Saat Haflah Akhirissanah |
Maka, kelas 1 Mts merupakan waktu untuk adaptasi. Saling perkenalan dengan semua teman, perkenalan dengan guru, dengan kakak kelas, sampai perkenalan dengan penjual makanan di kantin. Saya masih ingat, saat kelas 1 Mts, saya duduk bertiga di bangku no.3 depan meja guru. Saya berada di tengah, diapit oleh Toyib Aladin dan Nafi’udin.
Aula Kekinian |
Toyib adalah teman pertama saya yang saya kenal ketika test masuk. Bahkan kami saling membantu ketika mengerjakan soal. Dia saya bantu ketika test menulis arab dan saya dibantu ketika kesulitan mengerjakan matematika. Akhirnya, kami berdua tergabung di ruang kelas A. Sedangkan Nafi’udin baru saya kenal ketika masuk pertama kali di kelas. Nafi’udin orangnya asyik. Yang paling saya ingat adalah kopyahnya beda dengan yang lain dan ketika istirahat jika membeli jajan dan ada yang minta maka dikasihkan sama bungkusnya sambil ketawa dan bilang “politik”. Saya baru tahu kenapa dia bilang politik. Karena bungkus jajan yang dikasihkan otomatis yang harus membuang adalah orang yang dikasih itu, dan dia tidak perlu membuang sampah bungkus jajan itu sendiri. Wah, pintar juga dia. Saya sering diakali seperti itu. Saat ini saya tidak tahu ada di mana. Salam hangat dan rindu saya kepadamu kawan!
Di kelas 1 Mts ada kejadian yang tidak mungkin bisa dilupakan. Baik oleh saya maupun teman-teman kelas 1A1. Saat itu ada teman yang bernama Teguh Wicaksono. Teguh adalah siswa yang tidak naik kelas gara-gara kesandung masalah dengan kesiswaan. Saya kurang tahu apa, tapi belakangan dia diskors gara-gara mencuri dynamo lampu sepeda. Saat di kelas dia sering berlaku kasar dengan teman-teman. Bahkan kami sering dipukul menggunakan besi jika kami ramai. Dia juga sering malakin kami, minta uang, jajan dan sering bentak-bentak ketika kelas tidak ada guru. Mendengar berita bahwa dia diskors, kami satu kelas merasa lega, terbebas dari belenggu “setan”. Saat ini saya tidak mendengar kabar dia. Mudah-mudahan dia diberi petunjuk oleh Allah SWT.
Mendengrkan Wejangan Pengasuh |
Suasana Tahlil |
Kelas 3 sudah mulai masuk pagi. Tentu merubah kebiasaan saya. Saya yang biasanya berangkat pukul 10;00 dari rumah, mulai kelas 3 harus berangkat pagi. Mengingat jarak sekolahan dengan rumah lumayan jauh dan menggunakan sepedah pancal, maka jam 6 harus sudah siap. Seperti biasa, kami berangkat berempat. Kelas 3 ini merupakan kelas pencapaian, karena nanti di akhir tahun ada Ujian Nasional (Unas). Saat menjelang Unas itulah saya sering berangkat awal untuk mengikuti pelajaran tambahan (les), terkadang habis shubuh harus berangkat sendirian, dengan naik sepeda pancal.
K. H Sholeh (Pendiri Ponpes At-Tanwir) |
Saat kelas 4 saya mulai masuk dijenjang lebih tinggi lagi. Kelas 4 setara dengan kelas 1 SMA atau MA. Pelajaran-pelajarannya pun tambah sulit. Hafalan-hafalannya pun tambah banyak. Namun tak dapat menyurutkan semangat untuk terus belajar. Ada kenangan “pahit” yang mungkin tak semuanya tahu. Waktu kelas 4 saya mulai bandel. Saya sering tidak ikut upacara setiap sabtu pagi. Saya dan ketiga kawan sebenarnya sudah berangkat pagi sekitar pukul 05;45. Saat itu upacara dimulai pukul 06;30. Namun saat sampai di sekolah jam sudah menunjukan pukul 06;30 lebih itu artinya upacara sudah dimulai. Dari pada kami ketangkap oleh PPM (Persatuan Pelajar Madrasah) saya memilih untuk singgah dimushola kampung tak jauh dari sekolahan. Baru, ketika upacara selesai kami menuju sekolahan dengan hanya membawa buku, dan tasnya ditinggal di mushola. Kebiasaan seperti ini juga terkadang diterapkan ketika kami ketinggalan dijam-jam efektif. Saat jam istirahat pertama, kami baru datang di sekolahan, tas dan sepedah kami tinggal di Mushola. Hehe.
K. H Ali Chumaidi (Alm) |
Kelas 6 saya pernah menjadi delegasi untuk ikut olimpiade pelajaran yang diunaskan. Kebetulan saya disuruh mewakili pelajaran fisika. Entah pertimbangannya apa saya terpilih, padahal kemampuan fisika saya masih tergolong minim. Mungkin karena keaktifan saya di kelas saat pelajaran fisika, membuat pak Warnadi (guru fisika yang super) memilih saya. Namun saya gagal membawa medali dan mengharumkan nama At-Tanwir. Saya pulang dengan tangan hampa. Bukan menangyang sesungguhnya yang saya dapatkan akan tetapi "menang"gug malu. Tapi tak apalah. Itu adalah sebuah pengalaman berharga yang tak dapat saya lupakan, dan sebuah kebanggaan terpilih menjadi delegasi.
Saat kelas 6 inilah yang menurut saya masa yang paling indah. Kami ber 37 berjibaku dengan buku, diskusi dan saling menginspirasi. Kelas 6 inilah puncak dari belajar kami di At-Tanwir. Puncak bukan berarti kami tahu semuanya. Puncak bukan berarti kami paling pandai. Akan tetapi ini baru langkah awal kami untuk meniti kehidupan yang sesungguhnya ketika kami lulus nanti.
Selama enam tahun di At-Tanwir, sudah ribuan kenangan yang terukir. Jutaan ilmu yang kami serap. Milyaran kosa kata yang kami dapatkan. Bahkan berjuta-juta katayang kami bicarakan di sana. Mulai dari membicarakan hal-hal remeh hinggamembicarakan soal ilmu. Semua tetap membekas dan tidak mungkin bisa terhapus,kecuali yang kena penyakit amnesia atau hilang ingatan. At-Tanwir telah menjadikankami tahu mana yang benar dan mana yang salah. Sekaligus membekali kami berbagaidisiplin ilmu. Masa enam tahun itu tidak lah cukup saya ceritakan dalam sebuah catatan singkat ini.
Terakhir saya ingin mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada At-Tanwir. Kepada guru-guru, kepada teman-teman seperjuangan, kepada semuanya yang telahberjibaku dengan saya mengukir kenangan selama enam tahun. Selain itu permohonan maaf yang tak terhitung juga saya mohonkan kepada semuanya. Akhirnya, semoga dimanapun kita berada selalu dalam rahmat dan pertolonganAllah SWT. Salam rindu dari saya untuk kalian!
Muhammad Ali Murtadlo, Alumni At-Tanwir 2010, saat ini sedang berjuang dan terus mencari makna hidup.
Muhammad Ali Murtadlo, Alumni At-Tanwir 2010, saat ini sedang berjuang dan terus mencari makna hidup.
1 komentar:
Lu emang gokil bro,,, jadi baper ni,,, hehe,,,
Posting Komentar