Senin malam selasa kemaren (24/12) saya mengahdiri Halaqoh
Ilmiyah yang diadakan oleh HAMASS (Harokah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri)
dengan tema “Mendewakan Madzahibul Arba’ah”. Saya hadir atas nama IPNU IAIN
Sunan Ampel Surabaya.
Memang menarik mengikuti seminar keagamaan seperti
ini. Selain mendapat penyegaran paradigma berfikir dan menambah wawasan, juga
bisa menjadi pengisi waktu luang daripada melamun sendirian di Kost. Apalagi
tempatnya di Masjid akan mendapat pahala dan barokah lebih.
Pematerinya tidak tanggung-tanggung. Alumni Sidogiri
yang S1-nya ditempuh di Universitas Islam ternama di Timur Tengah, Al-Azhar,
Kairo, Mesir. Sebelum materi disampaikan, dengan membaca identitas pemateri saya
jadi berfikiran pasti diskusi nanti bakalan menarik, dan penuh dengan perang
pemikiran. Mengingat paradigma berfikirnya jebolan Al-azhar, biasanya cenderung
liberal dalam menyikapi hukum islam, apalagi tema yang diangkat cukup menarik, “Mendewakan
Madzahibul Arba’ah”. Dan peserta yang hadir mayoritas adalah warga Nahdliyin.
Ternyata benar dugaan saya. Banyak peserta yang
tidak sejalan dengan apa yang disampaikan. Dalam pembicaraan mengenai ijtihad
pemateri cenderung menggampangkan dan meremehkan soal ijtihad. Dia mengatakan
bahwa pintu ijitihad masih terbuka lebar, dan kita tidak harus selalu bertaqlid
buta dengan Madzahibul Arba’ah. Boleh bagi kita untuk berijtihad sendiri. Toh,
jika ijtihad kita salah akan mendapat pahala satu, dan jika benar mendapat 2
kali lipat.
Menanggapi dan mengkritisi pemaparan pemateri,
saudara Muhammad, Lc itu menjadi keharusan bagi kita. Dia mengutip perkataan
Yusuf Qordhowi bahwa untuk menjadi mujtahid di masa sekarang jauh lebih mudah
daripada menjadi mujtahid dimasa lalu. Ulama’ dulu memburu hadist satu saja,
harus menempuh jarak bermil-mil. Sekarang cukup klik google atau di maktabah
syamilah sudah muncul kitab-kitab yang diinginkan.
Memang dari segi mudah dan sulitnya menggali hukum
islam dari sumber utama, Qur’an dan Hadist di masa sekarang jauh lebih mudah.
Dengan kecanggihan tekhnologi segala sesuatu dapat teratasi cukup dengan mengklik. Namun apakah itu akan rasional
jika kita membandingkan dari segi kualitas keilmuwan antara Ulama’ sekarang
dengan ulama’ dahulu. Tentu tidak. Kita pasti memahami bahwa ulama’ sekarang tidak
ada apa-apanya jika dibanding ulama’ salaf dahulu dalam hal keilmuwan, kewira’ian,
kesholihan, kataqwaan dan sebagainya. Maka menganut apa yang sudah diijtihadkan
ulama’ terdahulu akan menjadi lebih baik untuk menghindari kesesatan.
Dualisme Pendapat
Permasalahan
ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah mngklaim
bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah
tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini,
sebagaimana penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena
banyaknya orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang
lebih heran lagi, mereka mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I,
Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad
sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri
mereka.
Fatwa
tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya
adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi
dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak
bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai
madzhab.
Imam
al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa
al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam
al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau
bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang
beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua
versi.
Ibnu
Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga
ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah
tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad
ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul
bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid
Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi
pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam
al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu
bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam
al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah
termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya
teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari
dadaku.
Dan
ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati
derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak
faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad
al-madzhab (yakni ijtihad mutlak).
Imam
Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat
bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah
menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang
sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan
lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun.
Akan
tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah
disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab itu mendapat tanggapan.
Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak
boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak akan pernah
berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari
kiamat)." [H.R. Muslim].
Mereka
juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya
menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan
mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah
orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah
SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui
urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka adalah
orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak
akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT.
Jalan Tengah
Dari
kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil
jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup
dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah
ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang
mutstaqil maupun ghairu mutstaqil.
Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan
setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang
tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak.
Para
Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak telah menyatakan sendiri bahwa
mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana
pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat
seorang mujtahid mutlak.
Dalam
kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad
(ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit
ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i
dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah
sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid
mutlak).
Imam
Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak
bisa memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai
syarat ijtihad Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus
dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang
mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri
mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan
beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit
bagiku dan paling jauh dari penalaranku."
Dari
uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang
harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk
berijtihad. Sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya
telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak menguasai alat-alat yang digunakan
sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah.
Terlepas
dari penjelasan diatas, saya tidak setuju dengan ungkapan Ibnu thaimiyah yang
mengatakan: “Barang siapa yang mengatakan harus taqlid pada madzahibul arba’ah,
maka ia harus cepat-cepat diperintahkan bertaubat dan jika ia tidak mau
mencabut ucapannya, maka ia harus dibunuh”. Lebih baik taqlid dari pada membuat
hukum baru yang justru sesat dan menyesatkan. Bukankah demikian?