Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Rabu, 07 November 2012

Bernostalgia dengan Masa Kanak-Kanak (4)


Sebagaimana di catatan sebelumnya saya menganggap bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang paling indah untuk dikenang. Masa kanak-kanak merupakan bagian dari masa lalu, namun masa lalu yang tidak mungkin dapat terlupakan. Saya tegaskan, kisah saya bukan cerita bersambung layaknya Novel, Roman atau Sinetron. Melainkan hanya sebuah cerita yang dapat saya ingat dan layak untuk diceritakan. Tidak mungkin setiap jengkal langkah di masa kecil dapat saya ceritakan secara mendetail, jam demi jam, hari demi hari, atau minggu demi minggu dan seterusnya. Sekali lagi, saya hanya bercerita tentang masa lalu yang tak terlupakan.
Jika catatan sebelumnya berkutat masalah dunia pendidikan formal (sekolahan) di catatan ini saya hendak bercerita tentang pendidikan non formal yang pernah saya geluti. Banyak teman-teman, bahkan orang yang mengenal saya bertanya, Antum lulusan pondok pesantren mana? Saya jawab, saya tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren sama sekali. Mereka banyak yang tidak percaya. Sebenarnya dulu pernah punya keinginan untuk mondok namun tidak diperbolehkan oleh ortu, dengan alasan kakak sudah berada di Pondok pesantren waktu itu, jadi saya harus di rumah untuk membantu beliau mengurusi urusan rumah. Perlu diketahui, Saya hanyalah lulusan MtsAi At-Tanwir Talun, bukan lulusan Pondok Pesantren.
Berikut ini saya ceritakan perjalanan gerilya saya dalam mendalami ilmu agama. Saya masih ingat, ketika awal-awal belajar mengaji. Masih berumur Balita (Bawah Lima Tahun) sebenarnya saya sudah diajak sama kakak mengaji. Setiap Ba’da Maghrib di Mushola agak jauh dari rumah, orang-orang dikampung menyebutnya dengan Langgar Tengah, karena lokasinya di tengah kampung. (Saat itu Mushola depan rumah belum dibangun). Kebetulan di Mushola itu memang disediakan untuk mengaji. Dulu belum ada TPQ, ngajinya masih program Sorogan (baca simak). Kebetulan yang mengajar adalah kakak saya sendiri dan beberapa temannya serta Sesepuh di Mushola tersebut. Saya paling senang ketika diajar oleh Mbah Adnan, Imam Sholat waktu itu. Beliau sudah meninggal ketika saya masih duduk di bangku MI. Allahumagfirlahu.
Setiap hari menjelang magrhib saya bersama kakak berangkat menuju mushola. Kira-kira 300 M dari rumah. Selain mengaji di Mushola terkadang juga mengaji di rumah dengan ibu sebagai tutornya. Maka tidak heran, jika saya paling menonjol dalam hal mengaji diantara teman-teman sebaya pada saat itu. Kira-kira umur empat tahun saya sudah hafal Huruf-Huruf Hijaiyah. Dan sebelum lulus MI saya sudah berhasil menghatamkan Al-Qur’an.
Waktu terus berjalan menelusuri lembah-lembah kehidupan yang semakin hari bertambah usia. Sistem pembelajaran pun dituntut untuk mengalami perkembangan. Ketika duduk dibangku kelas 3 dibentuklah TPQ (Taman Pendidikan Qur’an). Saat itu bukan di Langgar Tengah, tapi di Mushola Jami’atul Nurul Umah, TPQnya juga diberi nama sesuai nama mushola, TPQ Nurul Ummah . Pendirinya adalah Kyai Syami’an, beliau masih kerabat dengan saya. Lebih tepatnya beliau adalah sepupu bapak saya, Ibunya adalah saudara kandung nenek saya.
Metode yang dipakai adalah An-Nahdliyah yakni menggunakan ketukan sebagai irama lagunya. Satu ketukan untuk bacaan pendek, dua ketukan untuk bacaan yang dibaca dua harokat (satu alif) dan enam ketukan untuk bacaan yang dibaca Enam Harokat (3 alif). Kira-kira seperti itulah metode An-nahdliyah yang dapat saya ingat.
Saat pembentukan awal TPQ saya masih duduk di kelas 3 MI. Sebelum dimulai pembelajaran kami dikelompokan sesuai kemampuan. Kami ditest terlebih dahulu. Anak-anak kampung saat itu lumayan banyak sekitar tiga puluhan anak, laki-laki dan perempuan. Saat itu kami dikelompokan menjadi 3 kelompok, yakni Jilid 1, 2 dan 3. Kebetulan saya di kelompok jilid 3. Ngaji dimulai sore hari berikutnya.
Banyak kenangan yang terjadi waktu mengaji. Maklum masih seusia-usia segitu, pasti jiwa kekanak-kanakan kami masih begitu kuat. Kadang main sendiri, rame, kejar-kejaran satu sama lain. Yang paling penting adalah bisa buat hati senang. Ada sesuatu yang paling ditunggu-tunggu, yakni jalan-jalan. Ya, Setiap seminggu sekali semua santri TPQ diajak jalan-jalan memutari desa, biasanya pada hari kamis sore. Dengan berseragam, bersama para Ustadz dan Ustadzah kami memutari desa sambil menyanyi bersama. Lagunya seperti ini saya masih ingat : “Adibu Awladakum Ala Tsalaatsati Khisolin: Bihubi Nabiyikum, Wa ahli Baitihi, Wa Qiro’atil Qur’an (Didiklah Anak-anakmu mencintai tiga perkara: cintailah nabimu, cintai keluarganya, cintai baca al-Qur’an). Dengan penuh semangat sambil bertepuk-tepuk tangan kami berjalan mengelilingi desa lalu menuju kembali ke Mushola. Moment seperti inilah yang kami tunggu, karena selain bisa menikamti udara luar, kami akan disaksikan oleh orang-orang kampung, terkadang ibu juga menyaksikan.
Yang paling berkesan lagi adalah setiap ada Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), Seperti Mauludan, Isro’ Mi’roj, dll. Pegurus TPQ pasti mengadakan pengajian. Sebelum pengajian pasti diadakan lomba, seperti lomba adzan, baca kitab, makan krupuk, balap karung, balap kelereng, dll. Moment seperti itu yang saya sukai. Setiap lomba dapat dipastikan saya pasti dapat juara. Yang menjadi langganan adalah juara lomba adzan dan baca kitab. Hadiahnya berupa buku, pensil, pulpen, dan jajan, diserahkan pada saat pra-Acara pengajian. Seneng banget waktu itu.
Perlombaan seperti itu biasanya juga diadakan menjelang acara Muslimatan. Muslimatan adalah acara berkumpulnya para Jama’ah Fatayat Muslimah Nahdlatul Ulama’ dari beberapa desa di satu kecamatan. Biasanya diadakan setiap bulan sekali. Tempatnya bergilir. Jika desa saya kebagian jadwal pasti para santri TPQ kegirangan, termasuk saya, karena pasti akan ada perlombaan, dan akan panen hadiah.
***
Setelah saya khitan, kelas 5 MI waktu itu, saya sudah khatam 6 jilid. Di Depan rumah saya pun sudah dibangun mushola. Jadi selain mengaji di TPQ, setiap ba’dla maghrib saya mengaji pula di Mushola depan rumah, Mushola Mubarokah namanya. Metode mengajinya berbeda, hanya berupa baca simak. Waktu itu saya sudah mengaji Al-Quran, yang mengajari saya Mas Tholib, Pemuda Lulusan salah satu Pondok Pesantren Salaf di Tuban.
Ketika sudah mengkhatamkan jilid 6, otomatis akan naik di PSQ (Program Sorogan Qur’an), namun tidak begitu lama karena semakin hari yang mengaji semakin sedikit. Saya terkadang hanya sendiri. Paling banyak yang datang hanya 3 anak, nggak lebih. Lama-lama saya merasa bosen, akhirnya saya memutuskan untuk pindah tempat mengaji. Di Madrasah Diniyah desa sebelah.
Di Madrasah Diniyah ini saya tidak lagi belajar mengaji Qur’an, melainkan mengaji kitab. Kitab yang kami kaji bermacam-macam. Saya masih ingat. Diantaranya: Aqidatul Awam (Tauhid), Alala (tata cara mencari ilmu), Ngudi Susilo (Akhlaq), dan Syifaul Jinan (Tajwid). Ini bagi kelas pemula, seperti saya. Kelas yang lain sudah belajar Taqrib, Nadlom Matan Jurumiah dan kitab-kitab lain.
Proses belajar mengajar di Madin ini dimulai pukul 14:00 s.d 15:00 WIB. Jadi setelah saya pulang sekolah masih ada waktu sekitar 2 jam untuk istirahat, main dan terkadang belajar kelompok sama temen-temen. Lokasi Madin lumayan jauh, saat itu saya belum punya sepeda, setiap hari saya harus pinjam sepeda tetangga. Sampek-sampek sungkan sendiri, masak setiap hari pasti pinjam. Terkadang saya berangkatnya nebeng sama temen. Pernah juga jalan kaki. Meskipun demikian tak menyurutkan semangat saya untuk tetap mengaji.
Seperti di TPQ dulu, di Madin ini setiap Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) juga mengadakan pengajian, sebelum pengajian juga diadakan lomba. Saya pernah menyabet 4 juara sekaligus. Juara adzan, baca kitab, hafalan kitab, dan meletuskan balon. Seingat saya saat itu adalah peringatan Isro’ Mi’roj. Penyerahan hadiahnya diserahkan di Podium sebelum acara pengajian. Seperti biasa, hadiahnya berupa buku tulis, sama Pulpen.
Kira-kira seperti itulah pengalaman masa kecil saya pada saat menimba ilmu di TPQ dan Madin. Namun belajar ngaji di madin itu harus saya tinggalkan ketika masuk di Madrasah Tsanawiyah (Mts). Karena sekolahan masuk siang, otomatis pada jam-jam ngaji itu saya harus sekolah. Namun sebagai alternative saya mengikuti yang jadwal malam, yakni ba’dla maghrib. Perlu diketahui di madin ini saya tidak sampai mengkhatamkan semua kitab. Hanya kitab-kitab dasar ringan yang dapat saya khatamkan. Seperti Aqidatul Awam, Alala, syifaul jinan. Semenjak kelas 3 Mts, saya sudah tidak lagi mengaji di Madin. Hanya berkonsentrasi di Mts, karena saya rasa di Mts sudah mencakup materi-materi yang ada di Madin. Belakangan saya menyesal kenapa dulu tidak menyelesaikan sampai selesai di Madin.
Setidaknya apa yang saya lakukan dulu adalah aplikasi dari mahfudlot yang saya pelajari di Mts. At-ta’alumu fi Shigori kan Naqsi alal Hajari (belajar diwaktu kecil bagaikan mengukir di atas batu). Belajar waktu kecil memang perlu perjuangan namun hasilnya tidak meragukan. Layaknya ukiran batu, sulit untuk mengukirnya namun indah dan abadi hasilnya. Senada dengan ungkapan tadi “Ta’alam shogiron Wa’mal bihi Kabiron” (Belajarlah pada waktu kecilmu dan amalkan pada waktu besarmu). Ketika sudah mumpuni kita juga harus mengamalkan, karena “Al-ilmu bi Laa Amalin Kas Syajari Bi Laa Tsamrin”, ilmu yang tidak diamalkan itu bagaikan pohon yang tidak berbuah

Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya, Kamis, 08 November 2012 M

1 komentar:

masanas mengatakan...

jadi ingat hafalan mahfudlot gak hafal disuruh berdiri di depan, hehe

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India