Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Minggu, 11 November 2012

Ahmad Wahib: Aktivis, Pluralis yang Mati Muda


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Seorang filosuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. (Soe Hok Gie)

Ketika membincangkan Ahmad Wahib saya tergoda untuk membandingkan dengan Soe Hok Gie. Menurut pandangan para ahli sejarah keduanya adalah eksponen dari manusia-manusia baru yang hidup di era pasca kemerdakaan. Yakni hidup di dekade 60-an.
Dalam banyak hal keduanya tidak berbeda meskipun dalam banyak hal pula keduanya dibawa nasib ke tempat yang berbeda. Ahmad wahib lahir pada tanggal 9 Nopember 1942, Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dua-duanya adalah aktivis mahasiswa. pemikir, dua-duanya menekuni secara setia catatan harian, memberikan komentar hampir tentang segala jenis peristiwa dari agama, filsafat sampai politik. Dua-duanya mengalami nasib yang sama, yakni mati muda.
Namun ada perbedaan lingkungan yang menentukan antara keduanya. Ahmad wahib lahir dalam lingkungan santri di Sampang, Madura, suatu prototip lain dari kehidupan pedesaan yang kering, tempat orang pulang pergi ke kota-kota besar di Indonesia, karena kebanyakan penduduknya merantau. Sedangkan Soe Hok Gie lahir dan dibesarkan di Jakarta, tempat semua pergulatan hidup yang besar, yang kecil dan yang dekil, yang mendidik dan yang licik, semua tipe kehidupan lengkap ada di sana.
Untuk mengenal lebih dalam sosok Ahmad Wahib bisa kita lakukan dengan membaca buku Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES:1981) atau lebih mudahnya kunjungi http://ahmadwahib.com. Buku tersebut berisikan pergulatan, doktrin, dan realitas sosial, pandangan Ahmad Wahib tentang pluralitas agama di Indonesia. Buku itu sama sekali bukan buku ilmiah. Seperti layaknya Catatan Sang Demonstran-nya Soe Hok Gie, buku ini merupakan sebuah catatan harian tentang pelbagai masalah yang dipikirkan Wahib yang merupakan refleksi atas kenyataan-kenyataan yang dihadapi umat Islam, bangsa Indonesia, sekaligus diri Ahmad Wahib sebagai pribadi. Lewat catatan hariannya yang kontroversial inilah, Wahib banyak mencetuskan gagasan menarik yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia.
Tokoh Pluralisme
Mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Ahmad Wahib kita akan mengetahui bahwa wahib adalah salah satu pembaru pemikiran islam. Salah satu intisari pemikiran Wahib dalam pembaruan pemikiran Islam adalah wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan. Wahib memiliki jawaban kuat mengapa sebagian umat Islam tidak toleran terhadap agama lain. Ini karena, menurut Wahib, kita tidak memiliki kedewasaan beragama ketika berinteraksi dengan kelompok agama lain. Yang terjadi justru tindakan diskriminatif.
Dalam hal pluralisme agama, Wahib menyuarakan pentingnya menumbuhkan inklusivitas agama—suatu komitmen yang secara terbuka menerima agama-agama lain yang ada di Indonesia. Menurut Djohan Effendi, Islam memang sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah bagian dari ajaran agama Islam. Dengan demikian, membela kebebasan beragama dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman (Prisma 5, Juni 1978: 16)
Secara prinsipil, apa yang dikemukakan Djohan Effendi tak jauh berbeda dengan pandangan Ahmad Wahib yang menekankan pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah menurutnya yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati dan perilaku.
Seperti inilah kira-kira pergolakan pemikiran Wahib tentang pluralisme. “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”. Sebuah pernyataan bijak dalam menyikapi segala bentuk perbedaan.
Sayang, Ahmad Wahib harus meninggal di usia muda. Pada 31 Maret 1973, ia  mengembuskan nafas terakhir pada usia 31 tahun akibat ditabrak pengendara motor tepat di depan tempat kerjanya: kantor majalah Tempo.
Terlepas dari semua itu, kita sebagai generasi muda sudah seharusnya sadar. Apa yang sudah kita hasilkan sampai saat ini. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Soe Hok Gie pada kalimat pembuka diatas, nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Lebih baik mati muda dari pada mati tua tapi tidak menghasilkan apa-apa.

*) Mahasiswa Jurusan Ahwalus Syakhsiyah (AS/V), Alumni At-Tanwir Bojonegoro, tinggal di aldomurtadlo.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India