Rabu, 07 November lalu saya bersama kawan-kawan Ambisi menghadiri acara AICIS
(Annual International Conference On Islamic Study). Acara tersebut bertempat di
Empire Palace Hotel, Surabaya. Sebenarnya acara ini sudah berlangsung sejak 5
November lalu, mala mini adalah malam puncak, malam penutupan. Kami berangkat
pukul 17:00 WIB, bersama kira-kira 80 anak dengan berbagai latar belakang dan
niat berbeda-beda.
AICIS
merupakan agenda tahunan yang dihelat oleh Direktoral Jenderal Pendidikan
Tinggi Islam Kementerian Agama RI. Tahun ini bekerjasama dengan IAIN Sunan
Ampel Surabaya. Acara yang dihadiri oleh kalangan intelektual dari berbagai
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia itu terlihat begitu mewah. Dengan tempat
begitu nyaman, fasilitas mendukung, dan pelayanan terjamin membuat acara
kondusif dan pastinya eksklusif.
Bagi
saya menghadiri acara yang bertempat di Hotel Bintang Lima serta bertaraf International
merupakan kebanggaan tersendiri. Meskipun bukan merupakan peserta aktif,
setidaknya bisa menikmati jalannya acara, dan menikmati segala fasilitas
layaknya peserta penuh. Bisa menikmati sajian makanan, minuman dan berbagai
hidangan lainnya. Seperti raja dalam semalam, ungkapan itu kira-kira yang cocok
untuk saya khususnya, dan bagi kawan-kawan Ambisi pada umumnya.
Satu Jam Bersama Dahlan Iskan
Selain
itu, yang paling berkesan adalah saya bisa bertemu langsung dengan Pak Dahlan
Iskan, Menteri BUMN, yang saat itu menjadi pemateri dalam seminar terbuka. Pak Dahlan
merupakan tokoh favorit saya dan jutaan masyarakat Indonesia. Bukan sekedar bertemu,
bahkan saya berdampingan langsung ketika beliau menandatangani pakta anti
plagiarisme di atas kain putih yang memanjang di depan ruangan. Meskipun harus
berdesak-desakan dengan wartawan saya berusaha untuk lebih dekat dengan beliau.
Ketika
memasuki ruangan, saya pun ikut mengekor di belakangnya, namun tidak sampai di
depan, hanya di tengah-tengah. Kemudian saya bergegas mencari tempat duduk.
Saya duduk di deretan kursi yang sebenarnya khusus untuk para dosen-dosen, guru
besar dan orang top lain. Tapi tidak masalah, tidak ada yang mengusir saya.
Ketika
Pak Dahlan naik ke podium sontak ruangan ramai oleh suara tepuk tangan. Tepuk
tangan semakin riuh saat beliau memulai menyampaikan seminar terbuka. Bagi saya
yang membuat istimewa adalah kesederhanaan, kewibawaan, kharismatik, komitmen
dan optimitas dari beliau sungguh sangat besar.
Saat
itu beliau menceritakan perjalanan hidup dari kecil sampai sekarang, menjadi
Menteri BUMN. Sedikit banyak saya sudah paham mengenai perjalanan hidup beliau
waktu kecil sampai dewasa lewat novel Sepatu Dahlan. Dari sepatu dahlan itu
saya mendapat suntikan semangat, optimis bahwa orang miskin bukan berarti harus
selalu menderita. Lulusan MA bukan menjadi alasan untuk tidak bisa menjadi
orang sukses. Menyimak perjalanan hidup P. Dahlan membuat saya semakin yakin
suatu saat nanti saya akan meraih kesuksesan seperti beliau.
Dari
kisah pak Dahlan setidaknya mampu menginspirasi semua orang yang benar-benar mempunyai
harapan. Pak dahlan menjelaskan bahwa kehidupannya berubah semenjak beliau
merantau ke Samarinda, setelah beliau lulus MA. Beliau pun memberi tips bahwa
merantau adalah kunci kesuksesan. Merantau merupakan momentum besar untuk lepas
dari belenggu masa lalu. Dengan merantau itu terputuslah hubungan apapun, beban
social, dan akan lepas dari romantisme masa lalu, termasuk lepas dari cinta.
Meskipun
dari keturunan pesantren beliau tidak mau menjadi Kyai. Karena beliau keturunan
pesantren dari pihak ibu tentunya tidak patut untuk menggantikan menjadi kyai. Yang
lebih berhak meneruskan estafet pesantren adalah keturunan dari pihak ayah.
Untuk itu dari pada nantinya menjadi mantan kyai akhirnya beliau memutuskan
untuk merantau. Terbukti dengan merantau sekarang beliau bisa menjadi Menteri
BUMN.
Beliau
membayangkan, seandainya dulu tidak merantau paling-paling hanya bisa menjadi
kepala desa. Jabatan itu sudah termasuk wah, seukuran orang kampung. Seandainya
tidak merantau mungkin saat ini sudah menjadi suami dari cewek kampung yang
dulu dekat dengan beliau, dst. Intinya, dengan merantau akan mendapat ganti
yang lebih baik. Seperti apa yang dikatakan Imam Syafi’I (Syaafir Tajid Iwadlon Amman Tufarikuhu).
Ketika
kuliah di IAIN Samarinda, beliau masuk dalam sebuah organisasi Pergerakan
Islam. Bahkan pernah mencalonkan sebagi ketua pimpinan pusat pada saat itu.
Namun akhirnya kalah dengan lawannya. Beliau pun sering diskusi dengan
kawan-kawannya pada saat itu mengenai banyak hal. Salah satunya tentang, kenapa
setiap sekolah yang terbaik pasti katholik, setiap Rumah sakit terbaik pasti
dari katholik, surat kabar terbaik pun punyanya khatolik, namun mereka
tampaknya tidak bisa menemukan titik temu.
Berawal
dari “Ruuhul Jihad” untuk menjadikan
Surat kabar terbaik adalah milik orang islam, akhirnya beliau mulai menggeluti
dunia Jurnalistik. Beliau aktif di Ikatan Pers Mahasiswa pada saat itu. Awal
karier beliau All Out tidak diganggu
dengan apapun, termasuk ganguan dari kekalahannya mencalonkan sebagai Pimpinan
Pusat Sebuah organisasi pergerakan Islam. Dan itu akhirnya terbukti beliau
berhasil menjadi wartawan Tempo, dan bahkan mampu menjadi Direktur Utama Jawa
Pos Group (Koran terbesar) sampai saat ini, dan menjadi Big Bos di JP Group.
Dan ditengah kesibukannnya menjadi menteri, beliau masih menulis yang setiap
hari senin dimuat di Manufacturing Hope (MH) Jawa Pos. Tulisannya pun tidak
sembarang tulisan, namun enak dibaca dan mengena. Saya menjadi pembaca setia
tulisan-tulisan beliau.
Acara
semakin seru saat beliau memaparkan ke optimisannya, bahwa 15 tahun kedepan
Indonesia akan menjadi Negara Maju. Indonesia akan mengalahkan spanyol, Italia,
Prancis, Jepang, Tiongkok dll. Optimitas itu bukan hanya sekedar omongan,
dengan bukti pertumbuhan Indeks Ekonomi Makro Indonesia yang mengalami kenaikan
setiap tahunnya. Lihat saja sekarang, berapa banyak mobil yang memadati jalan
raya, sampek terjadi kenacetan setia harinya. Bisa jadi, 5 tahun kedepan jumlah
mobil akan menjadi 2x lipat jumlah mobil sekarang.
Untuk
menjadi Negara maju, akan menjadi keniscayaan bagi Indonesia. Caranya harus
dengan by design, by kesadaran. Dengan cara memetakan SDM yang ada di
Indonesia. Berapa persen sarjana tehnik, berapa persen sarjana geologi, berapa
persen pula sarjana akuntasi dan sarjana-sarjana lain agar ada kesinambungan
saling membangun di bidangnya masing-masing. Jangan-jangan Indonesia saat ini
sedang over di sarjana social, itu yang harus dipecahkan.
Ada
136 juta penduduk Indonesia yang sudah mempunyai fikiran untuk maju. mereka
sudah tidak lagi memikirkan besok akan makan apa, minggu depan akan makan apa,
lebaran tahun depan bisa beli baju baru atau tidak. Mereka sudah tidak lagi
mikir tentang itu. yang mereka fikirkan adalah masa depan. Besok harus bisa
membeli motor baru, mobil baru, bahkan membeli rumah baru, dll. Itu yang mereka
fikirkan. Sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja, bekerja dan bekerja.
Namun
masih banyak jebakan untuk merealisasikan hal itu. Jebakan utama adalah masalah
birokrasi. Tidak dapat dipungkiri birokrasi merupakan kendala utama. Bisa jadi
para elite dan politisi di senayan tidak menginginkan Indonesia menjadi Negara
maju, karena akan mengganggu posisinya sebagai elite birokrasi yang boleh
dibilang “Dancuk”, kata arek suroboyo. Akan tetapi, jika memang elite dan
politisi tidak menginginkan Negara Indonesia menjadi negara maju, 136 Juta
penduduk tadi akan terpaksa maju. Demikianlah yang dapat saya paparkan ulang
dari pemaparan Pak Dahlan.
Seminar
selesai, pak Dahlan pun meninggalkan tempat. Selama kurang lebih satu jam yang
penuh makna menurut saya. Mudah-mudahan terulang di lain kesempatan dan mampu membuat
saya beroptimis untuk mengikuti jejak-jejak beliau dalam meraih kesuksesan.
Acara
dilanjutkan dengan penutupan dan pemberian penghargaan kepada pemakalah terbaik. Kemudian ditutup dengan penampilan
Tim Paduan Suara IAIN Sunan Ampel Surabaya. Serta foto bersama kawan-kawan
Ambisi. Hmmm.. Kebersamaan penuh kenangan.
Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya,
09 November 2012
0 komentar:
Posting Komentar