Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Terkadang suatu kebiasaan yang tidak kita sadari seringkali menjadi
sesuatu yang patut untuk kita perbincangkan. Salah satunya adalah budaya lobbying
dikalangan mahasiswa. Lobbying yang dalam bahasa ringannya dapat
diartikan sebagai proses “tawar menawar” menjadi sesuatu yang tidak asing lagi,
terutama bagi kalangan mahasiswa aktivis.
Dalam (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia, lobbi adalah melakukan
pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian diartikan sebagai bentuk partisipasi
politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para
pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan mempengaruhi keputusan
atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang. Sedangkan pelobian yang
dilakukan mahasiswa seringkali mengarah kepada mempengaruhi kebijakan dosen,
akademik, dekanat, rektorat maupun segala sesuatu yang berada di dalam kampus,
untuk mencapai tujuan dan keinginan tertentu.
Sinonim
dari lobbi adalah negosiasi. Lobbi dan negosiasi merupakan satu istilah yang
mempunyai arti hampir sama. Jika
ada seseorang mencoba mengubah keputusan orang lain demi tercapai tujuannya
(entah bagaimana caranya), ini yang disebut lobbi. Jika seseorang merasa tidak
melewati jalan mulus untuk mendapatkan keinginannya maka ia akan mencoba
menggunakan cara lain yang tidak sesuai prosedur dengan jalan tawar menawar, itu
yang disebut sebagai bentuk negosiasi.
Sejatinya, lobbying hanya dilakukan untuk mempengaruhi
kebijakan yang dilakukan anggota legislatife dan anggota badan sejenis. Namun
sekarang sudah tidak demikian. Lobying sudah jamak dilakukan oleh mahasiwa
untuk mempengaruhi kebijakan rektorat, kewenangan dekanat, sampai keputusan
dosen.
Sebagai contoh kecil, ketika ada jam kuliah yang tidak sesuai dengan
kehendak, mereka melobbi sang dosen untuk
memindah jam kuliah sesuai dengan keinginan. Contoh lain, ketika mereka
dibebani tugas, mengeluh, meminta diperingan seringan-ringannya, dan masih
banyak lagi contoh-contoh lain. Sebenarnya itu semua tidak masalah namun
menjadi masalah ketika lobbying dilakukan berulang kali, dan tidak pada
tempatnya.
Bagi
sebagian mahasiswa lobbi merupakan pendekatan yang paling efektif untuk
mengatasi segala perbedaan
kepentingan. Dapat dimaklumi, karena memang
manusia itu berbeda kepentingan. Lain kolam, lain pula ikannya. Begitu juga
lain otak lain pula kehendaknya. Seringkali untuk menyatukan kehendak itu
diperlukan sebuah musyawarah untuk menemukan jalan tengah. Salah satunya dengan
melobi atau menegosiasi.
Dari sini, muncul beberapa pertanyaan yang patut kita renungkan. Apakah sah-sah saja jika lobbying
dilakukan oleh mahasiswa yang sering sekali bolos untuk alasan yang tidak
jelas, dan minta diijinkan untuk mengikuti ujian? Apakah sah-sah saja jika lobbying
dilakukan oleh mahasiswa yang selalu ingin menghindari tugas yang diberikan
oleh dosen? Apakah sah-sah saja jika lobbying dilakukan oleh mahasiswa
yang bahkan tidak pernah mengerti apa yang selama ini ia pelajari dari semester
awal sampai semester akhir? Tentu hanya mahasiswa bersangkutan yang faham
jawabannya.
Sewajarnya Saja
Orang yang pandai melobi, pasti
mereka mempunyai berjuta alasan, bahkan bermiliaran alasan untuk melancarkan “serangan”.
Mereka pasti mempunyai strategi matang untuk “menjinakkan mangsa” agar menuruti
kehendaknya. Ibarat mau perang mereka sudah siap dengan beberapa kemungkinan, siap
untuk menjadi pemenang, dan siap untuk menjadi pecundang. Jika berhasil mempengaruhi
lawan berarti mereka telah menang dalam medan perang, dan jika keinginan
melobbi tak terpenuhi berarti mereka telah menjadi pecundang.
Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan lobbying, itu menjadi hak semua orang. Namun menjadi masalah
ketika salah penempatan. Sebagai mahasiswa wajib bagi kita untuk bersikap
kritis, mengkritisi semua kebijakan kampus yang tidak sesuai dengan hati nurani
mahasiswa. Namun, juga jangan bertindak arogan dengan menghalalkan segala cara.
Bukankah agama kita memerintahkan untuk tidak bersikap berlebihan?
Selama lobbying dilakukan
dalam batas sewajarnya itu masih sah-sah saja. Namun ketika dilakukan tanpa
etika, itu yang menjadi sangat tercela. Semua kembali kepada pribadi
masing-masing. Seperti apa dan bagaimana kita menyikapinya. Tentu yang
mempunyai jiwa kedewasaanlah yang mampu bersikap professional.
Menjunjung Kejujuran
Menjadi sangat penting ketika
seseorang yang berkehendak untuk melakukan pelobian agar tetap berpegang teguh
pada kejujuran. Kita tahu bahwa kejujuran saat ini menjadi barang mahal yang
langka kita temui. Kejujuran yang
seharusnya dipegang teguh kini telah luntur. terbawa oleh budaya yang begitu
mesra bersenggama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung. Mengalir
menjadi sebuah kebiasaan yang sebenarnya harus kita lawan. Lawan dengan
keyakinan bahwa yang jujur pasti “mujur” bukan malah menjadi ‘ajur”.
Bukan berarti disini penulis merasa
orang paling jujur, melainkan sekedar mengingatkan bahwa dalam pelobian jangan
sampai terjadi penipuan atau kebohongan. Dosen, dekan, rektor dan siapapun itu,
mereka tidak akan melihat seseorang yang pandai ngomong, pandai berargumentasi
tetapi semua hanya bualan. Mereka akan segan kepada orang yang sedikit ngomong
namun sesuai kenyataan. Bukankah demikian?
*) Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi,
Jurusan Ahwalus Syahsiyah (AS/IV), Syariah, IAIN Sunan Ampel Surabaya.
**Diterbitkan di Buletin Tafakur, Sema Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya (Edisi Awal Agustus)
0 komentar:
Posting Komentar