Oleh:
Muhammad Ali Murtadlo*)
Seorang filosuf Yunani
pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua
dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang
begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. (Soe Hok Gie)
Ketika
membincangkan Ahmad Wahib saya tergoda untuk membandingkan dengan Soe Hok Gie.
Menurut pandangan para ahli sejarah keduanya adalah eksponen dari
manusia-manusia baru yang hidup di era pasca kemerdakaan. Yakni hidup di dekade
60-an.
Dalam
banyak hal keduanya tidak berbeda meskipun dalam banyak hal pula keduanya
dibawa nasib ke tempat yang berbeda. Ahmad wahib lahir pada tanggal 9 Nopember 1942,
Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dua-duanya adalah aktivis
mahasiswa. pemikir, dua-duanya menekuni secara setia catatan harian, memberikan
komentar hampir tentang segala jenis peristiwa dari agama, filsafat sampai
politik. Dua-duanya mengalami nasib yang sama, yakni mati muda.
Namun
ada perbedaan lingkungan yang menentukan antara keduanya. Ahmad wahib lahir
dalam lingkungan santri di Sampang, Madura, suatu prototip lain dari kehidupan
pedesaan yang kering, tempat orang pulang pergi ke kota-kota besar di
Indonesia, karena kebanyakan penduduknya merantau. Sedangkan Soe Hok Gie lahir
dan dibesarkan di Jakarta, tempat semua pergulatan hidup yang besar, yang kecil
dan yang dekil, yang mendidik dan yang licik, semua tipe kehidupan lengkap ada
di sana.
Untuk
mengenal lebih dalam sosok Ahmad Wahib bisa kita lakukan dengan membaca buku Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES:1981)
atau lebih mudahnya kunjungi http://ahmadwahib.com. Buku tersebut berisikan
pergulatan, doktrin, dan realitas sosial, pandangan
Ahmad Wahib tentang pluralitas agama di Indonesia. Buku itu sama sekali bukan buku ilmiah. Seperti
layaknya Catatan Sang Demonstran-nya
Soe Hok Gie, buku ini merupakan sebuah catatan harian tentang pelbagai masalah
yang dipikirkan Wahib yang merupakan refleksi atas kenyataan-kenyataan yang dihadapi
umat Islam, bangsa Indonesia, sekaligus diri Ahmad Wahib sebagai pribadi. Lewat
catatan hariannya yang kontroversial inilah, Wahib banyak mencetuskan gagasan
menarik yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia.
Tokoh
Pluralisme
Mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Ahmad Wahib kita akan
mengetahui bahwa wahib adalah salah satu pembaru pemikiran islam. Salah satu intisari pemikiran
Wahib dalam pembaruan pemikiran Islam adalah wacana kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Wahib memiliki jawaban kuat mengapa sebagian umat Islam tidak
toleran terhadap agama lain. Ini karena, menurut Wahib, kita tidak memiliki
kedewasaan beragama ketika berinteraksi dengan kelompok agama lain. Yang
terjadi justru tindakan diskriminatif.
Dalam hal pluralisme agama, Wahib menyuarakan
pentingnya menumbuhkan inklusivitas agama—suatu komitmen yang secara terbuka
menerima agama-agama lain yang ada di Indonesia. Menurut Djohan Effendi, Islam
memang sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui
eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya.
Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah
bagian dari ajaran agama Islam. Dengan demikian, membela kebebasan beragama dan
menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman (Prisma 5, Juni 1978: 16)
Secara prinsipil, apa yang dikemukakan
Djohan Effendi tak jauh berbeda dengan pandangan Ahmad Wahib yang menekankan
pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah menurutnya yang melahirkan toleransi.
Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau
pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati dan
perilaku.
Seperti
inilah kira-kira pergolakan pemikiran Wahib tentang pluralisme. “Aku bukan nasionalis,
bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan
westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya.
Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan
memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa
menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa saya
berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”. Sebuah pernyataan bijak dalam
menyikapi segala bentuk perbedaan.
Sayang,
Ahmad Wahib harus meninggal di usia muda. Pada 31 Maret 1973, ia mengembuskan nafas terakhir pada usia 31 tahun
akibat ditabrak pengendara motor tepat di depan tempat kerjanya: kantor
majalah Tempo.
Terlepas
dari semua itu, kita sebagai generasi muda sudah seharusnya sadar. Apa yang
sudah kita hasilkan sampai saat ini. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Soe
Hok Gie pada kalimat pembuka diatas, nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan tersial adalah umur tua. Lebih baik mati muda dari pada mati tua tapi tidak
menghasilkan apa-apa.
*) Mahasiswa Jurusan Ahwalus
Syakhsiyah (AS/V), Alumni At-Tanwir Bojonegoro, tinggal di
aldomurtadlo.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar