Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Selasa, 25 Desember 2012

Mengomentari Boleh Tidaknya Berijtihad



Senin malam selasa kemaren (24/12) saya mengahdiri Halaqoh Ilmiyah yang diadakan oleh HAMASS (Harokah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri) dengan tema “Mendewakan Madzahibul Arba’ah”. Saya hadir atas nama IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Memang menarik mengikuti seminar keagamaan seperti ini. Selain mendapat penyegaran paradigma berfikir dan menambah wawasan, juga bisa menjadi pengisi waktu luang daripada melamun sendirian di Kost. Apalagi tempatnya di Masjid akan mendapat pahala dan barokah lebih.
Pematerinya tidak tanggung-tanggung. Alumni Sidogiri yang S1-nya ditempuh di Universitas Islam ternama di Timur Tengah, Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum materi disampaikan, dengan membaca identitas pemateri saya jadi berfikiran pasti diskusi nanti bakalan menarik, dan penuh dengan perang pemikiran. Mengingat paradigma berfikirnya jebolan Al-azhar, biasanya cenderung liberal dalam menyikapi hukum islam, apalagi tema yang diangkat cukup menarik, “Mendewakan Madzahibul Arba’ah”. Dan peserta yang hadir mayoritas adalah warga Nahdliyin.
Ternyata benar dugaan saya. Banyak peserta yang tidak sejalan dengan apa yang disampaikan. Dalam pembicaraan mengenai ijtihad pemateri cenderung menggampangkan dan meremehkan soal ijtihad. Dia mengatakan bahwa pintu ijitihad masih terbuka lebar, dan kita tidak harus selalu bertaqlid buta dengan Madzahibul Arba’ah. Boleh bagi kita untuk berijtihad sendiri. Toh, jika ijtihad kita salah akan mendapat pahala satu, dan jika benar mendapat 2 kali lipat.
Menanggapi dan mengkritisi pemaparan pemateri, saudara Muhammad, Lc itu menjadi keharusan bagi kita. Dia mengutip perkataan Yusuf Qordhowi bahwa untuk menjadi mujtahid di masa sekarang jauh lebih mudah daripada menjadi mujtahid dimasa lalu. Ulama’ dulu memburu hadist satu saja, harus menempuh jarak bermil-mil. Sekarang cukup klik google atau di maktabah syamilah sudah muncul kitab-kitab yang diinginkan.
Memang dari segi mudah dan sulitnya menggali hukum islam dari sumber utama, Qur’an dan Hadist di masa sekarang jauh lebih mudah. Dengan kecanggihan tekhnologi segala sesuatu dapat teratasi cukup dengan mengklik. Namun apakah itu akan rasional jika kita membandingkan dari segi kualitas keilmuwan antara Ulama’ sekarang dengan ulama’ dahulu. Tentu tidak. Kita pasti memahami bahwa ulama’ sekarang tidak ada apa-apanya jika dibanding ulama’ salaf dahulu dalam hal keilmuwan, kewira’ian, kesholihan, kataqwaan dan sebagainya. Maka menganut apa yang sudah diijtihadkan ulama’ terdahulu akan menjadi lebih baik untuk menghindari kesesatan.
Dualisme Pendapat
Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah mngklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka.
Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab.
Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi.
Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari dadaku.
Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad mutlak).
Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun.
Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab itu mendapat tanggapan. Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim].
Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT.

Jalan Tengah
Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak.
Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang mujtahid mutlak.
Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).
Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."  
Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak menguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah.
Terlepas dari penjelasan diatas, saya tidak setuju dengan ungkapan Ibnu thaimiyah yang mengatakan: “Barang siapa yang mengatakan harus taqlid pada madzahibul arba’ah, maka ia harus cepat-cepat diperintahkan bertaubat dan jika ia tidak mau mencabut ucapannya, maka ia harus dibunuh”. Lebih baik taqlid dari pada membuat hukum baru yang justru sesat dan menyesatkan. Bukankah demikian?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India