Oleh:
Muhammad Ali Murtadlo*)
Publik
kembali digentarkan dengan ulah pejabat yang kontroversial. Setelah terkuaknya
kasus korupsi oleh beberapa oknum pejabat, kali ini digegerkan dengan kabar
pernikahan kilat yang dilakukan Bupati Garut, Aceng HM Fikri. Bupati yang tak
bermoral itu pun didemo masyarakat Garut untuk mundur dari jabatannya.
Menyaksikan
sikap pejabat publik yang demikian, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan
kepada pemimpin. Saat ini jelas sudah bahwa tindakan para pemimpin kita tidak
lagi mencerminkan sikap teladan. Sebagai pemimpin seharusnya memberi teladan
baik (uswah hasanah) kepada yang
dipimpin, bukan malah mempertontonkan sikap yang tidak sepantasnya dilakukan
oleh pemimpin. Dalam hal ini penulis mengatakan pemimpin sudah dalam kondisi abnormal. Yakni kondisi dimana pemimpin
sudah jauh menyimpang dari kondisi yang sewajarnya dilakukan oleh seorang
pemimpin.
Tentu
kita miris dan gusar dengan sikap public
figure yang seperti itu. Sepertinya kita memang benar-benar telah mengalami
krisis kepemimpinan. Seseorang yang menjabat pemerintahan tentu memiliki
tanggung jawab yang besar sebagai penyelenggara negara. Seharusnya mereka harus
sadar bahwa rakyatlah yang memilihnya. Suara rakyatlah yang menjadikan mereka menikmati
jabatan, maka tidak sepantasnya mereka mencederai jabatan dengan
kesewenang-wenangan.
Dalam
kasus pernikahan kilat Bupati Garut itu, Rakhmat Hidayat (2012) mencatat ada
beberapa alasan mengapa masyarakat begitu geram dengan kasus itu. Pertama, penistaan posisi perempuan dalam
relasi sosial kuasa seorang penyelenggara negara. Pernikahan yang hanya
berlangsung empat hari disertai dengan talak melalui pesan singkat tentu saja
memberikan luka mendalam bagi kaum perempuan. Perempuan berada pada posisi yang
termarjinalkan. Tidak heran jika kalangan perempuan mengecam keras
perilaku Bupati Garut yang menempatkan perempuan ibarat komoditas yang bisa
dimanfaatkan kapan saja, dan dibuang kapan saja.
Kedua, pada posisi yang lebih mendasar
adalah ihwal terdegradasikannya etika publik seorang pejabat dalam relasi
sosial politik. Etika publik menjadi persoalan krusial dalam posisi Aceng
sebagai bupati. Ini bukan lagi soal privasi seorang bupati, tetapi sudah
bergeser ke ranah publik karena otoritas politik yang melekat pada seorang Aceng
Fikri.
Penulis menilai tindakan yang dilakukan
Bupati itu merupakan sifat peremehan terhadap tindakan sepele. Seseorang yang
menjadi public figure tidak
sepantasnya melakukan hal-hal yang ceroboh, sekecil apapun itu. Mungkin Aceng
bisa mengelak dan beralasan bahwa pernikahan kilat itu adalah masalah
pribadinya. Mau bertindak apa saja, terserah dia. Namun jangan dinafikan bahwa ranah pribadi dan
ranah publik sangat tipis batasnya. Bahkan, ranah pribadi sering kali hilang
dalam otoritas politik seorang pejabat negara. Seandainya pernikahan siri dan
perceraian kilat itu dilakukan oleh penjual bakso, atau tukang pijat mungkin
akan mudah terselesaikan melalui jalur kekeluargaan. Namun ini beda, pernikahan
siri dan perceraian kilat tersebut dilakukan oleh public figure, yang berstatus pemimpin pula, tentu tidak semudah
itu.
Wahai
Pemimpin, Tirulah Muhammad SAW
Seharusnya para pemimpin meniru corak kepemimpinan Rasulullah
Muhammad SAW. Pada prinsipnya, pola kepemimpinan yang dicontohkan Nabi Muhammad
mengacu kepada empat sifat yang biasa kita sebut sebagai sifat wajib seorang
rasul; yakni jujur (sidiq), dapat dipercaya
(amanah), menyampaikan (tabligh), dan cerdas (fatanah). Keempat sikap tersebut
diimplementasikan oleh Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai rasul maupun
ketika menjadi kepala negara.
Kejujuran sudah pasti menjadi kunci utama kesuksesan seorang
pemimpin. Mustahil orang yang selalu berbohong mampu membawa perubahan bagi
bangsanya. Jujur di sini adalah keselarasan antara ucapan dan tindakan nyata,
serta komitmennya terhadap kepemimpinan yang sedang diembannya. Dalam kata
lain, pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi.
Sifat dapat percaya merupakan sifat wajib bagi seorang pemimpin.
Orang yang sekali saja melakukan kesalahan (tindakan tercela) sudah barang
tentu kepercayaan publik akan hilang. Ia akan dicap sebagai penjahat, meskipun kejahatan
itu dilakukan hanya sekali, dan tanpa disengaja sekalipun.
Begitu pun dengan sikap yang ketiga, tabligh (menyampaikan). Jika dalam konteks kenabian makna tabligh terbatas pada penyampaian Nabi
Muhammad atas semua ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada umat-Nya. Namun, dalam konteks
kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara, tabligh dapat dimaknai sebagai bentuk penyampaian seorang pemimpin
atas amanah konstitusi Negara. Penyampaian amanah konstitusi misalnya, menjaga
kesejahteraan rakyat, keadilan, dan keamanan Negara. (Masduri:2012).
Sikap tabligh merupakan implementasi
dari kedua sikap sebelumnya, yakni sidik dan amanah. Pemimpin yang jujur dan amanah
pasti akan tabligh, sebab tabligh merupakan dampak dari kedua
sikap tersebut.
Yang terakhir adalah fatanah
(cerdas). Seorang pemimpin yang ideal juga harus memiliki kategori ini, cerdas.
Sikap cerdas atau bisa dikatakan menjadi modal dasar bagi siasat seseorang
dalam memimpin masyarakatnya. Misalnya, kecerdasan dalam menyejahterakan
rakyat, kecerdasan dalam menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, kecerdasan
dalam menjaga keamanan dan stabilitas negara dari ancaman luar, kecerdasan
dalam memberantas tindak korupsi serta kecerdasan dalam menempatkan diri tidak
berbuat ceroboh dan tidak senonoh.
Keempat sikap tersebut telah terbukti mampu membawa Nabi Muhammad
sukses dalam memimpin¸ baik sejak beliau di Madinah atau pascapembukaan Kota
Mekah (fathul Makkah), di mana saat itu kekuasaan Islam terus berkembang.
Bahkan, Nabi Muhammad tidak butuh waktu lama. Hanya butuh sebelas tahun beliau
mampu menaklukkan seluruh jazirah Arab.
Selain keempat sikap itu tentu masih banyak sikap bijak lainnya
sebagai bumbu yang mampu memaniskan kepemimpinan yang pernah dicapai Nabi
Muhammad; seperti sikap pemberani, tegas, berpendirian kokoh, respek dan
memahami kebutuhan masyarakat.
Mungkin ada yang berdalih: Nabi Muhammad adalah manusia yang
dipilih oleh Allah SWT. Nabi Muhammad memiliki sifat ma’shum (terhindar dari dosa). Namun, mari sekarang kita posisikan
Nabi Muhammad sebagai kepala negara atau pemimpin bangsa, beliau adalah manusia
biasa. Pada posisi itu beliau juga sama seperti manusia atau pemimpin pada
umumnya, kemungkinan untuk melakukan tindakan penyimpangan juga ada. Namun,
karena Nabi paham posisi dan tanggung jawabnya, ia bisa menjalankan amanahnya
sebagai kepala negara dengan baik.
Terakhir, penulis dan jutaan penduduk Indonesia bahkan semua umat
manusia berharap para pemimpin dapat berkaca. Berkaca kepada cara dan corak
kepemimpinan yang dicontohkan Nabi Muhammad. Penulis yakin dengan
mengimplentasikan ke empat sifat tersebut pemimpin akan sukses memimpin
rakyatnya, terutama memimpin Indonesia. Semoga saja bisa. !
*) Guru Pembimbing IMTAQ di SMP Dharma Wanita, Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar