Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Senin, 27 Agustus 2012

Menyoal Kebiasaan Lobbying Mahasiswa**


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Terkadang suatu kebiasaan yang tidak kita sadari seringkali menjadi sesuatu yang patut untuk kita perbincangkan. Salah satunya adalah budaya lobbying dikalangan mahasiswa. Lobbying yang dalam bahasa ringannya dapat diartikan sebagai proses “tawar menawar” menjadi sesuatu yang tidak asing lagi, terutama bagi kalangan mahasiswa aktivis.
Dalam (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia, lobbi adalah melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian diartikan sebagai bentuk partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang. Sedangkan pelobian yang dilakukan mahasiswa seringkali mengarah kepada mempengaruhi kebijakan dosen, akademik, dekanat, rektorat maupun segala sesuatu yang berada di dalam kampus, untuk mencapai tujuan dan keinginan tertentu.
Sinonim dari lobbi adalah negosiasi. Lobbi dan negosiasi merupakan satu istilah yang mempunyai arti hampir sama. Jika ada seseorang mencoba mengubah keputusan orang lain demi tercapai tujuannya (entah bagaimana caranya), ini yang disebut lobbi. Jika seseorang merasa tidak melewati jalan mulus untuk mendapatkan keinginannya maka ia akan mencoba menggunakan cara lain yang tidak sesuai prosedur dengan jalan tawar menawar, itu yang disebut sebagai bentuk negosiasi.
Sejatinya, lobbying hanya dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan yang dilakukan anggota legislatife dan anggota badan sejenis. Namun sekarang sudah tidak demikian. Lobying sudah jamak dilakukan oleh mahasiwa untuk mempengaruhi kebijakan rektorat, kewenangan dekanat, sampai keputusan dosen.
Sebagai contoh kecil, ketika ada jam kuliah yang tidak sesuai dengan kehendak, mereka melobbi sang dosen untuk  memindah jam kuliah sesuai dengan keinginan. Contoh lain, ketika mereka dibebani tugas, mengeluh, meminta diperingan seringan-ringannya, dan masih banyak lagi contoh-contoh lain. Sebenarnya itu semua tidak masalah namun menjadi masalah ketika lobbying dilakukan berulang kali, dan tidak pada tempatnya.
Bagi sebagian mahasiswa lobbi merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengatasi segala perbedaan kepentingan. Dapat dimaklumi, karena memang manusia itu berbeda kepentingan. Lain kolam, lain pula ikannya. Begitu juga lain otak lain pula kehendaknya. Seringkali untuk menyatukan kehendak itu diperlukan sebuah musyawarah untuk menemukan jalan tengah. Salah satunya dengan melobi atau menegosiasi.
Dari sini, muncul beberapa pertanyaan yang patut kita renungkan. Apakah sah-sah saja jika lobbying dilakukan oleh mahasiswa yang sering sekali bolos untuk alasan yang tidak jelas, dan minta diijinkan untuk mengikuti ujian? Apakah sah-sah saja jika lobbying dilakukan oleh mahasiswa yang selalu ingin menghindari tugas yang diberikan oleh dosen? Apakah sah-sah saja jika lobbying dilakukan oleh mahasiswa yang bahkan tidak pernah mengerti apa yang selama ini ia pelajari dari semester awal sampai semester akhir? Tentu hanya mahasiswa bersangkutan yang faham jawabannya.
Sewajarnya Saja
Orang yang pandai melobi, pasti mereka mempunyai berjuta alasan, bahkan bermiliaran alasan untuk melancarkan “serangan”. Mereka pasti mempunyai strategi matang untuk “menjinakkan mangsa” agar menuruti kehendaknya. Ibarat mau perang mereka sudah siap dengan beberapa kemungkinan, siap untuk menjadi pemenang, dan siap untuk menjadi pecundang. Jika berhasil mempengaruhi lawan berarti mereka telah menang dalam medan perang, dan jika keinginan melobbi tak terpenuhi berarti mereka telah menjadi pecundang.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan lobbying, itu menjadi hak semua orang. Namun menjadi masalah ketika salah penempatan. Sebagai mahasiswa wajib bagi kita untuk bersikap kritis, mengkritisi semua kebijakan kampus yang tidak sesuai dengan hati nurani mahasiswa. Namun, juga jangan bertindak arogan dengan menghalalkan segala cara. Bukankah agama kita memerintahkan untuk tidak bersikap berlebihan?
Selama lobbying dilakukan dalam batas sewajarnya itu masih sah-sah saja. Namun ketika dilakukan tanpa etika, itu yang menjadi sangat tercela. Semua kembali kepada pribadi masing-masing. Seperti apa dan bagaimana kita menyikapinya. Tentu yang mempunyai jiwa kedewasaanlah yang mampu bersikap professional.
Menjunjung Kejujuran
Menjadi sangat penting ketika seseorang yang berkehendak untuk melakukan pelobian agar tetap berpegang teguh pada kejujuran. Kita tahu bahwa kejujuran saat ini menjadi barang mahal yang langka kita temui. Kejujuran yang seharusnya dipegang teguh kini telah luntur. terbawa oleh budaya yang begitu mesra bersenggama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung. Mengalir menjadi sebuah kebiasaan yang sebenarnya harus kita lawan. Lawan dengan keyakinan bahwa yang jujur pasti “mujur” bukan malah menjadi ‘ajur”.
Bukan berarti disini penulis merasa orang paling jujur, melainkan sekedar mengingatkan bahwa dalam pelobian jangan sampai terjadi penipuan atau kebohongan. Dosen, dekan, rektor dan siapapun itu, mereka tidak akan melihat seseorang yang pandai ngomong, pandai berargumentasi tetapi semua hanya bualan. Mereka akan segan kepada orang yang sedikit ngomong namun sesuai kenyataan. Bukankah demikian?
 *) Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi, Jurusan Ahwalus Syahsiyah (AS/IV), Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya.

**Diterbitkan di Buletin Tafakur, Sema Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya (Edisi Awal Agustus)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India