Lama tak menuliskan catatan perjalanan membuat tangan saya canggung untuk mengetik di keybord. Apalagi tombol S dan W di laptop tidak berfungsi, itu menambah rasa malas saya untuk kembali menulis. Tapi kalau tidak dimulai sekarang dan hanya menuruti rasa malas, saya hanya menjadi manusia yang terbuai dengan kemalasan. Padahal kata orang bijak, kemalasan adalah awal dari sebuah kegagalan.
Catatan
perjalanan kali ini adalah tentang pertama kalinya saya backpapckeran ke Jawa Tengah. Bersama teman-teman Teaching Clinic
(TC) 6 Global English Pare, saya hendak menaklukan puncak Merbabu. Gunung Merbabu
yang terletak di antara Kabupaten Magelang dan Boyolali itu menarik minat kami untuk
menginjakan kaki di puncaknya. Rencana backpackeran
ini terjadi begitu saja ketika kami sedang makan sore di sebuah warung
sederhana dekat BEC. Karena libur periode yang panjang, sekitar seminggu,
membuat kami ingin menghabiskan waktu tersebut dengan sesuatu yang unforgetable, tak terlupakan. Akhirnya,
setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk mendaki Gunung Merbabu.
Bagi
saya ini bukan pertama kalinya naik gunung tapi ini pertama kalinya saya
mendaki gunung yang berada di Jawa Tengah. Jawa Tengah ada beberapa gunung,
seperti Merbabu, Merapi, Slamet, Sindoro, Sumbing, Andong dan lain-lain. Untuk
sementara, kami memilih Merbabu menjadi tujuan pertama untuk ditaklukan,
kedepannya insya’Allah kami akan mengunjungi gunung-gunung lainnya.
Kami
bersembilan orang, beranggotakan Saya, Hans, Dul, Dede, Bella, Lili, Aab, Fiki
dan Taufik. Enam orang berangkat dari Pare, sisanya tiga orang yang disebutkan
terakhir di atas menunggu di Yogyakarta (Jogja). Enam orang termasuk saya
berangkat dari Pare pukul 12:00 menuju Jogja via Bus lewat Jombang. Kami tiba
di terminal Giwangan pukul 10 malam. Di sana sudah Taufik sudah menunggu
kedatangan kami, kemudian mencari makan dan tempat bermalam. Kami bermalam di
Masjid At-Taqwa kelurahan Giwangan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. O ya,
tarif dari Pare ke Jombang Rp. 10.000/orang dan Jombang ke Jogja Rp.
46.000/orang.
Pukul
10 pagi kami menunggu dua teman lagi yang baru datang dari Tasikmalaya, Aab dan
Fiki di Masjid Terminal, setelah meraka datang kemudian kami menuju ke Pos
pendakian jalur Wekas. Sebenarnya, Merbabu mempunyai tiga jalur pendakian,
Cunthel, Selo dan Wekas, namun kami memilih jalur Wekas karena beberapa
pertimbangan, yakni banyak sumber air dan lebih cepat dari pada lewat jalur
lainnya. Untuk menuju Wekas kami harus naik bus menuju terminal Magelang
kemudian transit via bus jurusan Kopeng dan turun di desa Wekas. Tarif dari
terminal Giwangan menuju Magelang Rp. 12.000 dan Magelang menuju Wekas Rp.
8.000. Untuk menuju Pos TPR harus naik angkutan lagi, biasanya ojek dengan
tarif Rp. 25.000 /orang atau nyarter mobil. Namun kami memilih jalan kaki untuk
menuju ke sana. Hitung-hitung sebagai pemanasan.
Kami
tiba di Wekas sekitar pukul 2:00. Sebelum mulai jalan kaki menuju pos
pendakian, kami menyiapkan bekal yang kurang, sholat dan mengisi perut di
warung dekat pertigaan jalan. Setelah semua beres, kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan pertama memang menantang, kami disuguhi dengan track menanjak dari
awal sampai menuju di Pos TPR. Melewati hutan dengan pohon tua yang menjulang
tinggi dan pemukiman penduduk membuat rasa semangat kami membuncah. Perjalanan
yang jika ditempuh dengan ojek bertarif Rp. 25.000/orang itu terasa sebentar
meskipun kami jalan kaki.
Akhirnya,
setelah sampai di Pos TPR kami melakukan pendaftaran. Kami harus merogoh Rp.
5.000/orang untuk bisa mendapatkan izin dan selembar peta serta penjelasan dari
ranger. Pukul 4:00, setelah berdo’a
agar lancar, kami start pendakian yang sebenarnya. Wekas memang track yang
menantang dari awal hingga akhir kami harus melewati track yang menanjak. Beda
dengan track Arjuna-Welirang via tretes yang sudah tersusun batu, track Merbabu
via Wekas ini belum berbatu, masih tanah tapi menanjak.
Merbabu
mempunyai tiga puncak, puncak syarif, kentheng songo dan ............ untuk
menuju ke puncak-puncak tersebut harus melewati Pos 1, Camping Ground,
Pemancar, Pos 2, Pos 3, Watu Tulis, Jembatan Setan. Jarak antara Pos satu dan
lainnya variatif. Kami sampai di Camping Ground sekitar pukul 8;00 malam,
singgah sebentar untuk memasak dan menunaikan sholat. Udara dingin sekali,
apalagi air yang kami pakai wudlu, membuat tulang dan kulit kami mati rasa. Meskipun
waktu itu bulan purnama kami baru melihat kemunculan bulan setelah melakukan
sholat. It is so amazing, beautiful
scenery, full-moon beside of twice mount. Tanpa berpikir panjang, kami
langsung mengabadikan momen tersebut.
Kami
mendirikan tenda dan bermalam di bawah Watu Tulis. Waktu mendirikan tenda kami
mengalami tragedi yang mengherankan. Badai menerjang kencang ketika kami sedang
mendirikan tenda. Tiang tenda yang sedang kami dirikan berubah-rubah jumlah,
padahal sebelum kami masukan di flying sheet jumlahnya sama tapi setelah dimasukan
jumlahnya beda dan memaksa kami untuk mengganti. Namun anehnya, setelah kami
ganti dengan jumlah yang sama dan didirikan lagi jumlahnya berbeda. Kejadian
ini terjadi berulang-ulang. Hingga akhirnya kami berhasil mendirikan satu tenda
sempurna dan yang satunya asal-asalan.
Keesokan
harinya, udara dingin begitu menggigilkan kulit kami. Dari kejauhan di arah
barat terlihat dua puncak gunung, sepertinya itu adalah puncak
Sindoro-Sumbing. Setelah mempersiapkan
sarapan, membereskan tenda dan sebagainya kami melanjutkan perjalanan.
Sayangnya, kabut tebal dan kerasnya tiupan badai mengiringi perjalanan dan
menghalangi pemandangan kami untuk menikmati keindahan alam sekitar. Setelah
berjalan kurang lebih 2-3 jam kami sampai di Puncak Syarif. Lagi-lagi kabut
mengurangi penglihatan kami untuk menikmati keindahan pemandangan alam yang
begitu menakjubkan.
Setelah
puas dengan Puncak Syarif kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Kentheng
Songo. Jembatan setan yang diceritakan di internet begitu mencengangkan ternyata
tidak sedramatisir itu. Jembatan setan hanya tebing kecil yang bisa dilewati
dengan jalan pintas. Memang untuk mencapai Puncak Kentheng Songo dibutuhkan
energi ekstra pasalnya kemiringan bisa sampai 60 derajat dengan track batu
licin. Kami tidak begitu lama di Kentheng Songo, setelah menjamak qhosor shalat
dhuhur dan asyar, pukul 03;30 sore kami harus meninggalkan puncak karena hujan
turun.
Untuk
perjalanan turun kami memilih jalur Selo. Menurut keterangan internet yang kami
baca Selo merupakan jalur dengan pemandangan yang menakjubkan. Gunung Merapi
yang menjulang tinggi dapat kami nikmati. Namun sayang, lagi-lagi kabut tebal
menghalangi pemandangan kami. Meskipun demikian, selama perjalanan turun itu
sesekali kami bisa melihat kemegahan Merapi dan mengambil gambar.
Perjalanan
turun ini sedikit menguras tenaga dan adrenalin. Badai kencang, kabut serta
hujan rintik-rintik menemani perjalanan turun kami. Kami sempat kehilangan arah
setelah sampai di Sabana I, untungnya sebelum hari mulai gelap kami menemukan
jalan. Namun lagi-lagi jalan yang kita temukan ternyata jalur yang jarang
dilewati. Itu bisa kita ketahui karena track yang kita lewati berupa
alang-alang lebat dan rumput panjang serta banyak jalan bercabang, selain itu
sebelum pos 1 ternyata ada arah panah yang menunjukan bahwa untuk menuju puncak
bukan ke arah yang kita lewati melainkan ke arah lain. Saya yang berada di
depan sebagai penunjuk jalan merasa was-was, takut kalau salah arah, namun
dengan bekal yakin kami sampai di Base Camp Selo dengan selamat.
Kami
bermalam di Base Camp Selo dengan kondisi yang kusut dan lelah. Setelah
bersih-bersih diri, sholat dan sebagainya kami merebahkan badan. Pada keesokan
harinya kami diantar oleh yang punya Base Camp ke pasar Selo dengan mobil Pick
Up bertarif Rp. 150.000. Dari pasar Selo menuju terminal Boyolali kami harus
membayar Rp. 10.000/orang. Perjalanan berlanjut dari terminal Boyolali ke Solo.
Untuk ke Solo kami tidak menggunakan angkutan umum melainkan menumpang truck
yang kami berhentikan di dekat lampu merah. Sampai di stasiun Purwosari kami
naik KA Prameks (Prambanan Ekspres) menuju stasiun Tugu dan kemudian menikmati
satu malam satu hari jalan-jalan di Jogja.
Dengan
moda Trans Jogja kami jalan-jalan di sekitar Malioboro dan Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY). Baru pada Rabu malam setelah Isya’ kami meninggalkan Jogja
dengan segala kenangannya. Kami balik pada malam hari dengan pertimbangan bisa
tidur di bus dan akan sampai di Pare pada pagi hari. Namun, ketika sampai di
terminal Jombang, handphone seorang teman dan juga kamera dlsr yang kita
gunakan mengambil gambar selama perjalanan raib beserta file yang ada di
dalamnya.
Pare, 09 April 2015.
Muhammad Ali Murtadlo
2 komentar:
boro2 saya ke mt merbabu ke bromo aja udah loyo :'(
tapi asyik juga ya mas kalo backpakeran bareng temen, saya kalo ke mana2 solo traveler mulu :'(
Iya mbak. Belum coba sih. Backpackeran bisa bikin stress hilang! :D
Posting Komentar