Sebagaimana
di catatan sebelumnya saya menganggap bahwa masa kanak-kanak merupakan masa
yang paling indah untuk dikenang. Masa kanak-kanak merupakan bagian dari masa
lalu, namun masa lalu yang tidak mungkin dapat terlupakan. Saya tegaskan, kisah
saya bukan cerita bersambung layaknya Novel, Roman atau Sinetron. Melainkan
hanya sebuah cerita yang dapat saya ingat dan layak untuk diceritakan. Tidak
mungkin setiap jengkal langkah di masa kecil dapat saya ceritakan secara
mendetail, jam demi jam, hari demi hari, atau minggu demi minggu dan
seterusnya. Sekali lagi, saya hanya bercerita tentang masa lalu yang tak
terlupakan.
Jika
catatan sebelumnya berkutat masalah dunia pendidikan formal (sekolahan) di
catatan ini saya hendak bercerita tentang pendidikan non formal yang pernah
saya geluti. Banyak teman-teman, bahkan orang yang mengenal saya bertanya,
Antum lulusan pondok pesantren mana? Saya jawab, saya tidak pernah mengenyam
pendidikan pesantren sama sekali. Mereka banyak yang tidak percaya. Sebenarnya
dulu pernah punya keinginan untuk mondok namun tidak diperbolehkan oleh ortu,
dengan alasan kakak sudah berada di Pondok pesantren waktu itu, jadi saya harus
di rumah untuk membantu beliau mengurusi urusan rumah. Perlu diketahui, Saya
hanyalah lulusan MtsAi At-Tanwir Talun, bukan lulusan Pondok Pesantren.
Berikut
ini saya ceritakan perjalanan gerilya saya dalam mendalami ilmu agama. Saya
masih ingat, ketika awal-awal belajar mengaji. Masih berumur Balita (Bawah Lima
Tahun) sebenarnya saya sudah diajak sama kakak mengaji. Setiap Ba’da Maghrib di
Mushola agak jauh dari rumah, orang-orang dikampung menyebutnya dengan Langgar Tengah, karena lokasinya di
tengah kampung. (Saat itu Mushola depan rumah belum dibangun). Kebetulan di Mushola
itu memang disediakan untuk mengaji. Dulu belum ada TPQ, ngajinya masih program
Sorogan (baca simak). Kebetulan yang mengajar adalah kakak saya sendiri dan
beberapa temannya serta Sesepuh di Mushola tersebut. Saya paling senang ketika
diajar oleh Mbah Adnan, Imam Sholat waktu itu. Beliau sudah meninggal ketika
saya masih duduk di bangku MI. Allahumagfirlahu.
Setiap
hari menjelang magrhib saya bersama kakak berangkat menuju mushola. Kira-kira
300 M dari rumah. Selain mengaji di Mushola terkadang juga mengaji di rumah
dengan ibu sebagai tutornya. Maka tidak heran, jika saya paling menonjol dalam
hal mengaji diantara teman-teman sebaya pada saat itu. Kira-kira umur empat
tahun saya sudah hafal Huruf-Huruf Hijaiyah. Dan sebelum lulus MI saya sudah
berhasil menghatamkan Al-Qur’an.
Waktu
terus berjalan menelusuri lembah-lembah kehidupan yang semakin hari bertambah
usia. Sistem pembelajaran pun dituntut untuk mengalami perkembangan. Ketika
duduk dibangku kelas 3 dibentuklah TPQ (Taman Pendidikan Qur’an). Saat itu
bukan di Langgar Tengah, tapi di Mushola Jami’atul Nurul Umah, TPQnya juga
diberi nama sesuai nama mushola, TPQ Nurul Ummah . Pendirinya adalah Kyai
Syami’an, beliau masih kerabat dengan saya. Lebih tepatnya beliau adalah sepupu
bapak saya, Ibunya adalah saudara kandung nenek saya.
Metode
yang dipakai adalah An-Nahdliyah yakni menggunakan ketukan sebagai irama
lagunya. Satu ketukan untuk bacaan pendek, dua ketukan untuk bacaan yang dibaca
dua harokat (satu alif) dan enam ketukan untuk bacaan yang dibaca Enam Harokat
(3 alif). Kira-kira seperti itulah metode An-nahdliyah yang dapat saya ingat.
Saat
pembentukan awal TPQ saya masih duduk di kelas 3 MI. Sebelum dimulai
pembelajaran kami dikelompokan sesuai kemampuan. Kami ditest terlebih dahulu. Anak-anak
kampung saat itu lumayan banyak sekitar tiga puluhan anak, laki-laki dan
perempuan. Saat itu kami dikelompokan menjadi 3 kelompok, yakni Jilid 1, 2 dan
3. Kebetulan saya di kelompok jilid 3. Ngaji dimulai sore hari berikutnya.
Banyak
kenangan yang terjadi waktu mengaji. Maklum masih seusia-usia segitu, pasti
jiwa kekanak-kanakan kami masih begitu kuat. Kadang main sendiri, rame,
kejar-kejaran satu sama lain. Yang paling penting adalah bisa buat hati senang.
Ada sesuatu yang paling ditunggu-tunggu, yakni jalan-jalan. Ya, Setiap seminggu
sekali semua santri TPQ diajak jalan-jalan memutari desa, biasanya pada hari
kamis sore. Dengan berseragam, bersama para Ustadz dan Ustadzah kami memutari
desa sambil menyanyi bersama. Lagunya seperti ini saya masih ingat : “Adibu Awladakum Ala Tsalaatsati Khisolin:
Bihubi Nabiyikum, Wa ahli Baitihi, Wa Qiro’atil Qur’an (Didiklah Anak-anakmu
mencintai tiga perkara: cintailah nabimu, cintai keluarganya, cintai baca
al-Qur’an). Dengan penuh semangat sambil bertepuk-tepuk tangan kami
berjalan mengelilingi desa lalu menuju kembali ke Mushola. Moment seperti
inilah yang kami tunggu, karena selain bisa menikamti udara luar, kami akan
disaksikan oleh orang-orang kampung, terkadang ibu juga menyaksikan.
Yang
paling berkesan lagi adalah setiap ada Peringatan Hari Besar Islam (PHBI),
Seperti Mauludan, Isro’ Mi’roj, dll. Pegurus TPQ pasti mengadakan pengajian.
Sebelum pengajian pasti diadakan lomba, seperti lomba adzan, baca kitab, makan
krupuk, balap karung, balap kelereng, dll. Moment seperti itu yang saya sukai.
Setiap lomba dapat dipastikan saya pasti dapat juara. Yang menjadi langganan
adalah juara lomba adzan dan baca kitab. Hadiahnya berupa buku, pensil, pulpen,
dan jajan, diserahkan pada saat pra-Acara pengajian. Seneng banget waktu itu.
Perlombaan
seperti itu biasanya juga diadakan menjelang acara Muslimatan. Muslimatan
adalah acara berkumpulnya para Jama’ah Fatayat Muslimah Nahdlatul Ulama’ dari
beberapa desa di satu kecamatan. Biasanya diadakan setiap bulan sekali.
Tempatnya bergilir. Jika desa saya kebagian jadwal pasti para santri TPQ
kegirangan, termasuk saya, karena pasti akan ada perlombaan, dan akan panen
hadiah.
***
Setelah
saya khitan, kelas 5 MI waktu itu, saya sudah khatam 6 jilid. Di Depan rumah
saya pun sudah dibangun mushola. Jadi selain mengaji di TPQ, setiap ba’dla
maghrib saya mengaji pula di Mushola depan rumah, Mushola Mubarokah namanya.
Metode mengajinya berbeda, hanya berupa baca simak. Waktu itu saya sudah
mengaji Al-Quran, yang mengajari saya Mas Tholib, Pemuda Lulusan salah satu
Pondok Pesantren Salaf di Tuban.
Ketika
sudah mengkhatamkan jilid 6, otomatis akan naik di PSQ (Program Sorogan
Qur’an), namun tidak begitu lama karena semakin hari yang mengaji semakin
sedikit. Saya terkadang hanya sendiri. Paling banyak yang datang hanya 3 anak,
nggak lebih. Lama-lama saya merasa bosen, akhirnya saya memutuskan untuk pindah
tempat mengaji. Di Madrasah Diniyah desa sebelah.
Di
Madrasah Diniyah ini saya tidak lagi belajar mengaji Qur’an, melainkan mengaji
kitab. Kitab yang kami kaji bermacam-macam. Saya masih ingat. Diantaranya: Aqidatul Awam (Tauhid), Alala (tata cara mencari ilmu), Ngudi Susilo (Akhlaq), dan Syifaul Jinan (Tajwid). Ini bagi kelas
pemula, seperti saya. Kelas yang lain sudah belajar Taqrib, Nadlom Matan
Jurumiah dan kitab-kitab lain.
Proses
belajar mengajar di Madin ini dimulai pukul 14:00 s.d 15:00 WIB. Jadi setelah
saya pulang sekolah masih ada waktu sekitar 2 jam untuk istirahat, main dan
terkadang belajar kelompok sama temen-temen. Lokasi Madin lumayan jauh, saat
itu saya belum punya sepeda, setiap hari saya harus pinjam sepeda tetangga.
Sampek-sampek sungkan sendiri, masak setiap hari pasti pinjam. Terkadang saya
berangkatnya nebeng sama temen. Pernah juga jalan kaki. Meskipun demikian tak
menyurutkan semangat saya untuk tetap mengaji.
Seperti
di TPQ dulu, di Madin ini setiap Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) juga
mengadakan pengajian, sebelum pengajian juga diadakan lomba. Saya pernah
menyabet 4 juara sekaligus. Juara adzan, baca kitab, hafalan kitab, dan
meletuskan balon. Seingat saya saat itu adalah peringatan Isro’ Mi’roj.
Penyerahan hadiahnya diserahkan di Podium sebelum acara pengajian. Seperti
biasa, hadiahnya berupa buku tulis, sama Pulpen.
Kira-kira
seperti itulah pengalaman masa kecil saya pada saat menimba ilmu di TPQ dan Madin.
Namun belajar ngaji di madin itu harus saya tinggalkan ketika masuk di Madrasah
Tsanawiyah (Mts). Karena sekolahan masuk siang, otomatis pada jam-jam ngaji itu
saya harus sekolah. Namun sebagai alternative saya mengikuti yang jadwal malam,
yakni ba’dla maghrib. Perlu diketahui di madin ini saya tidak sampai
mengkhatamkan semua kitab. Hanya kitab-kitab dasar ringan yang dapat saya
khatamkan. Seperti Aqidatul Awam, Alala,
syifaul jinan. Semenjak kelas 3 Mts, saya sudah tidak lagi mengaji di
Madin. Hanya berkonsentrasi di Mts, karena saya rasa di Mts sudah mencakup materi-materi
yang ada di Madin. Belakangan saya menyesal kenapa dulu tidak menyelesaikan
sampai selesai di Madin.
Setidaknya
apa yang saya lakukan dulu adalah aplikasi dari mahfudlot yang saya pelajari di
Mts. At-ta’alumu fi Shigori kan Naqsi
alal Hajari (belajar diwaktu kecil bagaikan mengukir di atas batu). Belajar
waktu kecil memang perlu perjuangan namun hasilnya tidak meragukan. Layaknya
ukiran batu, sulit untuk mengukirnya namun indah dan abadi hasilnya. Senada
dengan ungkapan tadi “Ta’alam shogiron
Wa’mal bihi Kabiron” (Belajarlah pada waktu kecilmu dan amalkan pada waktu
besarmu). Ketika sudah mumpuni kita
juga harus mengamalkan, karena “Al-ilmu
bi Laa Amalin Kas Syajari Bi Laa Tsamrin”, ilmu yang tidak diamalkan itu
bagaikan pohon yang tidak berbuah.
Muhammad
Ali Murtadlo
Surabaya, Kamis, 08
November 2012 M
1 komentar:
jadi ingat hafalan mahfudlot gak hafal disuruh berdiri di depan, hehe
Posting Komentar