuan yang tergambar hanya untuk masak, macak,
dan manak, kini mulai terkikis. Pasalnya, banyak perempuan yang telah
berkecimpung dalam dunia yang dahulu hanya lazim dilakukan oleh laki-laki, seperti
memperoleh pendidikan, berkarir, memimpin, dan bahkan ikut andil dalam
peperangan.
Bahkan, jika tidak ada aral melintang pemerintah akan
mengesahkan Undang-Undang Kesamaan dan Kesetaraan Gender (UU KKG) yang saat ini
masih berupa rancangan. Namun, Rancangan Undang-undang yang dinilai menuai kontroversi
ini masih digodok oleh DPR. Pasalnya, ada yang menganggap ini adalah sebuah
sikap berlebihan, yang nantinya hanya akan merusak konsep kesetaraan yang
selama ini sudah ada.
Konsep Keadilan
Dalam persoalan Kesamaan dan Kesetaraan Gender (KKG)
yang selama ini digembor-gemborkan, ada satu hal yang menjadi tuntutan yakni
keadilan. Keadilan yang dipahami selama ini adalah mendapat bagian yang sama
rasa dan sama rata, mempunyai kedudukan yang setara, mempunyai derajat yang
sepadan, memiliki persamaan hak dan kehendak, serta serba sama dalam berbagai
hal.
Jika konsep keadilan seperti itu yang diyakini, maka
perlu dilakukan pembaruan persepsi. Konsep adil bukanlah sama rata dan sama rasa
melainkan menempatkan sesuatu secara proporsional. Proporsional yang dimaksud
disini adalah “Wadhu syai’i fi mahalihi”, menempatkan sesuatu pada
tempatnya.
Sebagai contoh, Al-qur-an menyebutkan “Arrijaalu
Qowaamuuna ala An-nisa”, laki-laki lebih kuat dari pada perempuan yang kemudian
melahirkan beberapa aturan hukum. Misalnya, dalam hukum islam, masalah harta
pusaka (waris) wanita mendapat bagian setengah dari bagian laki-laki atau
laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan. Jika dilihat
dari mata telanjang tentu asumsi yang muncul adalah itu tidak adil. Namun, kita
perlu melihatnya lebih dalam dengan menggunakan rasionalitas sebagai pisau
analisa.
Dalam rumah tangga, yang menjadi tulang punggung
keluarga adalah laki-laki. Laki-laki yang bertanggung jawab memberikan nafkah
lahir maupun bathin. Lahir berupa papan, sandang, pangan dan nafkah bathin
berupa mengayomi keluarga dengan penuh kasih sayang. Sehingga beban yang ditanggung
laki-laki lebih besar daripada perempuan. Jadi wajar kalau laki-laki mendapat
bagian dua kali lipat dalam masalah waris. Itulah yang dinamakan proporsional.
Demikianlah konsep adil yang sebenarnya. Sehingga
apabila kaum perempuan memahami konsep itu dengan sebaik-baiknya, saya yakin
tidak ada lagi tuntutan kesamaan dan kesetaraan gender karena sejatinya
kesetaraan gender sudah ada sejak lama tanpa diperjuangkan seiring
berkembangnya islam. Sebagai manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa kita harus
meyakini bahwa hakikatnya semua manusia adalah setara, semua sama dihadapan
Tuhan. Hanya derajat Taqwa yang membedakan mana yang mulia dan mana yang bukan.
*) Pengurus IPNU PKPT IAIN Sunan Ampel Surabaya
**Diterbitkan di Suara Nahdliyin Muda, Edisi Perdana
0 komentar:
Posting Komentar